1
First Monday
Liburan
telah usai. Hari ini adalah hari Senin pertama di bulan Januari. Juga tahun
pertama Rika tinggal bertiga saja dengan kakak dan ayah tirinya. Ibunya
meninggal karena kecelakaan lalu lintas satu bulan yang lalu. Sedangkan ayah
kandung Rika sama sekali tidak diketahui keberadaannya.
Franz,
ayah tiri Rika yang terlihat masih muda itu adalah seorang direktur perusahaan.
Sebelum Franz bertemu ibunya, Rika hidup serba kekurangan. Bahkan
bertahun-tahun Rika rela menjadi pengumpul barang-barang bekas setiap pulang
sekolah demi membantu ibunya membayar uang sekolah.
Saat
Rika menginjak umur 13 tahun, ibunya tak sengaja bertemu dengan teman lamanya,
yaitu ayah tiri Rika. Franz adalah teman SMA Risa, ibu Rika. Sejak saat itu
mereka berdua sering bertemu. Saat mengetahui perasaan Franz sampai saat ini
dan mengetahui Franz telah bercerai dengan isterinya, Risa mulai membuka hati.
Dan pada akhirnya Risa dan Franz menikah.
"Rika,
udah jam segini, lho. Kamu mau bareng Papa atau David?"
"Aku naik angkot aja. Sama
temen-temen. Kan lebih seru, Pa." jawab Rika polos.
"Emang nggak telat?"
"Nggak kok." Rika tersenyum
"Hati-hati, ya." Franz
mencium kening puterinya itu.
Rika saat ini sudah menjadi siswi kelas
10 yang sedikit dewasa. Dari pertama kali dia bersekolah, Rika tak pernah
diantar Franz atau Kakaknya. Rika sudah terbiasa untuk mandiri. Dan tak suka
jika Franz memanjakannya.
Terkadang Rika masih sering terbayang
ibunya yang telah tiada. Terkadang ia menangis sendirian mengingat sosok ibunya
yang cantik dan baik hati itu. Risa bagaikan malaikat di hati Rika.
"Heh! Bengong lagi Lo! Cepet bersihin
tuh papan tulis!"
Rika menoleh ke asal suara. Carla
berdiri beberapa meter dari tempat duduk Rika. Dia berteriak seakan Rika adalah
pesuruh baginya. Tiba-tiba Rika ingat kalau hari ini dia piket. Mau tidak mau
ya harus mengerjakan perintah tadi.
"Iya." Jawab Rika pada
akhirnya.
Rika sering mendapatkan perlakuan tak
adil dari temannya yang satu itu. Sejak satu semester terlewati, Rika sadar
kalau Carla tak pernah suka dengannya. Tapi Rika berusaha mendekati Carla dan
mencoba untuk bisa berteman dengannya. Carla justru sebaliknya. Makin menjauhi
Rika.
Carla hanya ingin berteman dengan
teman-teman kaya yang memakai barang-barang branded serta berdandan layaknya
ABG berkantong gembung. Huh! Seandainya dia tahu seberapa kaya Rika saat ini.
Rika tak pernah memamerkan kekayaannya.
Iya. Kekayaannya sendiri. Bukan ibunya atau ayah tirinya. Sejak kecil Rika
terbiasa mencari uang sendiri. Hal apapun dia lakukan asalkan halal.
Setiap hari ia selalu memakai tas lusuh
berwarna merah milik mendiang ibunya. Rika selalu memakai sepatu kesayangannya
yang dia dapatkan dua tahun lalu saat usaha rumah makannya sukses. Dan itupun
berkat Franz yang memberikan modal. Franz percaya kalau Rika bisa mengelola
usaha dengan baik. Dan segala urusan tentang rumah makan itu, Franz menyerahkan
seluruhnya kepada Rika.
Dengan
keuntungan besar yang didapat, Rika menabung semua uangnya di Bank. Dan dia
menghadiahkan mobil untuk ibunya saat ibunya berulang tahun.
***
"Rika?"
"Kenapa,
Cha?" tanya Rika pada sahabat sebangkunya itu.
"Kok
lo diem aja sih kalo Carla ngebully lo?"
Ternyata
itu yang ingin ditanyakan Ocha. Rika tersenyum. "Carla nggak ngebully gue
kok."
"Apanya
yang nggak?" Ocha terlihat kesal. Rika hanya menatapnya sambil terdiam.
"Dan setiap gue marah-marahin dia, lo justru ngebelain dia."
Rika
menatap cewek imut bermata sipit itu dengan tatapan bersalah. "Maaf. Gue
cuma nggak mau bikin keributan. Gue juga lagi berusaha kenal dekat sama
Carla."
Ocha
mendengus kesal. Ada saja orang aneh seperti Rika. Sudah tahu ia diasingkan.
Tapi tetap saja selalu keras kepala meski Carla tak pernah menerimanya sebagai
teman.
"Kok
diem, Cha?"
Ocha
melotot saking kesalnya, "Ih! Emang gue harus gimana?" Ocha mencubit
pipi Rika dengan keras sampai-sampai Rika menjerit kesakitan.
"Sakit,
Cha..."
"Haha,
maaf. Abisnya lo ngeselin, sih!" Lalu Ocha menghentikan langkah kakinya.
Rika pun ikut berhenti sambil menatap Ocha. "Pokoknya kalo gue ngerasa
Carla udah bersikap keterlaluan, lo nggak boleh protes kalo gue bertindak!"
Rika
tersenyum. Ocha ini memang kayak preman. Seakan tidak takut apapun. Dia juga
berani adu jotos sama cowok-cowok yang pernah gangguin mereka saat menyasar di
suatu daerah yang mereka sendiri tak tahu itu dimana. Padahal tampangnya imut.
Tapi sebenarnya Ocha ini karateka berbakat dari SMP. Makanya dia kuat.
"Dan
kalo lo masih suka jotosin anak orang, gue nggak mau nyontekin lo lagi, ah."
Kata Rika sambil tertawa.
"Huh!
Jangan dong!"
***
Dengan
penerangan yang dibiarkan meremang, Rika duduk di meja belajarnya sambil
menatap selembar foto. Ia lupa kapan foto itu diambil. Rika tersenyum. Sedetik kemudian
air matanya terjatuh.
Lalu
Rika teringat satu hal akan sesuatu. Tentang Franz. Ia berpikir, apakah Franz
merasakan kehilangan yang sama dengannya.
Rika
keluar kamar dan mencari Franz. Seperti biasa, saat malam sebelum tidur, Franz
selalu berdiri disana, di depan bingkai foto kami sekeluarga dipajang.
"Pa..."
Franz menoleh ke belakangnya. "Ada apa, Honey?"
"Hmm..."
Rika menundukkan kepalanya. Ia bingung harus mengatakan apa untuk membuka
percakapan. Rika sedikit canggung karena memang mereka jarang berbicara.
"Kita duduk di situ, ya?"
Rika mengangguk dan lalu duduk di samping Franz. Rika
mengangkat sedikit wajahnya. Masih ragu dengan apa yang ingin ia katakan.
"Ada apa Rika? Tumben jam segini belum tidur."
ucap Franz sambil membelai rambut puterinya itu. "Cerita sama Papa."
"Apa Papa sayang banget sama Mama? Soalnya waktu Mama
masih ada, aku jarang liat kalian mesra-mesraan." tanya Rika setelah
menelan ludah. Sulit mengucapkan kalimat itu. Ia berharap Franz tidak
tersinggung.
Franz menatap Rika dengan tatapan datar. Tapi kemudian ia
tertawa. "Tentu aja. Kenapa kamu nanyain ini?"
"Aku cuma mau tau. Dan..."
"Rika, tunggu di sini sebentar."
"Ha?"
Franz masuk ke dalam kamar dengan langkah kaki panjangnya.
Setelah beberapa menit ia kembali lagi dan duduk di samping Rika.
"Lihat ini, Rika." Franz memberikan album foto
lusuh pada Rika. Dan Rika dengan segera membuka halaman pertama.
Rika membulatkan matanya. "Ini..."
"Itu
foto-foto Papa sama Mama waktu SMA." Franz tersenyum lebar sambil menunjuk
foto teratas di halaman pertama.
Di
foto teratas itu memperlihatkan Franz dan Risa memegang jagung bakar sambil
tersenyum lebar. Di sana mereka berdua memakai seragam sekolah.
Lalu
foto yang ditempel di bagian tengah. Masih terpampang wajah Franz dan Risa. Disitu
sepertinya mereka berdua habis melakukan olahraga. Mereka terlihat kelelahan.
Dan keringat yang mengucur terlihat sangat jelas karena terpantul cahaya
matahari.
"Ah, Papa di sini dekil banget."
"Hih!
Enak aja. Ganteng gitu juga." Franz jelas protes karena dibilang dekil
oleh puterinya.
"Papa
banyak protes, deh. Terus ini kapan diambil?" Tanya Rika sambil menunjuk
foto ketiga.
Kedua
orang yang menjadi objek dalam foto terlihat tidak siap di depan kamera. Rika
yakin kalau foto itu diambil tanpa sepengetahuan Franz dan Risa. Mereka berdua
duduk di bangku dengan wajah datar tapi terlihat panik, juga kelihatan sedang
terkejut. Rika jadi penasaran. Karena di sekitar mereka ada banyak siswa lain,
sudah pasti foto itu diambil saat sedang kegiatan belajar-mengajar.
"Papa
nggak pernah lupa sama kejadian waktu itu."
Rika
bengong menunggu Franz melanjutkan perkataannya ketika Papanya mendadak tertawa
terbahak-bahak. "Papa kenapa?"
"Nggak
apa-apa. Cuma..."
"Cuma
apa?"
"Foto
itu diambil waktu Papa sama Mama lagi ulangan Matematika. Soalnya susah semua.
Dan guru Matematika Papa itu emang rada nggak suka sama kelas Papa. Mungkin
sengaja dipersulit. Papa nggak ngerti sama sekali, Rik. Makanya Papa nyontek
sama temen." ucapnya di sela-sela tawanya.
"Mama
juga?"
"Iya.
Risa hebat dalam menyontek, lho. Ide-idenya menjadi taktik bagus buat kami
sekelas kalo lagi kesusahan mengerjakan ujian. Bahkan sampe kami dan temen-temen
lulus SMA."
"Hih!
Masa begitu..."
"Tunggu.
Papa belum selesai, nih." Sekarang Franz mengubah posisi duduknya.
"Dengar, waktu itu nggak cuma kami berdua yang menyontek. Yang lain juga.
Hampir sekelas. Nah..."
Rika
menatap serius Franz yang sedang bernostalgia tentang masa SMA-nya.
"Lalu?"
"Ya,
akhirnya kita semua selesai ngerjain ulangan Matematikanya. Cuma, begitu
hasilnya dibagiin, ternyata nggak ada satupun yang lulus. Eh ada, sih. Meski
lulus dengan nilai pas-pasan."
Rika
tertawa mendengarnya. Dan ia tak sabar menunggu kelanjutannya. "Kenapa bisa?"
"Iya,
ternyata pusat yang dijadikan tempat menyontek, sengaja ngasih jawaban yang
salah. Nyebelin banget kan? Sayangnya waktu itu emang kita semua masih
awal-awal kenal, sih. Jadi belum begitu kenal masing-masing karakter."
"Terus,
dia dimusuhin dong?"
"Yaaaaah...
sayangnya nggak begitu. Soalnya nggak ada satupun orang yang kuat lama-lama
marahan sama dia."
"Dia
galak, Pa?"
"Haha.
Bukan." Franz menunduk sambil tersenyum. "Dia orangnya lucu banget.
Bisa dibilang, dia orang terkonyol di kelas kami, sekaligus orang paling
pintar. Pokoknya dia idola cewek-cewek."
"Wah.
Aku pikir Papa yang jadi idola cewek-cewek." nada bicara Rika sedikit
kecewa dengan maksud bercanda dengan Franz.
"Papa
tetep jadi idola, kok. Papa kan ganteng." ucap Franz tak mau kalah.
"Selalu
begitu, membanggakan diri sendiri." Rika baru sadar kalau ayah barunya itu
adalah orang yang bersahabat dan hangat. Rika jadi ingin terus mendengar Franz
bercerita. "Oh iya, ceritain lagi dong, Pa, kelanjutannya gimana."
"Coba
kamu balik ke halaman kedua."
Kali
ini enam foto yang terlihat. Di sisi kiri tiga, begitu pula di sisi yang kanan.
"Nggak satupun foto kalian yang berdua. Semuanya foto rame-rame."
"Keenam
foto itu diambil pas lagi ada acara sekolah. Waktu itu kami baru naik ke kelas
2 SMA. Dan pada hari itu juga..."
Franz
mendadak membisu. Wajahnya terlihat sedih. "Apa yang terjadi, Pa?"
"Risa
menangis. Papa bingung nggak tau harus gimana. Itu pertama kalinya Papa ngeliat
cewek yang Papa suka menangis. Waktu Papa nanya alesannya, eh, giliran Papa
yang pengen nangis."
"Lho?"
Rika jadi bingung. Apalagi Franz malah tertawa sekarang. "Pa, ceritanya
yang jelas dong."
"Risa
suka cowok lain. Tapi waktu dia nyatain perasaannya ke cowok yang dia suka, dia
ditolak. Papa sedih banget. Risa bilang itu pertama kalinya dia suka sama
cowok. Meski ada di jarak yang paling dekat, Risa nggak pernah peka sama
perasaan Papa. Menyakitkan."
Rika
menatap Franz dengan tatapan sedih. Ia memeluk Franz sambil membisikkan
sesuatu. "Papa bisa terluka juga." Lalu menjulurkan lidahnya.
"Kamu
ngeledek Papa?" Franz lalu menjitak kepala Rika dengan gemas.
"Terus
nasib Mama gimana, Pa?"
"Yaaaah,
sampe kami lulus pun Mama nggak bisa bersatu sama cowok itu. Papa bahagia banget."
ucapnya penuh kemenangan.
"Huh,
jahatnya. Lalu bagaimana lagi?"
"Buka
halaman berikutnya."
Tanpa
Rika bertanya, Rika tahu bagaimana keenam foto berikutnya ini bercerita. Di
foto paling atas sebelah kiri, Rika melihat pasangan pengantin tersenyum
bahagia.
***
Lampu
kamarnya sudah dimatikan. Ia sudah terbaring di tempat tidurnya. Tapi kata-kata
Franz masih terngiang di telinganya. Juga foto-foto yang terakhir ia lihat, masih
terbayang dalam pikirannya.
Daniel,
si pirang idola cewek-cewek itu akhirnya menikahi Risa. Kira-kira mereka
menikah setelah 5 tahun telah lulus dari SMA.
Tak
ada yang tahu kenapa Daniel bisa tiba-tiba menikahi Risa saat itu. Bahkan,
Franz pun yakin kalau sebenarnya pernikahan itu tak pernah sungguh-sungguh
Daniel akui. Dia hanya main-main pada Risa.
Tapi
diberitahukan berapa kalipun, Risa tak pernah menyesal menikah dengan orang
yang tak pernah mencintainya. Risa tetap mencintai Daniel meskipun pada
akhirnya Daniel menghilang. Dia selalu terluka. Selalu terlupakan dan terbuang.
Selalu terjatuh dan terjatuh lagi. Tapi ia hanya mencintai Daniel. Hanya ada
Daniel dalam hatinya.
Dan
sejak pernikahan itu Franz menyerah akan segalanya. Ia pindah menyusul orang
tuanya yang menetap di Paris. Meski dikatakan menyerah pun, ia masih sering
menanyakan kabar Risa lewat teman-teman lamanya di Jakarta, tanpa Risa ketahui.
Selang
beberapa tahun sejak pernikahan Risa dan Daniel, Franz menikah dengan seseorang
berkebangsaan Jepang yang bekerja di kantor yang sama dengannya. Franz sudah
melupakan masa lalunya. Ia belajar mencintai orang lain. Tapi sayangnya,
Chidori, wanita itu ketahuan berselingkuh. Franz tak menyangka kalau Chidori
tak pernah benar-benar mencintainya. Dan kisah mereka berakhir pada sebuah
perceraian. Hak asuh David, didapatkan oleh Franz. Dan tak lama kemudian, Franz
membawa David ke kampung halamannya, Indonesia.
Dan
di sinilah ia sekarang. Kembali pada cinta pertamanya. Meski tak lama memiliki
Risa, Franz merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
"Panjang
ya ceritanya." Franz tersenyum sedih sambil menatap Rika. Ia mengusap-usap
rambut puterinya lalu berkata, "Cinta bukan hanya sekedar penantian, namun
juga pengorbanan dan rasa sakit. Selama kamu bisa bertahan, jangan pernah lari
dari cinta. Cinta nggak selamanya berakhir bahagia. Kadang, cinta memang
berakhir menyakitkan. Tapi seiring dengan terkikisnya harapan, jangan pernah
sekalipun kamu mengatakan kamu nggak mampu. Apalagi memperlihatkan kesedihanmu
pada siapapun. Berusahalah untuk kuat menghadapi kenyataan. Meski kau rapuh
karenanya."
"Aku
bahagia punya Papa sepertimu." Rika terharu dan memeluk Franz dengan erat.
Bagi Rika, Franz adalah ayah terbaik di dunia ini. Ia tak mau tahu tentang ayah
kandungnya. Ada Franz disisinya, Rika sudah merasa sempurna.
(Klik
disini untuk part berikutnya)