Minggu, 18 Maret 2012

Love Story III: Dimas and His Sacrifice

Tak akan pernah hilang seluruh cerita tentang cinta. Dari dulu hingga saat ini, kurasa semua sama saja. Akan ada yang namanya pertemuan, moment-moment penting di setiap kisah dan pastinya akan ada akhir dari segalanya. Namaku adalah Dimas, Dimas Prastia Putra. Aku tak pernah percaya cinta sejati. Dalam hal apapun, aku tak ingin serius menjalani sebuah hubungan. Menurutku, akan sia-sia. Untuk apa menjalin sebuah hubungan kalau akhirnya pasti akan berpisah.
Setiap kali aku memiliki pacar, tak ada yang benar-benar aku cintai. Aku tak menjalani jalan ceritaku dengan benar. Hingga suatu hari aku tak sengaja bertemu dengan perempuan berambut pendek sebahu dalam sebuah restaurant Jepang. Dia terlihat kebingungan karena semua tempat duduk sudah terisi.
Tak ada yang istimewa darinya memang. Tapi untuk apa memikirkan hal itu? Dia kelihatan sedang lapar, pasti. Aku tak akan tega membiarkannya mati kelaparan. Aku pun lalu melambaikan tangan ke arahnya dan memanggilnya, "Ungu!!" Kebetulan perempuan itu memakai pakaian dan aksesoris serba ungu. Aku tak suka warna ungu. Sungguh.
Perempuan itu tersenyum padaku. Lalu ia berjalan mendekatiku. Cara berjalannya unik sekali. Dia menyapaku, "Hai. Kamu sendirian?" Aku menatapnya dan membalas senyumnya. Cara bicaranya enak didengar. Kupikir suaranya seperti anak-anak karena wajahnya yang imut itu. Aku pun memintanya duduk di hadapanku.
"Iya. Aku sendiri. Kamu juga sendiri?"
"Iya. Cuma resto ini favoritku. Makasih, ya, tempat duduknya."
Aku pun berkenalan dengan perempuan itu. Namanya Meri. Dia lebih muda setahun dariku. Aku sedikit tertarik dengan gaya bahasa dan gerak tubuhnya saat berbicara. Menurutku Meri adalah perempuan yang anggun. Aku bisa lihat itu dari cara dia makan, menatapku, tertawa, tersenyum, dan... Lho? Kenapa aku jadi memperhatikannya?
Aku memutar otakku dan mulai mencerna yang kupikirkan. Dan antara sadar dan tak sadar, aku meminta nomor ponsel dan pin BBnya. Dia pun dengan senang hati memberikannya untukku. Entah kenapa, aku merasa senang saat itu.
Seminggu setelah pertemuanku dengan Meri, kami jadi sering chat, terkadang bertemu untuk makan malam bersama. Aku tak tahu ini kebetulan atau apa, ternyata rumah kami berdekatan. Hanya berbeda komplek saja. Aku bisa saja mengunjungi rumahnya tanpa motorku.
Kebersamaanku dengannya, mulai memiliki arti. Dia juga sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya menyukaiku. Bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi aku sudah tahu lewat tatapan matanya padaku.
Akhirnya, pada suatu sore, saat aku berkunjung ke rumahnya dan menemani dia yang sendirian, aku menyatakan perasaanku. Aku menanyakan apa dia mau menjadi pacarku. Ternyata memang benar dugaanku. Dia menyukaiku. Dia mengatakan bahwa dia sudah menyukaiku sejak pertama kali bertemu denganku. Aku bingung dengan yang kurasakan. Sepertinya aku bahagia bersamanya.
Meri bisa begitu sangat kejam padaku. Tapi anehnya, aku selalu menuruti keinginannya. Pernah suatu ketika dia ingin membeli sebuah novel yang baru saja terbit, dia memintaku membelikannya. Aku dengan senang hati mencarinya. Dan sungguh, novel yang diinginkannya itu sulit dicari. Tapi aku akhirnya mendapatkannya dengan susah payah. Aku harus berdebat dengan anak SMU di toko buku. Kami memperebutkan novel yang tinggal tersisa satu itu. Tapi tak apa. Yang penting aku mendapatkan novel itu.
Tak hanya karena memperebutkan novel, Meri pernah memintaku datang ke rumahnya hampir tengah malam hanya untuk memintaku membuatkan telur untuknya, saat rumahnya tak ada orang. Jujur, dia selalu menjengkelkan, tapi aku menikmati kemanjaannya dia terhadapku.
Pernah juga ketika aku yang baru saja pulang kerja, ditelepon untuk segera datang ke rumahnya. Dia bilang ada yang gawat terjadi padanya. Aku membawa motorku dengan kecepatan tinggi. Begitu sampai di rumahnya, aku dikagetkan dengan kelahiran kucing betina milik Meri. Aku kesal. Aku pikir dia terjatuh dan tak bisa bangun atau masalah apa, ternyata kucingnya melahirkan. Tapi begitu melihat senyum bahagianya, amarahku hilang seketika.
Baru saja aku merasakan apa yang dinamakan cinta, duka datang menghampiriku. Meri selingkuh di belakangku. Dia yang berterus terang padaku tepat dimana aku baru akan mampir ke rumahnya. Dia mengatakan kalau dia menyesal dan sesungguhnya aku memaafkannya asal dia tetap menjadi pacarku. Aku rela pernah ia duakan. Tak masalah untukku. Aku yakin sakitnya tak akan lama. Aku lalu meneleponnya. Aku bisa mendengar suaranya yang parau.
"Dimas, maafin aku, ya, soalnya aku nggak pernah buat kamu bahagia."
"Kenapa? Selama ini aku bahagia, kok."
"Tapi aku selalu bikin kamu capek, sakit dan terluka."
"Nggak usah pentingin itu, Mer. Aku rela ngelakuin apapun untuk kamu."
"Dimas, nggak seharusnya kamu kenal cewek yang nyebelin kayak aku. Gimana kalo kita putus aja?"
"Nggak! Aku nggak mau, Mer."
"Kenapa?" Tanyanya penuh keputus-asaan.
"Ngelepas bukan masalah. Aku bilang aku bahagia milikin kamu. Aku cinta dan sayang sama kamu. Kalau kamu sayang dan cinta sama aku juga, nggak begini caranya. Seberapapun besarnya masalah yang ada, pasti akan selalu memaafkan. Itu yang namanya cinta."
Telepon itu pun langsung terhenti begitu saja. Dia menutupnya tiba-tiba. Aku melepaskan lagi jaket hitamku. Aku masuk lagi ke dalam kamar. Kurasa aku perlu menenangkan diri dengan tidur sebentar. Aku harap, Meri akan memikirkan lagi perkataanku.
Aku tertidur pulas hingga beberapa jam. Begitu aku membuka mataku perlahan, satu-satunya yang kulihat di depanku adalah wajah Meri. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Meri sedang memandangiku. Aku pikir aku bermimpi. Ternyata itu memang benar Meri.
"Kamu sejak kapan ke rumahku dan masuk kamarku?"
"Dari dua jam yang lalu." Lalu dia tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Kamu ngorok dan sempet mengigau tau!"
"Memang aku bilang apa pas tidur?"
"Begini, 'Meri, aku mohon jangan pinta aku untuk pergi dari aku. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Sekeras apapun kamu menyuruhku meninggalkanmu, aku nggak akan mau... Meri, aku hanya ingin dirimu dalam hidupku. Aku bisa mati karena kehilanganmu nanti. Jangan mengatakan hal yang tadi lagi.. Meri,..."
"Cukup-cukup!" Aaaaah... Itu semua yang baru saja aku mimpikan. Ternyata terucap saat aku mengigau. Membuatku malu saja. "Eh kamu jangan tiduran begitu di tempat tidurku! Bangun!”
"Nggak mau."
Dengan manja dia menarikku. Dia memintaku untuk tidur lagi. Tidur bersamanya. Dia ingin malam itu menghabiskan satu hari bersamaku. Kini aku tahu dan mengerti yang dinamakan cinta sejati. Perlu pengorbanan untuk mendapatkannya. Dan satu hal yang terpenting, jangan lepaskan apa yang sudah didapatkan selama masih bisa mempertahankan.




-Love Story III: Dimas and His Sacrifice Selesai-

*Spesial untuk kakakku, Kak Dimas (@dimpras/@putrabc)