3
Is it Love?
(Klik disini
untuk part sebelumnya)
"Ocha,
gue main ke rumah lo, boleh?" tanya Rika saat jam makan siang di kantin.
"Ngapain?
Rumah gue kan jauh banget. Terpencil pula." Setelah menelan bakso
dimulutnya, ia baru ingat sesuatu. "Ah, gue tau. Bilang aja lu mau ketemu
cowok yang waktu itu, kan?"
"Hehe."
Rika menganggukkan kepalanya.
Rika
sebenarnya bisa saja menunggu kesempatan untuk ketemu lagi sama cowok bernama
Rere itu. Tapi di dunia ini yang namanya 'kebetulan' itu tak selalu berlaku.
Sepulang
sekolah, Rika dengan semangat berjalan ke rumah Ocha. Naik angkutan umum dua
kali, lalu dari depan komplek, mereka harus berjalan kaki. Sama seperti Rika,
Ocha juga orang yang sangat menghargai uang. Jalan kaki juga jadi lebih sehat.
Begitu
mereka sampai di tanjakan arah rumah Ocha, Rika mempertajam penglihatannya.
"Rika, lo mau nunggu dia di sini?"
"Iya.
Lo pulang aja."
Ocha
sebenarnya tak keberatan kalau harus menemani. Tapi masa mau ketemu cowok, dia
harus ikutan. Maka, Ocha memilih untuk pulang saja ke rumah. "Ya udah gue
pulang. Kalo ada apa-apa, telepon gue." Ocha melambaikan tangannya sebelum
pergi.
"Siaaaaap!"
Selang
beberapa lama, Rika duduk diam di taman komplek itu. Kalau sampai tiga jam
cowok itu tak muncul, ia berniat pulang ke rumah.
Saat
sedang duduk sambil mendengarkan musik dengan earphonenya, seorang pengendara
motor berhenti tepat di depan taman itu. Meski suara lagu yang Rika dengarkan
cukup keras, suara mesin motor itu jauh lebih nyaring.
"Eh
cewek, ngapain lo di sini?" tanya pengendara motor itu begitu dia turun dari
motor dan membuka helmnya.
Awalnya
Rika mengira kalau yang datang itu Rere. Tapi dia salah. "Nggak
ngapa-ngapain. Cuma duduk." jawabnya agak gugup. Lebih tepatnya Rika
ketakutan. Tapi ia menyembunyikan rasa takutnya. Hal itu pernah diajarkan David
beberap waktu lalu kalau bertemu orang asing.
Cowok
yang memakai jaket kulit itu lalu duduk di samping Rika. "Mending sebelum
gelap, lo balik, deh."
"Ke..
Kenapa? Lagipula sekarang masih jam 5."
"Nanya
kenapa lagi. Emangnya lo nggak tau..."
Ucapan
cowok itu tak sempat dilanjutkan karena ia keburu terpaut dengan suara motor
yang berhenti dan memarkir motornya di sebelah motornya.
Senyum
Rika mengembang. Yang ditunggu akhirnya datang juga. Kali ini Rere kelihatan
lebih keren dari sebelumnya. Jaket kulit hitam, t-shirt putih, skinny jeans,
eh, tapi tunggu dulu. Jaket kulit yang Rere kenakan sama persis dengan dipakai cowok
di sebelahku, pikir Rika.
"Ah,"
Rere yang tersadar akan pertemuannya dengan Rika langsung berlari ke arahnya.
Sambil tersenyum dia berkata, "Lo lagi. Hehe. Nyasar lagi, ya?"
Rere
payah. Jelas-jelas Rika sengaja menunggunya. "Ini cewek dari tadi duduk di
sini, Ren." ucap cowok tak dikenal ini yang sudah sekaligus menjawab
pertanyaan Rere untuk Rika.
"Beneran?"
Rere langsung menatap Rika dengan tatapan tak percaya.
Astaga.
Mata itu. Entah kenapa, Rika selalu merasa ada yang bersinar di mata itu.
Indah. "Ya, begitulah." Rika yakin kalau saat ini jantungnya berhenti
berdetak.
Setelah
itupun, Rere mengajak Rika untuk duduk di bangku taman. Hampir belasan menit
mereka berdua tak bersuara sampai akhirnya Rere yang membuka percakapan,
"Oh iya. Lo kan belom ngasih tau nama lo."
"Hmm.
Nama gue Rika. Carprita Rika." ucap Rika malu-malu.
"Lo
jangan gugup gitu, dong. Hehe. Santai aja."
"Ngomong-ngomong
cowok itu temen lo?" tanya Rika sambil menunjuk seorang cowok yang sedang
serius berbicara lewat ponsel.
"Oh
dia? Iya, namanya Nico. Temen satu geng."
"Geng?"
Rika menaikkan sebelah alisnya.
"Kok
nadanya begitu? Hehe."
"Kalo
boleh tau geng apa?" Jangan bilang kalo...
"Motor."
Tepat
seperti apa yang barusan berputar di otak Rika. Ternyata Rere sama seperti
David. Tapi apa geng motor suka balapan liar juga, ya? Tanya Rika dalam hati.
Apa sebaiknya ia tanyakan pada Rere?
"Eh
Reno, kalo jadi..." Belum sempat Rika menyelesaikan pertanyaannya, Nico
memanggil Rere.
"Renoooo!"
Nico beranjak dari tempat ia berdiri dan mendekati Rere. "Anak-anak udah
di tempat. Gue bilang sama Radit kalo lo nggak ikutan malem ini,
karena..."
Rere
mengerti dengan gerakan dagu yang Nico arahkan ke Rika. "Haha. Oke. Good
luck, ya!"
***
"Re...
bawa motornya pelan-pelan aja."
Yang
diajak bicara tak mendengar jelas apa yang diucapkan Rika. Suara motornya yang
bising, membuat Rere tak bisa mendengar suara apapun lagi. "Apa?"
Rere sedang konsenterasi menyalip kendaraan-kendaraan di jalanan yang
sebenarnya cukup padat.
"Jangan
ngebut-ngebut!" ucap Rika setengah berteriak. Rere pasti dengar.
Rere
tak menjawab. Hanya saja dia menarik kedua tangan Rika agar lebih kuat berpegangan.
Rika melingkari pinggang Rere dengan erat. Tubuh Rere yang hangat, membuat Rika
tanpa sadar memeluknya.
"Inikah
yang orang bilang tentang cinta? Aku bisa merasakan tubuh ini gemetar. Dan
rasanya... ada yang salah dengan jantungku yang berdetak tak karuan. Ah... Aku
ingin seperti ini setiap hari." ucap Rika dalam hati kecilnya.
Rere
menuruni sedikit kecepatannya. Tapi tetap saja masih terasa cepat bagi Rika.
Dan meskipun begitu, Rika berharap agar tak cepat sampai ke tempat tujuan.
"Di
depan belok kiri!"
"Sebelah
sini?"
***
"Gimana?
Enak?"
Entah
lapar atau doyan atau bagaimana, Rere dengan cepat melahap semua makanan yang
dihidangkan. "Banget! Lo sering ke sini?"
"Iya.
Hampir tiap hari." jawab Rika sambil tersenyum.
"Eh?"
ucapnya yang masih mengunyah makanan di mulutnya.
Rika
tertawa kecil. Ia tersenyum melihat cowok di depannya yang terlihat bebas tanpa
beban. Rika jadi benar-benar ingin tahu banyak tentang dia.
Rere
masih asyik dengan makanannya. Ya, meski Rika juga, sih. Soalnya mereka jarang
sekali berbicara. Memang sih, Rere selalu membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Tapi ujung-ujungnya keadaan kembali lagi sunyi seperti semula.
"Re."
"Ya?"
"Habis
ini kita kemana?"
"Lho?
Emang masih mau main?"
"Nggak
juga, sih. Oh iya. Ikut aku yuk." Rika menggamit tangan Rere dan
mengajaknya pergi dari tempat mereka duduk.
"Kita
mau kemana?" tanya Rere sambil mengikuti Rika yang berjalan menuju ruangan
belakang restauran Jepang itu. Beberapa pelayan membungkukkan badan saat Rika
melewati mereka. Beberapa dari sisanya menyapa Rika dengan ramah seakan mereka
sudah berteman lama.
Ada
tangga yang menuju ke atas. Perlahan Rika menaiki anak tangga itu satu persatu.
Rere mengikuti dibelakangnya. Begitu mereka menginjakkan kaki di lantai dua,
barulah Rere menyadari.
Di
lantai dua hanya ada satu ruangan besar yang dibagi dalam beberapa skat rendah.
Membagi antara ruang menonton tv dan dapur kecil. Lalu sebelum menuju balkon,
akan dilewati dua kandang kucing dan anjing yang sepertinya sengaja dibuat bertingkat.
Tak lupa juga ada satu keranjang busa besar yang dilapisi kain bermotif lucu
yang serba pink.
Lantai
dua sepertinya menarik sekali bagi Rere yang terlihat gembira begitu melihat
anak anjing berlarian ke arahnya. Keempat binatang peliharaan disana, dua
kucing Maine Coon dan dua anjing Shih Tzu, sengaja dibiarkan berkeliaran dengan
bebas di sini.
"Mereka
lucu-lucu." Rere menggendong tsih zui yang lebih kecil dari satunya dan ia
mendekati Rika. "Ri, lo ada hubungan apa sama restauran ini?"
"Aku
kerja di sini."
"Kok
yang aku liat kamu nggak kayak begitu?"
"Maksudnya?"
"Ya.
Gitu. Nggak keliatan kalo kamu kerja disini."
"Aku
kerja disini, kok."
"Sebagai
pemilik?"
"Sebagai
pengelola. Hehe"
Setelah
itu mereka berdua duduk mengobrol berjamjam di balkon. Rere masih tak percaya
dengan apa yang diceritakan Rika. Mulai dari restauran ini dibangun dan saat
restauran ini beberapa kali mengalami kerugian.
"Hebat!
Restauran ini rugi berkali-kali tapi masih tetep berdiri."
"Ini
berkat Papaku. Sebenernya awalnya aku marah karena Papa dengan entengnya bilang
kalo rugi, dia mau kasih aku modal lagi. Tapi kata Papa, untuk membuka usaha
yang cukup besar memang begini. Nggak akan untung terus-terusan. Dan persaingan
juga menjadi persoalan utama. Dia juga berkali-kali bilang kalo aku masih muda
dan masih banyak waktu untuk belajar. Dan kegagalan adalah hal yang
wajar."
"Hmm.
Betul juga, sih. Ngomong-ngomong kenapa kamu milih restauran Jepang untuk buka
usaha?"
"Nggak
tau." jawabnya polos. "Aku dapet ide dari Papa. Mantan isteri Papaku
orang Jepang. Papa jadi sering masak masakan Jepang buat kami. Enak-enak dan
bervariasi. Dilihatnya juga bagus."
Rere terlihat bingung dan menatap Rika tanpa ekspresi. "Tunggu. Tunggu. `Mantan isteri?`?"
Rere terlihat bingung dan menatap Rika tanpa ekspresi. "Tunggu. Tunggu. `Mantan isteri?`?"
"Haha.
Mukanya nggak usah serius begitu." Awalnya tertawa. Tapi kemudian dia jadi
diam karena sudah terlanjur berbicara hal yang sebenarnya tak perlu orang lain
tahu dan membuat orang itu menjadi penasaran.
"Hey.
Kalo nggak mau cerita nggak apa-apa, kok." Rere memang pengertian.
"Sebenernya,
sih, bukan hal yang disembunyiin. Cuma..."
"Cuma?"
"Aku
males aja ceritanya. Panjaaaaaaaang banget. Pasti kamu penasaran
sekarang."
"Huh.
Kirain kenapa. Yaudah. Cepetan cerita."
"Intinya
aja, ya?"
"Boleh.
Boleh."
"Mama
sama Papaku satu SMA. Selama tiga tahun berturut-turut mereka sekelas dan
selalu duduk sebangku. Papa sayang Mama dari lama. Tapi Mama sukanya sama orang
lain. Tapi cinta Mama ditolak sama orang itu. Sampe akhirnya lima tahun
kemudian, orang itu dateng ke Mama. Dia deketin Mama dan nikahin Mama. Tapi
nggak lama... dia pergi. Nggak pernah kembali."
"Meninggal?"
"Nggak.
Dia kabur. Padahal aku masih bayi. Mama udah nggak punya keluarga waktu itu.
Mama yang cuma lulusan SMA sulit mencari pekerjaan."
Rere
ikut sedih mendengarkan ceritanya. Tapi dia malah ingin tahu lebih banyak.
"Terus gimana caranya dia ngehidupin dirinya dan kamu?"
"Mama
jualan nasi uduk setiap pagi. Menjelang agak siangan, dia bantu-bantu di rumah
tetangga untuk mengurus pekerjaan rumah."
"Mama
kamu hebat."
"Iya."
Rika menengadahkan kepalanya ke langit yang sudah gelap. Indah bertabur
bintang. "Mama akan selalu hebat. Meski dia udah nggak ada, dia akan
selalu ada dihatiku."
Mata
Rere langsung membelalak. "Loh, loh, loh? Nggak ada gimana? Dia udah
meninggal?"
"Mama
meninggal pada akhir tahun." Rika menangis. Pertama kalinya dia menangis
didepan seorang cowok yang dia sukai.
Rere
memeluk Rika dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut. "Udah. Jangan
nangis lagi. Gue janji deh nggak nanya-nanya lagi."
Rika
mengangguk.
BRAKKK!!! Seketika pintu balkon terbuka dengan
sekali gebrak. Rika dan Rere yang kaget, reflex berdiri melihat siapa yang
datang.
Mata
hangat yang selalu ia lihat kini terlihat berbeda. Meski gelap, Rika tahu
jelas, orang yang ada dihadapannya ini sedang marah. Sangat marah.
"Kakak?"
(Klik
disini untuk part berikutnya)