Sabtu, 12 Januari 2013

Could I Call It Love? #3



3
Is it Love?


(Klik disini untuk part sebelumnya)



"Ocha, gue main ke rumah lo, boleh?" tanya Rika saat jam makan siang di kantin.

"Ngapain? Rumah gue kan jauh banget. Terpencil pula." Setelah menelan bakso dimulutnya, ia baru ingat sesuatu. "Ah, gue tau. Bilang aja lu mau ketemu cowok yang waktu itu, kan?"

"Hehe." Rika menganggukkan kepalanya.

Rika sebenarnya bisa saja menunggu kesempatan untuk ketemu lagi sama cowok bernama Rere itu. Tapi di dunia ini yang namanya 'kebetulan' itu tak selalu berlaku.

Sepulang sekolah, Rika dengan semangat berjalan ke rumah Ocha. Naik angkutan umum dua kali, lalu dari depan komplek, mereka harus berjalan kaki. Sama seperti Rika, Ocha juga orang yang sangat menghargai uang. Jalan kaki juga jadi lebih sehat.

Begitu mereka sampai di tanjakan arah rumah Ocha, Rika mempertajam penglihatannya. "Rika, lo mau nunggu dia di sini?"

"Iya. Lo pulang aja."

Ocha sebenarnya tak keberatan kalau harus menemani. Tapi masa mau ketemu cowok, dia harus ikutan. Maka, Ocha memilih untuk pulang saja ke rumah. "Ya udah gue pulang. Kalo ada apa-apa, telepon gue." Ocha melambaikan tangannya sebelum pergi.

"Siaaaaap!"

Selang beberapa lama, Rika duduk diam di taman komplek itu. Kalau sampai tiga jam cowok itu tak muncul, ia berniat pulang ke rumah.

Saat sedang duduk sambil mendengarkan musik dengan earphonenya, seorang pengendara motor berhenti tepat di depan taman itu. Meski suara lagu yang Rika dengarkan cukup keras, suara mesin motor itu jauh lebih nyaring.

"Eh cewek, ngapain lo di sini?" tanya pengendara motor itu begitu dia turun dari motor dan membuka helmnya.

Awalnya Rika mengira kalau yang datang itu Rere. Tapi dia salah. "Nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk." jawabnya agak gugup. Lebih tepatnya Rika ketakutan. Tapi ia menyembunyikan rasa takutnya. Hal itu pernah diajarkan David beberap waktu lalu kalau bertemu orang asing.

Cowok yang memakai jaket kulit itu lalu duduk di samping Rika. "Mending sebelum gelap, lo balik, deh."

"Ke.. Kenapa? Lagipula sekarang masih jam 5."

"Nanya kenapa lagi. Emangnya lo nggak tau..."

Ucapan cowok itu tak sempat dilanjutkan karena ia keburu terpaut dengan suara motor yang berhenti dan memarkir motornya di sebelah motornya.

Senyum Rika mengembang. Yang ditunggu akhirnya datang juga. Kali ini Rere kelihatan lebih keren dari sebelumnya. Jaket kulit hitam, t-shirt putih, skinny jeans, eh, tapi tunggu dulu. Jaket kulit yang Rere kenakan sama persis dengan dipakai cowok di sebelahku, pikir Rika.

"Ah," Rere yang tersadar akan pertemuannya dengan Rika langsung berlari ke arahnya. Sambil tersenyum dia berkata, "Lo lagi. Hehe. Nyasar lagi, ya?"

Rere payah. Jelas-jelas Rika sengaja menunggunya. "Ini cewek dari tadi duduk di sini, Ren." ucap cowok tak dikenal ini yang sudah sekaligus menjawab pertanyaan Rere untuk Rika.

"Beneran?" Rere langsung menatap Rika dengan tatapan tak percaya.

Astaga. Mata itu. Entah kenapa, Rika selalu merasa ada yang bersinar di mata itu. Indah. "Ya, begitulah." Rika yakin kalau saat ini jantungnya berhenti berdetak.

Setelah itupun, Rere mengajak Rika untuk duduk di bangku taman. Hampir belasan menit mereka berdua tak bersuara sampai akhirnya Rere yang membuka percakapan, "Oh iya. Lo kan belom ngasih tau nama lo."

"Hmm. Nama gue Rika. Carprita Rika." ucap Rika malu-malu.

"Lo jangan gugup gitu, dong. Hehe. Santai aja."

"Ngomong-ngomong cowok itu temen lo?" tanya Rika sambil menunjuk seorang cowok yang sedang serius berbicara lewat ponsel.

"Oh dia? Iya, namanya Nico. Temen satu geng."

"Geng?" Rika menaikkan sebelah alisnya.

"Kok nadanya begitu? Hehe."

"Kalo boleh tau geng apa?" Jangan bilang kalo...

"Motor."

Tepat seperti apa yang barusan berputar di otak Rika. Ternyata Rere sama seperti David. Tapi apa geng motor suka balapan liar juga, ya? Tanya Rika dalam hati. Apa sebaiknya ia tanyakan pada Rere?

"Eh Reno, kalo jadi..." Belum sempat Rika menyelesaikan pertanyaannya, Nico memanggil Rere.

"Renoooo!" Nico beranjak dari tempat ia berdiri dan mendekati Rere. "Anak-anak udah di tempat. Gue bilang sama Radit kalo lo nggak ikutan malem ini, karena..."

Rere mengerti dengan gerakan dagu yang Nico arahkan ke Rika. "Haha. Oke. Good luck, ya!"


***


"Re... bawa motornya pelan-pelan aja."

Yang diajak bicara tak mendengar jelas apa yang diucapkan Rika. Suara motornya yang bising, membuat Rere tak bisa mendengar suara apapun lagi. "Apa?" Rere sedang konsenterasi menyalip kendaraan-kendaraan di jalanan yang sebenarnya cukup padat.

"Jangan ngebut-ngebut!" ucap Rika setengah berteriak. Rere pasti dengar.

Rere tak menjawab. Hanya saja dia menarik kedua tangan Rika agar lebih kuat berpegangan. Rika melingkari pinggang Rere dengan erat. Tubuh Rere yang hangat, membuat Rika tanpa sadar memeluknya.

"Inikah yang orang bilang tentang cinta? Aku bisa merasakan tubuh ini gemetar. Dan rasanya... ada yang salah dengan jantungku yang berdetak tak karuan. Ah... Aku ingin seperti ini setiap hari." ucap Rika dalam hati kecilnya.

Rere menuruni sedikit kecepatannya. Tapi tetap saja masih terasa cepat bagi Rika. Dan meskipun begitu, Rika berharap agar tak cepat sampai ke tempat tujuan.

"Di depan belok kiri!"

"Sebelah sini?"


***


"Gimana? Enak?"

Entah lapar atau doyan atau bagaimana, Rere dengan cepat melahap semua makanan yang dihidangkan. "Banget! Lo sering ke sini?"

"Iya. Hampir tiap hari." jawab Rika sambil tersenyum.

"Eh?" ucapnya yang masih mengunyah makanan di mulutnya.

Rika tertawa kecil. Ia tersenyum melihat cowok di depannya yang terlihat bebas tanpa beban. Rika jadi benar-benar ingin tahu banyak tentang dia.

Rere masih asyik dengan makanannya. Ya, meski Rika juga, sih. Soalnya mereka jarang sekali berbicara. Memang sih, Rere selalu membuka pembicaraan terlebih dahulu. Tapi ujung-ujungnya keadaan kembali lagi sunyi seperti semula.

"Re."

"Ya?"

"Habis ini kita kemana?"

"Lho? Emang masih mau main?"

"Nggak juga, sih. Oh iya. Ikut aku yuk." Rika menggamit tangan Rere dan mengajaknya pergi dari tempat mereka duduk.

"Kita mau kemana?" tanya Rere sambil mengikuti Rika yang berjalan menuju ruangan belakang restauran Jepang itu. Beberapa pelayan membungkukkan badan saat Rika melewati mereka. Beberapa dari sisanya menyapa Rika dengan ramah seakan mereka sudah berteman lama.

Ada tangga yang menuju ke atas. Perlahan Rika menaiki anak tangga itu satu persatu. Rere mengikuti dibelakangnya. Begitu mereka menginjakkan kaki di lantai dua, barulah Rere menyadari.

Di lantai dua hanya ada satu ruangan besar yang dibagi dalam beberapa skat rendah. Membagi antara ruang menonton tv dan dapur kecil. Lalu sebelum menuju balkon, akan dilewati dua kandang kucing dan anjing yang sepertinya sengaja dibuat bertingkat. Tak lupa juga ada satu keranjang busa besar yang dilapisi kain bermotif lucu yang serba pink.

Lantai dua sepertinya menarik sekali bagi Rere yang terlihat gembira begitu melihat anak anjing berlarian ke arahnya. Keempat binatang peliharaan disana, dua kucing Maine Coon dan dua anjing Shih Tzu, sengaja dibiarkan berkeliaran dengan bebas di sini.

"Mereka lucu-lucu." Rere menggendong tsih zui yang lebih kecil dari satunya dan ia mendekati Rika. "Ri, lo ada hubungan apa sama restauran ini?"

"Aku kerja di sini."

"Kok yang aku liat kamu nggak kayak begitu?"

"Maksudnya?"

"Ya. Gitu. Nggak keliatan kalo kamu kerja disini."

"Aku kerja disini, kok."

"Sebagai pemilik?"

"Sebagai pengelola. Hehe"

Setelah itu mereka berdua duduk mengobrol berjamjam di balkon. Rere masih tak percaya dengan apa yang diceritakan Rika. Mulai dari restauran ini dibangun dan saat restauran ini beberapa kali mengalami kerugian.

"Hebat! Restauran ini rugi berkali-kali tapi masih tetep berdiri."

"Ini berkat Papaku. Sebenernya awalnya aku marah karena Papa dengan entengnya bilang kalo rugi, dia mau kasih aku modal lagi. Tapi kata Papa, untuk membuka usaha yang cukup besar memang begini. Nggak akan untung terus-terusan. Dan persaingan juga menjadi persoalan utama. Dia juga berkali-kali bilang kalo aku masih muda dan masih banyak waktu untuk belajar. Dan kegagalan adalah hal yang wajar."

"Hmm. Betul juga, sih. Ngomong-ngomong kenapa kamu milih restauran Jepang untuk buka usaha?"

"Nggak tau." jawabnya polos. "Aku dapet ide dari Papa. Mantan isteri Papaku orang Jepang. Papa jadi sering masak masakan Jepang buat kami. Enak-enak dan bervariasi. Dilihatnya juga bagus."
Rere terlihat bingung dan menatap Rika tanpa ekspresi. "Tunggu. Tunggu. `Mantan isteri?`?"

"Haha. Mukanya nggak usah serius begitu." Awalnya tertawa. Tapi kemudian dia jadi diam karena sudah terlanjur berbicara hal yang sebenarnya tak perlu orang lain tahu dan membuat orang itu menjadi penasaran.

"Hey. Kalo nggak mau cerita nggak apa-apa, kok." Rere memang pengertian.

"Sebenernya, sih, bukan hal yang disembunyiin. Cuma..."

"Cuma?"

"Aku males aja ceritanya. Panjaaaaaaaang banget. Pasti kamu penasaran sekarang."

"Huh. Kirain kenapa. Yaudah. Cepetan cerita."

"Intinya aja, ya?"

"Boleh. Boleh."

"Mama sama Papaku satu SMA. Selama tiga tahun berturut-turut mereka sekelas dan selalu duduk sebangku. Papa sayang Mama dari lama. Tapi Mama sukanya sama orang lain. Tapi cinta Mama ditolak sama orang itu. Sampe akhirnya lima tahun kemudian, orang itu dateng ke Mama. Dia deketin Mama dan nikahin Mama. Tapi nggak lama... dia pergi. Nggak pernah kembali."

"Meninggal?"

"Nggak. Dia kabur. Padahal aku masih bayi. Mama udah nggak punya keluarga waktu itu. Mama yang cuma lulusan SMA sulit mencari pekerjaan."

Rere ikut sedih mendengarkan ceritanya. Tapi dia malah ingin tahu lebih banyak. "Terus gimana caranya dia ngehidupin dirinya dan kamu?"

"Mama jualan nasi uduk setiap pagi. Menjelang agak siangan, dia bantu-bantu di rumah tetangga untuk mengurus pekerjaan rumah."

"Mama kamu hebat."

"Iya." Rika menengadahkan kepalanya ke langit yang sudah gelap. Indah bertabur bintang. "Mama akan selalu hebat. Meski dia udah nggak ada, dia akan selalu ada dihatiku."

Mata Rere langsung membelalak. "Loh, loh, loh? Nggak ada gimana? Dia udah meninggal?"

"Mama meninggal pada akhir tahun." Rika menangis. Pertama kalinya dia menangis didepan seorang cowok yang dia sukai.

Rere memeluk Rika dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut. "Udah. Jangan nangis lagi. Gue janji deh nggak nanya-nanya lagi."

Rika mengangguk.

BRAKKK!!! Seketika pintu balkon terbuka dengan sekali gebrak. Rika dan Rere yang kaget, reflex berdiri melihat siapa yang datang.

Mata hangat yang selalu ia lihat kini terlihat berbeda. Meski gelap, Rika tahu jelas, orang yang ada dihadapannya ini sedang marah. Sangat marah.

"Kakak?"




(Klik disini untuk part berikutnya)