Rabu, 23 November 2011

Barangkali Cinta #12


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)

            Di tempat lain, ada gadis yang merasa bahagia juga. Lidya. Dia dan Gema sudah mulai jadian. Dan dia terus mengangkat bingkai foto Daren dan berkata dalam hati, “Ren, aku yakin. Kamu pasti rela”. Lalu dia tersenyum, dan kembali menyimpan foto Daren di atas meja belajarnya. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Diraihnya ponsel miliknya. Karena terlalu mengantuk, ia tak sempat membalas SMS dari Gema.
            Baru saja Lidya hampir tertidur pulas, Mamanya mengetuk pintu kamarnya. Tok tok tok!!!
            “Lid? Bangun, Lid! Buka pintunya sebentar!” pinta Mama Lidya sambil mengetuk pintu kamarnya.
            “Ya, Ma. Sebentar.” Lidya dengan tergopoh-gopoh mencapai pintu kamar dan membukanya.
            Tanpa basa-basi, Mamanya langsung menerobos masuk dan bicara dengan sangat panik. “Kakakmu, Lionel, kok belum pulang, ya?” Mama Lidya terlihat begitu khawatir.
            “Ih, Mama. Baru juga jam dua belas lewat dikit. Paling dia lagi main sama temen-temennya.” Lidya hapal betul kelakuan kakak sulungnya itu.
            Mama berdecak kecil. “Ck! Kemana ya tuh anak? Biasanya kalaupun pulang malem, pasti ngasih kabar. Ini malah nggak! Bikin orangtua khawatir aja!”
            “Mending Mama tidur aja deh sekarang. Udah malem banget, Ma. Kak Lionel pasti pulang, kok.”
            “Tapi Mama kan khawatir, Lid. Kalo kamu ngantuk, tidur lagi aja.” Lalu Mama Lidya berjalan keluar kamar dan menutup pintu kamar Lidya.

***

            Keesokannya, Gema menjemput Lidya pagi-pagi sekali. Lidya yang tahu mobil Gema sudah nangkring di depan pagar, buru-buru keluar.
            “Tumben pagi banget!” Lidya keluar masih mengenakan baju tidurnya.
            “Kok? Hehehe…” Gema terkejut melihat pacar barunya yang masih mengenakan piyama dan rambut super exoticnya, persis rambut singa. “Aku pikir kamu udah rapi, sayang!”
            “Jangan ketawa deh. Yaudah aku mandi dan rapi-rapi dulu, ya. Kamu masuk dulu!” Lidya mengajak Gema masuk, lalu dia berlari ke dalam dan segera bersiap-siap.
            Saat Gema sedang menunggu Lidya mandi di teras, Mama Lidya keluar. Gema lebih terkejut lagi melihat Mama Lidya. Pucat sekali. Kelihatan jelas kalau dia kelelahan karena tidak tidur semalaman.
            “Tante, tante sakit?” tanyanya hati-hati.
            “Nggak kok, Nak Gema. Tante cuma susah tidur aja. Kakaknya Lidya dari semalam belum pulang.” Suaranya terdengar lesu.
            “Kak Lionel, Tan?” Gema juga mulai sedikit tahu sikap yang dimiliki kedua kakak Lidya. Kak Lionel dari semenjak dia duduk di bangku SD memang sudah nakal. Tapi di lain sisi, dia itu pengertian, baik, dan sama sekali tak kelihatan buruknya sama sekali. Sedangkan kalau Kak Lintang, meski usil, dia orang penyayang, terutama pada Lidya. Tapi kalau Kak Lintang sudah marah, dia bisa lebih brutal dibandingkan Kak Lintang.
            “Iya, nih. Mana nggak ngasih kabar dulu”.
            Lalu Gema dan Mama Lidya berbincang-bincang seputar kedua kakak Lidya sampai Lidya keluar. Setelah puluhan menit mandi dan bersiap-siap, akhirnya yang ditunggu keluar juga.
            “Yuk.” Lidya yang sudah rapi langsung mengajak Gema berangkat, lalu mencium tangan Mamanya. “Ma, Lidya berangkat, ya.”
            “Iya, sayang. Hati-hati, ya.” Mama Lidya mengantar mereka sampai di depan pagar rumah Lidya.

***
            Lidya makin mempercepat langkahnya melewati koridor sekolah. Dan Gema juga menyesuaikan langkah-langkah Lidya yang dinilainya terlalu buru-buru. Kelas masih sepi. Baru ada empat anak yang baru datang.
            Brakkk!! Tas miliknya dibanting begitu saja di atas kursi. Lalu dia buru-buru mengeluarkan buku paket Matematikanya beserta buku tulisnya.
            “Kamu… ngapain?” Gema bertanya sambil menatap bingung wajah Lidya.
            Sambil serius menulis, dia menjawab, “Aku belum ngerjain PR!!!”
            Gema malah geleng-geleng kepala melihat kelakuan pacarnya ini. Sambil menahan tawa dia memperhatikan Lidya mengerjakan soal. “Eh ini salah! Kamu oon banget sih!” kata Gema sambil menoyor kepala Lidya. Dia langsung menarik pulpen yang Lidya pegang. Lalu ia mencoret-coret buku tulis Lidya dengan tanda silang yang gedenya se-gajah. “Yang ini juga sa…”
            Lidya langsung merebut bukunya kembali. “Gila! Ini mah mesti ngulang dari nomor satu lagi! Kamu mah ih pake coret-coret segala!”
            “Haha… Lagian emang harusnya begitu! Aku rasa jawaban kamu itu salah semua. Ngaco dan nggak nyambung banget.” Gema menggeser tempat duduknya tepat di sebelah tempat duduk Lidya, dengan jarak hanya 2 cm. “Kamu kalo ada yang nggak ngerti, Tanya aku aja. Nanti aku ajarin”.
            Lidya berhenti menulis. “Ya, deh. Nanti ajarin aku, ya! Tapi sekarang PR aku gimana??? Jam ketiga kan dikumpulin!”
            “Siniin bukunya.” Gema mengambil kembali buku milik Lidya. “Aku yang kerjain. Nanti kalo udah selesai, aku kasih tau kamu. Baru abis itu, aku ajarin kamu.”
            “Kamu baik banget sum…” Belum selesai berbicara, Lidya melihat sahabatnya, Gita, berjalan mendekati kelas. Tapi… sama Gerry?
            Gema melirik keluar juga. Alisnya terangkat sebelah. Dalam hati dia berkata, “Mungkin dia udah mulai belajar mengenal cewek.”

***
            Siang ini Lidya mengajak Gema untuk main ke rumahnya. Tujuannya sih jelas, ingin minta tolong diajarin Matematika sama Gema. Tapi Lidya juga menyimpan banyak pertanyaan yang berhubungan dengan pacar barunya dan Gerry. Kebetulan di rumah tak ada orang.
            “Gem.”
            “Lid.”
            Mereka berbicara bersamaan. “Kamu dulu deh.” Ucap Lidya.
            “Hmmm…” Gema membuka tas selempangnya. Lalu dia mengambil kertas polos bergambar kucing yang berisi barisan kalimat. “Liat, deh.” Sambil tersenyum, dia amemberikan kertas itu pada Lidya.
           
            Tak ada kata sesingkat “I”
            Tak ada kata seindah “LOVE”
            Tak ada orang yang kurindu selain “YOU”
            Tak ada kata yang ingin aku ucapkan selain I LOVE YOU

            “Maaf ya kalo tulisan aku jelek. Hehe.”
            “Nggak apa-apa, kok.” Sambil tersenyum dia berkata lagi, “I love you too.”
            Baru beberapa menit mereka berdua mengobrol, Kak Lionel keluar dari kamarnya.
            “Kak? Tadi malem kemana, sih?” Tanya Lidya sambil mendekati Kak Lionel. Dan dia lalu terkejut begitu melihat jari-jari tangan kanannya terluka. “Tangan kakak kenapa? Berantem ya?”
            Setelah menjatuhkan tubuhnya di sebelah Gema, Kak Lionel menjawab, “Ya, gitu, deh.”
            “Tapi kok, cuma di jari-jari tangan?”
            Pertanyaan dari Lidya belum sempat terjawab oleh Kak Lionel, karena ada seseorang yang datang ke rumahnya. Kak Lionel, Lidya, dan Gema keluar rumah. Dilihatnya seorang cewek cantik turun dari mobil sedan. Lidya tidak asing lagi dengan wajah itu. Dia adalah mantan Kak Lionel. Buat apa cewek gatel itu kesini?
            “Kamu mau ngapain sih ke rumah aku?” Kak Lionel bertanya pada cewek itu.
            “Nel, kamu harus bantu aku…” cewek itu mulai menangis. Kak Lionel cepat-cepat membawa cewek itu ke dalam rumah.
            Gema mendekatkan mulutnya ke telinga Lidya, “Lid, dia siapa? Kata kamu dulu, pacarnya Kak Lionel rambutnya lurus?”
            Lidya menjawab pertanyaan Gema sambil bisik-bisik juga. “Namanya Nenek Lampir. Dia mantannya Kak Lionel.”
            Sepertinya Kak Lionel mendengar bisik-bisik antara Lidya dan Gema. “Lid kamu ke atas gih sama Gema.”
            “Aku kesana aja”. Lidya memilih untuk beranjak ke ruang tengah.
            Sambil memandangi sekelilinh ruang tengah Lidya, Gema memulai pembicaraan. “Eh ke kamar kamu, yuk. Aku mau liat.”
            “Ssst… Jangan berisik!” Lidya sedang menguping pembicaraan kakak sulungnya dengan mantan pacarnya.
            “Ih… kamu kok nguping?!” Bukannya melarang Lidya, dia malah ikutan menguping. “Ngomongin apa emang?”
            “Hehe.. Dasar!!!”
            Lidya mendengar pembicaraan kakaknya dengan seksama. Gema juga ikut serius mendengarkan dibalik dinding bercat putih itu. Tapi tentu saja sambil mencemili kuekue kering di rumah Lidya.
            “Aku hamil udah dua bulan, Nel!!”




Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)

Rabu, 16 November 2011

Barangkali Cinta #11


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)



            Gerry yang terdengar kaget langsung menutup teleponnya. Lidya jadi ingat lagi kejadian kemarin di bioskop itu. Rasanya dia ingin muntah. Tak lama kemudian, Gema datang.
            “Lid? Kok lo bengong?”
            Lidya masih belum sadar Gema memanggilnya. Akhirnya Gema menyentil jidat Lidya. “Ah! Sakit tau!”
            “Hehe… Lagian lo bengong aja sih!” Gema langsung merangkulnya, dan mengajak pergi dari situ.
            “Gema, aku mau ngomong, deh.”
            Gema mendadak menghentikan langkahnya. “Penting?”
            “Penting banget. Tapi…” Lidya tiba-tiba berpikir sejenak. Kalau dibicarakan disini, kalau tiba-tiba Gema marah, dia bisa ditinggal sendirian. “Kita ngomongnya di rumah aku aja gimana?”
            Senyum kecil mengembang di bibir Gema. Dia tak tahu kalau sedikit lagi dia pasti akan malu sekali. “Duileee… Ada apa sih tumben-tumbenan ngajak ke rumah?”
            Lidya tertawa, tertawa yang dibuat-dibuat.

***

            Begitu sampai di rumah, Lidya dimarahi Mamanya karena pulang agak malam. Gema membantunya mencari alasan. Ternyata Mamanya adalah tipe orang yang mampu dipengaruhi orang lain.
            Gema dibiarkan duduk menunggu Lidya di ruang tamu. Lidya jadi maju mundur mau membicarakan masalah kemarin itu, masalah antara cowok itu dan Gerry. Tapi sudah terlanjur membawanya kesini. Setelah berganti baju, Lidya menemui Gema.
            “Maaf lama.” Lidya langsung duduk di sebelah Gema.
            Gema agak menggeser duduknya. Ditatapnya Lidya lekat-lekat. “Nggak apa-apa. Emang lo mau ngomong apa, sih? Kok, mukanya serius banget gitu?”
            Mampus, batinnya. Lidya jadi salah tingkah. Gema pasti malu banget kalau pernah dipergokinya lagi berduaan sama Gerry di bioskop. “Ng… Kemarin lo main di Semanggi ya?” Glek! Kenapa langsung ngomong itu ya?! Lidya menatap Gema takut-takut.
            “Hah?” Gema sepertinya shock begitu Lidya bicara. “Kok lo tau sih?”
            “Kemarin gue bahkan nggak senngaja ngeliat lo di bioskop pas gue sama Gita mau nonton… Ups…” Lidya jadi ketularan bawelnya Gita. Lidya buru-buru menutup mulut.
            Gema yang terlalu kaget, hanya bisa diam saja tanpa bisa bergerak. Tubuhnya kaku. Wajahnya masih menatap Lidya.
            “Gem, kok lo…”
            Tanpa menunggu Lidya menyelesaikan kalimatnya, Gema langsung berkata, “Gue tuh iseng, Lid. Apa yang lo liat, itu nggak ada apa-apanya. Gue sama Gerry nggak ada apa-apa! Suer!”
            “Ada apa-apa juga nggak masalah kok, Gem. Jujur gue geli sebelumnya. Tapi kenapa lo bisa kayak gitu?” tanya Lidya penuh arti.
            Gema tiba-tiba memegang tangan Lidya. Menaruh kedua telapak tangan Lidya di atas pangkuannya. Gema mulai membuka suara, “Aku telah bernyanyi untukmu, tapi kau tidak juga menari. Aku telah menangis di depanmu, tapi kau tidak jugaa menari. Haruskah aku menangis sambil bernyanyi?”
            Lidya agak bingung, tapi ia mengerti benar maksud dari perkataan Gema. Lidya menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia senang. Tapi Gema belum mengatakan perasaannya.
            Gema menambahkan, “Lid, dari pertama kali Daren cerita tentang lo, gue udah tertarik sama lo. Tertarik dalam artian gue pengen banget ketemu dan kenal lo secara langsung, nggak hanya denger cerita dari Daren. Daren terlalu detail menceritakan segalanya tentang lo.”
            “Terus?” Lidya bertanya hati-hati.
            “Dulu, pertama kali gue jadi temen sekelas lo, gue yakin perasaan gue nggak akan berubah. Tapi begitu gue mengenal lo, ada yang berubah, Lid. Gue juga suka iri liat lo sama Daren, betapa lo sayang banget sama Daren, betapa lo perhatian sama Dia. Dan sekarang Daren nggak ada.”
            Lidya geregetan banget sama Gema. Mau nembak aja lama banget! “Jadi?”
            “Gue kangen pacar gue, Lid.”
            “Hah?” Lidya keburu terkejut.
            “Tapi gue nggak punya pacar.”
            Alis Lidya bertatut.
            “Lo mau nggak gue kangenin?” Gema bertanya pada Lidya yang masih kebingungan. Tapi ia yakin, Lidya mengerti maksudnya. Dia bisa melihat itu di wajah Lidya yang bersemu merah.
            Lidya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gue mau.”
            “Serius?” Gema yang terlihat senang langsung berdiri dari tempat duduknya. “Kalo gitu sekarang manggilnya aku-kamu dong?” Gema tertawa senang. Baru saja ia ingin mencium kening Lidya, tiba-tiba Lidya dipanggil Mama.
            “Disuruh ngapain, yang?” tanya Gema begitu Lidya keluar dari dapur. Mukanya cemberut.
            “Disuruh Mama ke warung beli beras. Huh!” Lidya lalu keluar rumah.
            Gema langsung ikut keluar. “Aku ikut!”

***
           

            “Ren, gue jadian sama cewek lo.” Ucap Gema begitu saja sambil menatap foto Daren yang ada di kamarnya. “Dan dia mau jadi cewek gue. Lo rela kan?”
            Gema yang kini sedang duduk di meja belajarnya, langsung ingat sesuatu. Ia harus mengatakan ini pada Gerry. Gema memutuskan untuk memberitahu Gerry lewat SMS.

            To: Gerry
            Ger…

            From: Gerry
            Knp sayang?

            To: Gerry
            Kita udahan yah

            From: Gerry
            Kok? Knp emang?

            To: Gerry
            Cewek yg gue suka udah jadian sama gue td

            From: Gerry
            Lidya? Oh. Oke. Gue terima

            To: Gerry
            Maaf ya. Lo jg cari cewek dong! Hehe

            Pesan terakhir Gema, belum sempat dibalas Gerry. Gema memutuskan untuk tidur. Sebelum ia memejamkan mata, ia mengirim pesan selamat tidur dulu untuk Lidya.

To: Lidya
Seribu jejak kupijak
Seribu garis kugores
Membawaku ke dalam negerimu,
Mengais mimpimu mlm ini.
Met bobo, sayang :*

***

Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)

Selasa, 15 November 2011

Barangkali Cinta #10


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)




            Gita berbisik pada Lidya. Histeris sekali dia begitu Gema membalas kecupan itu tepat di bibir Gerry. Gita mendadak shock karenanya. Ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Terlalu mengagetkan.
            Lidya melongo persis sapi ompong. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ini kenyataannya. Gema ternyata… “Ya Tuhan, ini beneran?” Lidya menutup mulutnya saking tak percaya.
            Gita dan Lidya terus menyaksikan adegan itu. Lama juga dua cowok itu berciuman. Mesra sekali kelihatannya. Tapi Gita jadi bergidik geli saat dilihatnya Gerry meremas dada Gema penuh nafsu. Gema ternyata tak diam saja, dia membuka seleting celana abu-abu milik Gerry, tapi Gerry buru-buru menutup seleting celananya. Dan lalu mencubit pipi Gema. Mereka tertawa bersamaan
            “Jijiiiiiiik!!!” Gita sangat ingin muntah melihatnya. Sedangkan Lidya, boro-boro mau muntah. Ia bahkan merasa tak punya mulut. Dia tak mampu berkata-kata.
            Masih lekat dalam pandangannya. Kenapa Gema begini? Sebelumnya dia yakin kalau Gema juga tertarik padanya. Tapi apa karena ini dia mulai menjauh darinya? Lidya jadi heran seheran-herannya.
            Setelah film hampir selesai, dua cowok itu merapikan cara duduk mereka. Lidya dan Gita juga harus bersiap-siap ‘ngumpet’ agar kehadiran mereka tak terlihat oleh Gema.

***

            “Ah sialan!” Berkali-kali cowok itu mondar-mandir di kamarnya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sejak kapan dirinya berubah haluan? Sejak kapan Gerry menarik perhatiannya? Sungguh! Ini aneh!
            Dulu, setahun yang lalu, Gema memang pernah menjalin hubungan sesama jenis. Pada saat itu ia iseng-iseng berpacaran dengan salah seorang mantan kakak kelasnya. Kakak kelasnya itu juga tidak serius memang. Tapi ternyata, ketidakseriusan itu membawakan dampak negatif pada dirinya. Hubungan mereka sudah terlampau jauh untuk sekedar cari sensasi. Tapi begitu Gema pindah ke Jakarta, mereka lost contact karena kesibukkan dua-duanya.
            Ponsel Gema berbunyi. Ada SMS dari Lidya.
           
            From: Lidya
            Gema, kamu lg ngapain?

            Gema menaikkan alis kanannya. Gema yang menjauhi Lidya, jadi merasa aneh. Dia mati-matian membunuh perasaannya terhadap cewek itu. Ia tak ingin memacari Lidya karena merasa tak pantas, terlebih lagi, dia sempat membuat Lidya menangis beberapa waktu lalu.
            To: Lidya
            Kamu? Tumben manggilnya “kamu”?

            From: Lidya
            Iya :D kamu. Gak suka yah?
           
            To: Lidya
            Gak kok J Eh kamu kok blm tidur? Udah malem bgt gini

            From: Lidya
            Aku gak bisa tidur. Tadi aku tabrakan tau.

            To: Lidya
            Serius?

            From: Lidya
            Iya. Tabrakan sm cinta kamu :$

            Senyum berkembang di bibir Gema. Dia sudah tahu kalau Lidya pasti menunjukkan rasa sukanya, entah pada saat kapan pun itu, ia tahu. Buktinya, ada di depannya.
            Tapi, jika cinta itu sudah memberikan sinyalnya, apa yang harus ia tunggu lagi?
           
            To: Lidya
            Cinta? :/
           
            Sudah hampir satu jam Gema menunggu balasan SMS itu. Tapi sepertinya Lidya ketiduran, pikirnya. Lalu ia pun mendengar ponselnya berdering. Gerry calling…
            “Sayang, kamu belum tidur?” Tanya cowok di seberang sana.
            “Belum. Kamu udah makan malem?”
            “Belum. Hehe…” Gerry tertawa. “Ini baru mau makan.”
            “Ya udah. Kamu makan dulu aja sana.”
            Sebelum telepon ditutup tiba-tiba Gerry berkata, “Eh tunggu! Masa tadi di Mall aku kayak ngeliat Lidya sama Gita deh. Mereka lagi asyik belanja gitu. Kira-kira dia liat kita nggak, ya?”
            Gema mendadak bangun dari tempat tidurnya. Kaget. “Terus? Aku nggak tahu. Dia liat ke arah kita nggak? Duh… Gawat, nih.”
            “Tapi se-nggaknya, dia nggak mergokin kita di bioskop.”
            Gema tidak yakin dengan perkataan Gerry. “Ya udahlah. Kamu makan sana. Aku mau tidur duluan.”
            “Oke… Daaaaaah…” telepon pun ditutup oleh Gerry.
           
***

            Lidya mondar-mandir di depan terasnya, menunggu Gema menjemput. Tapi ini udah jam 7!!!! Demi apa pun Lidya panik! Di teleponnya Gema, tapi tak diangkat. Sialan! Rutuknya.
            Baru saja ia ingin masuk ke dalam rumah, mobil Gema datang. Gema buru-buru turun dari mobilnya, dan menyambar tangan Lidya.
            “Lid, sorry gue bangun kesiangan.”
            “Oh… Terus?”
            “Yaudah ayo masuk ke mobil. Kita udah telat. Lima belas menit lagi masuk.” Gema langsung membuka pintu kanannya. Ia persilahkan Lidya untuk duduk. Tapi Lidya tetap diam di tempat. “Kok nggak naik?”
            “Gue nggak jadi masuk, deh. Perjalanan kita ke sekolah aja empat puluh lima menit. Mana keburu!” Lidya marah banget.
            “Duh…” Gema berpikir, dan… “Eh naik mobil gue aja deh dulu.” Gema memaksa Lidya untuk naik. Satu ide muncul di kepala Gema.
            “Mau kemana?”
            “Ke…” Gema pura-pura berpikir. “Pokoknya bukan ke sekolah, deh!”
            “Kita bolos?”
            “Yups… Hehe…”

***
           
            Dua jam-an perjalanan ke tempat yang dituju. Macetnya gila-gilaan! Penyebab dari semua ini adalah perbaikan jalan yang ternyata nggak kelar-kelar! Begitu sampai, perasaan Gema menjadi lega, karena jujur saja, nyetir nggak jalan-jalan itu nggak enak. Bete!
            Gema menepikan mobilnya di parkiran Ancol. Lidya tidak habis pikir. Kalau bolosnya kesini, mana enak pakai seragam sekolah!
            “Lid, ada baju di bagasi. Baju-baju main gue semua. Tapi masih bersih kok. Lo pake baju gue mau kan?” Gema berkata seakan tahu keinginan Lidya.
            “Celananya?” tanyanya singkat.
            Gema berpikir. Memang benar, sih. “Hmm… Yaudah… Kita beli aja. Di sekitar sini pasti ada toko baju gitu. Yukkk!”
            Meski stand-stand baju belum buka semua, setidaknya mereka dapat satu. Setelah itu, Gema mengantar Lidya untuk mengganti baju dan celananya.
            Begitu Lidya keluar dari toilet, Gema tertawa keras. Lidya cemberut begitu ditertawakan seperti ini. “Hahahaha… Kocak banget deh sumpah!”
            Lidya memperhatikan pakainannya. Baju Gema gedenya minta ampun! Terpaksa ia pakai itu. Daripada beli. Kan sayang uangnya. “Udah deh nggak usah ketawa. Ayo cepetan! Lo mau ngajak gue ke pantai kan?”
            Cowok bercelana abu-abu itu tertawa lagi. Sambil mengacak-ngacak rambut Lidya dia berkata, “Gue pengen ngajak lo main beberapa wahana di Dufan.”
            “Serius?” Lidya terlihat senang luar biasa. Sudah lama sekali ia ingin ke tempat ini. Tapi tak pernah sempat dan memang jarang ada uang. “Ayo cepetan!” Lidya menjadi begitu semangat pagi itu.
            “Yuk.” Dirangkulnya cewek itu. Dia berharap, hari ini menjadi hari bersejarah juga bagi dirinya dan cewek itu.

***

            “Nggaaaaaaaaaaaakk!!!” teriak Lidya saat Gema menariknya ke wahana Tornado. “Gue nggak mau naik itu!!!”
            “Kenapa? Kan seru tau! Ayoooo!” Gema menarik Lidya sekuat tenaga. Menyeret tepatnya.
            Setelah beberapa menit mereka bermain, akhirnya selesai juga. Fiuh… Lidya lega sekali. Sebelumnya memang dia takut sekali. Tapi begitu sudah selesai, ia malah pingin naik lagi. “Lagiiiiii!!!” Sekarang gantian Lidya yang menarik-narik Gema.
            Saat Lidya sedang membenarkan celana pendeknya, tiba-tiba Gema berlari meningggalkan Lidya yang masih berdiri sempoyongan. “Eh lo jangan lari dooooong! Tung…” Lidya tidak melanjutkan perkataannya saat melihat Gema jongkok di selokan mengeluarkan isi perutnya. “Hahahahaha… Karateka naik Tornado, kok, bisa muntah ya?!!” Lidya tertawa geli melihat cowok itu. Gema ingin sekali melotot dan mencubit Lidya, tapi perutnya belum bisa diajak kompromi.
            “Hoeeeek…”
            Setelah Gema mulai lega dan meneguk banyak air mineral yang Lidya beli, mereka pun jalan lagi. Lidya berjalan sambil cekikikan terus. Baru kali ini dia melihat teman laki-lakinya muntah saat naik wahana yang lumayan extreme.
            “Udah sih jangan ketawa lagi.” Persis anak kecil, bibir Gema membentuk kerucut. Kesal juga dia dipermalukan begini.
            “Hehe maaf, deh. Abisnya lo lucu. Masa…” Lidya tak melanjutkan kata-katanya, Gema langsung memotong secara tiba-tiba.
            “Oke cukup ya… Kita naik itu aja.” Gema berbicara sambil menunjuk wahana Kora-Kora.
            Lidya melirik Gema dengan tatapan aneh. “Lo kan tadi abis muntah! Nggak inget?! Udah kita ke Istana Boneka aja ya!?” Lidya kasihan juga pada Gema. Maka dari itu, lebih baik main di tempat anak-anak saja. Lagipula, disana lumayan seru juga.
            Seumur-umur Gema tidak pernah masuk ke tempat itu. Tapi Lidya tetap menikmati. Dia bahkan memeluk Gema selama di dalam Istana Boneka itu. Cewek itu terlihat begitu ceria saat melihat boneka-boneka di dalamnya menggoyang-goyangkan kepalanya. “Kocak banget ya, Gem! Haha…”
            Setelah naik beberapa wahana, Gema mengajak Lidya untuk pulang. Kebetulan, waktu juga sudah sangat sore. “Pulang, yuk.”
            Lidya menganggukkan kepalanya. “Tapi kapan-kapan main lagi, ya?”
            Sekarang gantian Gema yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Gema merangkul Lidya dengan mesra. Lidya bahagia menikmati kebersamaan ini. Tapi, Gema masih belum bisa ‘nembak’ cewek itu sekarang-sekarang ini. Dia belum siap.
            “Lid…”
            “Kenapa, Gem?”
            Gema mendekatkan mulutnya pada telinga Lidya. “Lo cantik.”
            “Ih…” Lidya menyubit pinggang Gema dengan keras.
            “Awww… Sakit, Lid.” Gema terus memegangi pinggangnya.
            Lidya tertawa kecil karenanya. “Hehe…” Dalam hati dia berharap, agar Daren mampu merelakan dirinya yang mulai menyukai sesorang selain Daren.
            “Ngomong-ngomong gue pengen ke kamar mandi dulu ya. Nitip ini. Tunggu disini ya!” Sebelum cowok itu berlari ketoilet, dia menitipkan tas dan ponselnya ke Lidya.
            Belum lama ia pegang ponselnya, ponsel itu berdering. Gerry? Untuk apa dia telepon Gema? Takut-takut diangkatnya telepon itu.
            Begitu diangkat, orang di seberang langsung berbicara. “Sayang. Kamu kok nggak bales SMS aku dari pagi?”
            Lidya terdiam. Ternyata benar. Mereka…
            “Halooooo?” Gerry mulai menyadarkan lamunan Lidya.
            “Eh halooo… Sorry Gema lagi di toilet.”
            Gerry jadi bingung kenapa yang menjawab suara cewek. “Emang ini siapa?”
            “Gue… Lidya.”
            “Haaahhh?”



Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)

Senin, 14 November 2011

Barangkali Cinta #9


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)


            Lidya menghapus sendiri air matanya.. Lalu ia berdiri dari bangkunya, dan berlari meninggalkan kelas. Gema memanggilnya tapi Lidya tak mau menoleh. Suara Gema membuat teman-teman sekelasnya jadi melihat ke arahnya. Gema pun menyusulnya.
            Lidya menuju tempat yang dia sukai sejak masuk di sekolah ini, taman bunga belakang gedung sekolah, tempat dimana dia dan Daren menghabiskan waktu senggangnya. Lidya langsung duduk di bangku dekat kolam ikan. Wajahnya mendadak cemberut dan dia juga melipat tangannya.
            Gema jadi merasa bersalah atas perlakuannya tadi.
            “Ngapain ngikutin gue, sih?!” Lidya menatap Gema sinis.
            “Maaf… Gue Cuma kaget. Soalnya lo megang-megang foto Eveline. Maaf ya?” Gema tulus meminta maaf pada cewek ini.
            Lidya menatap Gema. “Iya, deh. Gue maafin. Tapi… Eveline itu siapa?” Penasaran juga dia sama cewek yang ada di foto Daren itu.
            Gema terdiam sesaat. Lalu ia duduk di sebelah Lidya. Wajahnya tertunduk. “Dia… cewek gue… pas di Semarang…” jawabnya dengan wajah yang masih tertunduk.
            “Oh…” Lidya sudah bisa menebak sebelumnya memang. “Terus, lo masih sama dia?”
            Gema malah menatapnya sedih. Dia menjawab, “Udah nggak, Lid.”
            “Lho? Kenapa? Nggak kuat LDR, ya?” Lidya jadi tak mengerti kenapa dia jadi banyak nanya begini.
            “Bukan… Dia udah nggak di Semarang.” Gema menjawab lirih pertanyaan Lidya.
            “Terus dia dimana?” Lidya jadi makin penasaran sama Eveline itu. Bisa-bisanya dia putus sama Gema. Meski ngeselin, Gema kan baik. Dan berdasarkan pengamatannya, Gema itu orangnya sabar banget.
            Bukannya langsung menjawab, Gema malah terdiam. Terlalu sulit untuk dijawab. Mulutnya tak sanggup berucap. “Dia… Dia ada di tempat Daren berada sekarang, Lid.” Akhirnya terucap juga, meski berat.
            Mendengar pengakuan itu, Lidya jadi ikut sedih. Ternyata dirinya memiliki takdir yang sama dengan Gema, kehilangan orang disayanginya. Lidya juga jadi tak bisa berkata apa-apa. Dia juga tidak bisa bertanya apapun lagi. Bukannya tidak mau, tapi seseorang yang sudah tidak ada, tidak perlu dipertanyakan lagi segala tentangnya.
            Tak lama setelah itu, mereka kembali ke kelas. Untunglah jam pertama sampai kedua guru yang mengajar tidak masuk. Begitu sampai di kelas, Gita langsung menghampirinya. Gita berbicara setengah berbisik.
            “Lid, Gerry SMS-an sama gue loh tadi malem.” Gita terdengar senang sekali. Dari pertama kali Lidya mengenalnya memang. “Gue nggak tau kenapa jadi seneng mikirin dia dari semalem. Hehe.”
            “Cieee… Terus cowok lo mau dikemanain?” tanyanya spontan
            Gita mengangkat bahu. Lalu ia cekikikan sendiri. “Nggak dikemana-kemanain kok. Hehe.”
            Dasar si Gita sableng! Lidya jadi tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah sohibnya ini. “Emang Gerry kirim SMS apa, sih?”
            Gita mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Dengan cepat, dibukanya SMS dari Gerry. “Nih…” katanya sambil menunjukkan pesan di ponselnya pada Lidya.
           
            From: Gerry
            Git, gw besok gak masuk. Tlng izinin yah.

            Lidya berdecak. “Ck! SMS kayak begini kok bikin lo seneng? Perasaan lo sering deh dapet SMS kayak gini dari anak-anak sekelas, secara lo sekretaris kelas!”
            “Abis dari pertama gue liat dia, gue udah tertarik aja.” Gita begitu terlihat semangat menjawab pertanyaan-pertanyaan Lidya. “Pokoknya, gue harus bisa menarik perhatiannya juga! Hihi…” Setelah bicara begitu, dia meloyor keluar kelas. Entah mau kemana anak itu. Lidya hanya geleng-geleng kepala.

***




BAB 4




            Hari demi hari berlalu, dan tanpa terasa tahun berganti. Desember terlewatkan dalam hujan deras yang mengguyursepanjang hari. Tak ada ucapan “Selamat Tahun Baru” yang ia terima. Gadis itu bahkan tak ikut pergi bersama teman-temannya yang kebetulan merencanakan merayakan malam tahun baru dengan membakar jagung di sekolah, dan acara lainnya.
            “Coba Gema disuruh kesini tadi… Eh?” Lidya yang bingung dengan ucapannya, mengetuk-ngetuk jidatnya. Lidya jadi tidak mengerti kenapa dia berbicara seperti itu. Tanpa sadar, ia ternyata mengharapkan kehadiran Gema. Cowok itu selalu menemaninya setiap hari. Dia memberinya tawa, keceriaan, semuanya yang memang ia harapkan sejak Daren tidak ada.
            “Lid, gue tadi makan keripik gaul. Perut gue mules banget sumpah.” ucap Gema beberapa minggu lalu di sekolah. Wajahnya pucat asli.
            “Keripik gaul?” Mata Lidya berputar ke kanan dan ke kiri. Ia baru engeh. “Maicih ya?!!” Yap, makanan itu memang menjadi makanan wajib bagi anak-anak yang mengaku dirinya gaul.
            “Iya.” Jawab Gema lirih sambil memegangi perutnya. Tiba-tiba suara letupan bom terdengar dari bangku tempat Gema duduk. Broottttttt!!!
            Ya ampun, ganteng-ganteng, kentutnya bau banget. Untung kelas sedang ramai, berisik sekali. Jadi hanya Lidya yang mendengar. Lidya maenahan tawa sambil menutup hidungnya.
            “Sorry… Hehe… Gue kelepasan!” Gema yang sadar akan aromanya langsung meminta maaf pada cewek di sebelahnya. Dan teman-teman lain yang menyadari aroma busuk itu langsung mencari dimana bau itu berasal. Tapi tetap tidak ketahuan kalau pelakunya adalah Gema, si Pangeran 10 A.
            Lidya juga hampir salting waktu suatu hari Gema membawanya ke acara tunangan  temannya. Digandenganya terus Lidya kemanapun Gema pergi. Hingga semua mata yang melihat jadi tak bisa membedakan, mana yang sedang bertunangan, mana tamu yang diundang.
            Dulu, beberapa bulan lalu setelah Daren meninggal, dia sempat berjanji untuk tidak membuka hati pada siapapun yang mendekatinya. Tapi kenyataan kemudian berbicara lain. Gema memberinya tawa dari hari ke hari. Dan tawa adalah jalan lapang menuju hati.
            Kini Lidya sadar, warna hatinya mulai berubah. Tiba-tiba Lidya tersadar dari lamunannya. Lidya menghela napas panjang, heran kenapa dia jadi menyukai kebersamaan ini. Dan jadi berharap lebih.

***
           
            Sejak Lidya sadar bahwa dirinya menyukai Gema, ada satu hal yang berubah pada cowok itu. Ia tak seperti Gema yang ia kenal belakangan ini.Gema jadi seperti Gema yang dulu pertama ia kenal. Pendiam, dingin dan acuh tak acuh. Lidya jadi takut cintanya bertepuk sebelah tangan.
            Saking takutnya Gema terbang dari sisinya, Lidya mulai menunjukkan rasa sukanya pada Gema. Tapi Gema tak begitu menghiraukannya lagi. Lidya jadi merasa perasaan sukanya diremehkan. Nggak mungkin banget Gema nggak sadar!
            Sehari, dua hari,…
            Sebulan! Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini sudah datang bulan Februari. Teman-teman sekelasnya mulai sibuk mempersiapkan Valentine mereka.
            “Lid, nanti pas hari Valentine gue mau beli dua cokelat, ah.” Gita berkata tiba-tiba pada Lidya yang sedang melamun di taman belakang gedung sekolah.
            Lidya langsung menoleh ke arah Gita. “Banyak amat ampe dua?”
            “Kan selain buat cowok gue, gue juga mau ngasih ke Gerry satu. Hehe.” Jawab Gita penuh semangat. Seperti itulah Gita dimata Lidya, selalu penuh semangat. “Lo nggak beli satu buat Gema?”
            “Gema?” tanyanya sok-sok kurang mendengar. “Ah, nggak deh. Gema kan bukan cowok gue.”
            “Ya, kan gebetan… Hehe…Lho?” Gita yang tertawa tiba-tiba langsung terdiam begitu melihat Gema dan Gerry melintas tak jauh dari mereka. “Si Gerry mau kemana ya sama Gema? Akhir-akhir ini mereka sering keliatan jalan bareng. Jangan-jangan lagi curhat tentang tentang gue dan lo. Hehe…”
            “Duh… Gita! Lo PD amat, sih?” Lidya jadi heran pada cewek satu ini. “Nggak mungkin banget lah ngomongin kita. Dan…” Lidya mendadak bisu begitu satu pikiran menyelimuti bayang-bayangnya. Kenapa Gema dan Gerry jadi dekat? Setahunya, Gema suka jengkel kalau berada didekatnya. Atau mungkinkah mereka jadi dekat karena karate di masa lalu telah mereka menyatukan mereka? Lidya terus berpikir.

***

            Lidya berjalan sempoyongan mengikuti Gita yang berada semeter di depannya. Di tangannya bertumpuk tujuh kantong belanjaan yang membuat kakinya hampir tidak terlihat.
            Dari berjam-jam yang lalu mereka berputar-putar memasuki toko untuk membeli berbagai baju-baju lucu dan saudara-saudaranya. Tapi semua itu milik Gita. Lidya tak habis pikir. Buat apa barang sebanyak ini? Papanya nggak jantungan ya? Dalam dua jam, anaknya menghabiskan tiga juta buat semua barang ini. Emang beda kalo jadi anak orang kaya. Cukup gesek-gesek kartu, barang langsung berpindah tangan.
            “Berat ya?” Gita dengan polosnya bertanya seperti itu. “Gue Bantu deh.”
            “Dasar sarap!” Lidya jadi tidak melanjutkan kejengkelannya saat melihat Gema dan Gerry melintas agak jauh dari dirinya. Dua cowok itu sepertinya mau nonton, deh, pikir Lidya. Lidya yang penasaran jadi mengikuti mereka.
            “Lid. Lo mau kemana?”
            “Gue tiba-tiba pengen nonton, nih.”
            “Ah gue juga! Yuk nonton. Tapi gue nitipin ini di penitipan barang dulu ya. Lo tunggu disini, jangan kemana-mana!”
           
***

            Film itu telah diputar. Sejak masuk ke dalam ruangan, Gita ngedumel tak ada habisnya. Dari awal dia tak ingin menonton film horror. Lalu tiba-tiba Gita menyadari sesuatu.
            “Lho?” Gita agak bingung begitu melihat dua cowok yang tak asing baginya ada di depan mereka, tapi agak serong ke kiri, sih. “Itu kan si Ge…”
            Lidya buru-buru membungkam mulut Gita. Suaranya bisa membuat semua mata tertuju padanya, termasuk Gema dan Gerry. “Sssst!!! Diem dong, Git! Ntar dianya nengok ke kita!”
            “Jangan bilang lo nonton cuma mau ngintilin mereka!?” Gita menaikkan sebelah alisnya.
            “Diem dulu! Ntar gue ceritain. Gue tuh sekarang pengen liat sejauh apa pertemanan mereka. Gue punya feeling nggak enak. Kayaknya ada sesuatu diantara mereka.”
            “Sesuatu?” Gita bertanya antusias sekali.
            Tak hanya Lidya yang terus memperhatikan Gema dan Gerry, Gita juga ternyata seperti itu. Dua cowok itu tak begitu memperhatikan filmnya. Mereka justru asyik mengobrol. Mereka terlihat akrab sekali, persis adik-kakak. Lucu.
            Tapi kok jadi mesra gitu? Lidya jadi merasa ada yang janggal. Ditambah dia melihat Gerry merangkul Gema, dan Gema langsung menaruh kepalanya di bahu kanan Gerry.
            “Ya ampun! Gerry nyium pipi Gema!!!”





Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)