Sabtu, 26 Januari 2013

Could I Call It Love? #4



4
You Make Me Crazier



(Klik disini untuk part sebelumnya)




Malam ini menjadi malam yang terburuk yang pernah ada. David tak pernah semarah itu pada adiknya. Dengan kasar ia menarik Rika untuk pulang. Rere juga tak bisa diam saja. Dia menghentikan David. Berlari mengejar lalu berdiri dihadapan David. Rere terlihat kesal. Rika takut terjadi sesuatu pada kedua cowok itu.

"Mau apa lo, hah? Lo ma..."

Tercekat. Tenggorokan David serasa tercekat. Dadanya sesak seketika. David tak pernah memperkirakan hal ini. Peristiwa tak terduga. Inilah letak kesalahannya. Mata penuh amarah itu berubah seakan ada rasa tak percaya dengan keberadaan orang yang ada dihadapannya. Rika tak tahu apa yang membuat David membisu memandang Rere dengan wajah yang tak bisa dijelaskan.

Rere pun begitu. Dia diam. Keduanya hanya saling menatap. Dingin. Benar-benar dingin. Rika semakin tak mengerti. Sampai akhirnya David menarik Rika sekali lagi. Mereka akhirnya pulang. Dan Rere sama sekali tak mengejarnya.

David mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Rika hanya tak ingin apa yang ia takutkan akan terjadi. Dan harapannya tak terkabul. Begitu sampai rumah, ia dimarahi habis-habisan.

"Lo kenal dia darimana?"

"Dari..," sambil terisak ia menjawab. Rika tidak pernah dibentak seperti itu, "Ketemu di jalan."

"Udah berapa kali gue bilang. JANGAN SEMBARANGAN KENALAN SAMA ORANG ASING!"

Rika kontan menangis lebih-lebih dari sebelumnya. David diam. Ini pertama kalinya dia seperti ini pada Rika. Juga pertama kali baginya melihat Rika menangis karenanya. Merasa bersalah, David pun memeluknya.

"Maaf. Gue cuma khawatir lo nggak pulang-pulang. Dan..." David melepaskan pelukannya. "Gue semakin marah karena lo lagi berdua sama cowok. Ya. Gue marah banget. Apalagi setelah gue tahu siapa dia. Gue bener-bener marah. Ah... Entahlah. Gue nggak tahu..."

"Ma.. af.. Kak." ucap Rika sambil terisak-isak, memotong penjelasan David. Ia tak ingin dengar lebih banyak. Berlama-lama seperti ini membuatnya ketakutan.

"Gue mau tanya." David lalu duduk di sebelah adiknya. Dengan tatapan datar ia membuka suara lagi. "Gue mau lo jawab pertanyaan gue dengan jujur."

"I... Iya."

"Lo suka dia?"

Rika mengangguk pelan. "Iya." Rika sudah siap kalau-kalau David akan memarahinya lagi.

David mengusap-usap rambut Rika dengan lembut. "Jangan jatuh cinta sama dia."

"Kena...pa?"

David menatap lurus adiknya. "Jangan. Gue mohon."

Kenapa, Kak? Dia nggak jahat." Rika terus membela Rere.

"Pokoknya nggak boleh!"

"Kak..."

"Gue tau lo sedih. Tapi gue bakal lebih sedih."

"A... ku nggak ngerti, Kak." Rere kembali menangis.

"Gue nggak bisa ngasih tahu sekarang. Tapi cepat atau lambat, lo bakalan tahu sendiri semua kebenaran."

Setelah itu David meninggalkan Rika sendirian di ruang tamu. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya. Tinggal Rika yang semakin merasa tak berdaya. Tak mengerti apa-apa membuatnya seperti orang yang tak berguna.

***

Waktu sudah lewat dari tengah malam. Tapi Rika masih belum bisa tidur. Dia memang masih sedih karena dilarang menyukai Rere lagi. Tapi kini perhatiannya terbagi dengan apa yang dikatakan David.

Kebenaran apa yang dimaksud David? Apa hubungan David dengan Rere? Kenapa David mengatakan kalau ia lebih sedih daripada Rika? Siapa sebenarnya Rere?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul dipikirannya. Membuat hatinya semakin tak tenang, membuat kepalanya semakin pusing. Ditambah lagi, Rika tak bisa menanyakan apa-apa pada Rere saat ini. Karena begitu dihubungi, nomornya sudah tidak aktif. Kalau sudah begini mereka pasti akan sulit untuk bertemu lagi.

Dan benar saja. Keesokannya, dua hari kemudian, seminggu berikutnya... Sampai pada tiga bulan selanjutnya pun Rere tak pernah terlihat di perumahan tempat sahabat Rika tinggal.

"Udah, Ri. Jangan nangis lagi. Lagian kalo lo ketemu dia, terus tiba-tiba nongol David lagi gimana?"

"Tapi gue mau ketemu Rere, Cha. Banyak yang mau gue tanyain. Gue juga kangen."

Ocha mendengus. Dia melipat kedua tangannya. "Kita udah seharian, nih, di sini. Percaya deh sama gue. Dia nggak akan ke sini."

Ya. Inilah pekerjaan dua cewek ini selama dua minggu terakhir. Hampir setiap hari Rika dan Ocha duduk diam di taman berjam-jam menunggu Rere. Kadang mereka bisa menunggu sampai malam sepulang sekolah.

Lalu David sepertinya sudah melupakan kejadian malam itu. Meski Rika yakin kalau David hanya pura-pura lupa.

"Ri. Udah yuk pulang. Gue gatel-gatel, nih. Pengen mandi."

"Yaudah lo pulang aja. Kan gue nggak pernah minta temenin."

"Stupid! Gue mana bisa tenang kalo lu masih berkeliaran di sini."

"Biasanya juga gitu, kan?"

"Sekarang udah beda."

"Kenapa?"

"Kalo David nyariin lo dan lo lagi sama gue kan dia nggak akan marah. Kalo lo lagi sendirian atau lagi berduaan sama Rere, gue yakin lo bakalan dicincang sama David."

Ucapan Ocha memang ada benarnya. Ocha juga bisa menjadi orang yang bisa diandalkan di segala kondisi. "Lo emang temen gue yang paling baik, Cha."

"Oh iya. Lo nggak pernah nanya-nanya lagi soal Rere ke David?"

"Nggak. Gue takut kakak gue marah lagi."

"Nih, ya. Dari cerita lo, yang gue tangkep sih, ada yang David sembunyiin. Dia tahu sesuatu. Sesuatu yang menurut gue ada hubungannya sama dia juga."

"Maksudnya?"

"Ih, lo nggak peka banget, ya. Jadi tuh si Rere ini pasti ada hubungan sama David. Mungkin seperti musuh atau rival. Dan karena waktu itu gelap, tapi David tetep ngenalin Rere dengan jelas, itu artinya Rere sangat sangat sangat nggak asing buat David."

"Bener juga. Terus gue harus gimana?"

"Ya udah. Gimana lagi. Jalan satu-satunya lo harus nanyain ini ke David."

"David nggak bisa ditanyain."

"Coba lagi."

***

Suasana makan malam tenang seperti biasa. Franz yang baru pulang bekerja terlihat sangat lelah sehingga David yang memasak dan merapikan meja makan. Dan David juga yang membersihkan meja makan beserta semua alat makan yang dipakai makan malam ini.

Pada hari-hari biasanya, bagian mencuci piring adalah tugas Rika. Hanya saja saat ini David menolak permintaan Rika untuk mengerjakan tugas itu. Malam ini David terlihat agak aneh. Dan membuat Franz bertanya-tanya pada Rika.

"David lagi patah hati?" tanya Franz pada Rika yang baru saja menaiki tangga pertama untuk menuju kamarnya di lantai dua.

"Hah? Nggak tahu, Pa."

"Kemaren kayaknya itu anak nggak apa-apa."

"Kira-kira dia kenapa, Pa?"

"David jarang ngambek. Kalo dia diem aja begitu, berarti dia lagi patah hati."

"Emang Papa pernah liat dia patah hati?"

"Haha. Lumayan sering. Udah sana kamu masuk kamar."

***

Lagi-lagi Rika merasa kebingungan. Apa yang menyebabkan David sering patah hati? Dilihat darimana pun, David itu perfeksionis. Ganteng, kaya, pintar, berprestasi, non-akademiknya juga baik. Tapi kenapa masih aja...

Rika memang belum begitu mengenal David. Rika jadi memukul kepalanya sendiri. Ia baru sadar kalau selama tiga tahun ini David jarang bercerita tentang dirinya sendiri. Rika lah yang selalu menceritakan tentangnya pada David.

Yang David sering ceritakan hanyalah tentang anime dan komik Jepang saja. David adalah Otaku. Alasannya sama sekali tak berhubungan dengan ibu kandungnya yang berkebangsaan Jepang. Dia menggilai itu semua karena terpengaruh dari teman mainnya saat masih kecil di Paris.

Untuk urusan percintaan, Rika hanya tahu tentang cinta pertama David yang menolak cowok itu saat SMP. Yang lainnya, David tak menceritakan apa-apa lagi.

Keesokan harinya Rika tidak pergi ke taman rumah Ocha. Bukan menyerah. Rika hanya absen untuk tidak ke sana karena Ocha ngotot ingin ke pantai. Katanya Ocha ingin liburan selama dua hari. Mereka tidak berdua. Ocha mengajak dua temannya yang lain ke Anyer.

Rika sendiri mengiyakan permintaan Ocha karena ia pun berpikir liburan singkat ini bisa menjernihkan pikirannya sejenak. Bahkan Papa dan David pun memberikan izin pada Rika. Dan lebih menyenangkannya lagi, mereka dapat potongan harga karena teman Franz bekerja di sana.

Rika berharap dengan harapan sekecil-kecilnya, ia bisa bertemu dengan Rere di sini. Meskipun rasanya tak mungkin. Tapi yang namanya kebetulan, manusia tak ada yang tahu.

"Ri, lo ngapain sendirian di luar? Ngeliatin layar hp aja dari tadi. Ocha udah nyiapin makanan tuh."

Rika menoleh ke sumber suara. Cewek manis bergigi kelinci itu berdiri di sampingnya. Namanya adalah Kimberly. Meskipun sudah SMA, tapi Kim memiliki tubuh yang mungil. Wajahnya juga masih imut. Karena itu juga, dia sering diperlakukan seperti anak kecil oleh teman-teman di sekolahnya.

"Eh. Iya. Ini gue mau masuk."

Ocha dan salah seorang teman Rika yang bernama Rachel sedang mengisi piring-piring mereka dengan hidangan makan malam. Rachel sendiri yang memasak. Ya. Rachel memang memiliki keahlian memasak.

Walaupun orangtua Rachel pejabat dan mempunyai harta melimpah, dia tak pernah menyombongkan diri. Sederhana dan apa adanya. Hal itu juga yang membuat Rika menyukainya. Terlebih lagi Rachel memiliki sifat keibuan.

"Racheeel. Gue ayamnya tiga, ya?" tanya Kim yang baru saja menghabiskan sepiring nasi.

"Gila lu, Kim. Badan kecil. Tapi makan kayak sapi." cela Ocha yang pada akhirnya membuat Kim jadi cemberut. Dan membuat dua temannya yang lain tertawa geli.

Rachel langsung meletakkan dua ayam lagi di piring Kim. Sambil tertawa dia berkata, "Nih, Chibi Chan."

"Ah... jangan panggil Chibi Chan lagi!" Kim memang bukan orang Jepang tapi mata sipit dan kulitnya seputih lobak plus tubuhnya yang mungil, membuat ketiga teman baiknya memanggil Kim dengan sebutan itu.

Ocha dengan gemas mencubit pipi Kim. Dan Kim membalas Ocha dengan jambakan rambut. Hal itu membuat Ocha berteriak kesakitan.

Meskipun dua orang tak sadar, tapi Rachel mengetahui sesuatu. Ada yang salah dengan Rika. Saat Ocha mandi dan Kim tertidur pulas, Rachel lalu menanyakan yang terjadi pada teman baiknya.

Itulah pertama kalinya Rika mencurahkan isi hatinya pada Rachel tentang orang yang selama ini ia pikirkan. Rika menceritakan bagaimana awal pertemuannya, harapan bertemu dikemudian hari, dan kejadian selanjutnya. Ia juga menceritakan tentang David yang tiba-tiba muncul lalu menghancurkan mimpi-mimpinya.

"Kakak lo pasti sayang banget ya sama lo." ucap Rachel sambil tersenyum menatap Rika.

"Iya. Gue tau." Rika terdiam sebentar, "Tapi... gue tetep ngerasa gue harus tau apa yang sebenernya terjadi. Nyesek kan kalo dilarang-larang suka sama orang yang kita suka."

"Setelah denger tentang kakak lo, gue yakin. David nggak akan pernah cerita apapun. Pasti."

"Biar. Gue tetep bakalan nyari tau tentang Rere gimana pun caranya." Berusaha mencari tahu dari Rere adalah jalan satu-satunya. Setelah pulang dari sini, ia bertekad akan lebih serius mencari pangeran tercintanya itu.

Saat tiga temannya sudah tertidur, Rika mematikan lampu kamar penginapan itu. Lalu dia mendekati kursi rotan yang ada di pojok ruangan. Dia duduk menyendiri sambil memandangi gelapnya halaman yang ada di depan kamar itu.

Meskipun sebenarnya terlihat berlebihan, tapi bagaimanapun juga Rere adalah cinta pertamanya. Rika yakin kalau tak ada yang salah dengan perasaannya. Kalau David tak mau bicara, dia akan mencari tahu sendiri.




(Klik disini untuk part berikutnya)