Sabtu, 12 Januari 2013

Could I Call It Love? #1



1
First Monday


Liburan telah usai. Hari ini adalah hari Senin pertama di bulan Januari. Juga tahun pertama Rika tinggal bertiga saja dengan kakak dan ayah tirinya. Ibunya meninggal karena kecelakaan lalu lintas satu bulan yang lalu. Sedangkan ayah kandung Rika sama sekali tidak diketahui keberadaannya.

Franz, ayah tiri Rika yang terlihat masih muda itu adalah seorang direktur perusahaan. Sebelum Franz bertemu ibunya, Rika hidup serba kekurangan. Bahkan bertahun-tahun Rika rela menjadi pengumpul barang-barang bekas setiap pulang sekolah demi membantu ibunya membayar uang sekolah.

Saat Rika menginjak umur 13 tahun, ibunya tak sengaja bertemu dengan teman lamanya, yaitu ayah tiri Rika. Franz adalah teman SMA Risa, ibu Rika. Sejak saat itu mereka berdua sering bertemu. Saat mengetahui perasaan Franz sampai saat ini dan mengetahui Franz telah bercerai dengan isterinya, Risa mulai membuka hati. Dan pada akhirnya Risa dan Franz menikah.

"Rika, udah jam segini, lho. Kamu mau bareng Papa atau David?"

"Aku naik angkot aja. Sama temen-temen. Kan lebih seru, Pa." jawab Rika polos.

"Emang nggak telat?"

"Nggak kok." Rika tersenyum

"Hati-hati, ya." Franz mencium kening puterinya itu.

Rika saat ini sudah menjadi siswi kelas 10 yang sedikit dewasa. Dari pertama kali dia bersekolah, Rika tak pernah diantar Franz atau Kakaknya. Rika sudah terbiasa untuk mandiri. Dan tak suka jika Franz memanjakannya.

Terkadang Rika masih sering terbayang ibunya yang telah tiada. Terkadang ia menangis sendirian mengingat sosok ibunya yang cantik dan baik hati itu. Risa bagaikan malaikat di hati Rika.

"Heh! Bengong lagi Lo! Cepet bersihin tuh papan tulis!"

Rika menoleh ke asal suara. Carla berdiri beberapa meter dari tempat duduk Rika. Dia berteriak seakan Rika adalah pesuruh baginya. Tiba-tiba Rika ingat kalau hari ini dia piket. Mau tidak mau ya harus mengerjakan perintah tadi.

"Iya." Jawab Rika pada akhirnya.

Rika sering mendapatkan perlakuan tak adil dari temannya yang satu itu. Sejak satu semester terlewati, Rika sadar kalau Carla tak pernah suka dengannya. Tapi Rika berusaha mendekati Carla dan mencoba untuk bisa berteman dengannya. Carla justru sebaliknya. Makin menjauhi Rika.

Carla hanya ingin berteman dengan teman-teman kaya yang memakai barang-barang branded serta berdandan layaknya ABG berkantong gembung. Huh! Seandainya dia tahu seberapa kaya Rika saat ini.

Rika tak pernah memamerkan kekayaannya. Iya. Kekayaannya sendiri. Bukan ibunya atau ayah tirinya. Sejak kecil Rika terbiasa mencari uang sendiri. Hal apapun dia lakukan asalkan halal.

Setiap hari ia selalu memakai tas lusuh berwarna merah milik mendiang ibunya. Rika selalu memakai sepatu kesayangannya yang dia dapatkan dua tahun lalu saat usaha rumah makannya sukses. Dan itupun berkat Franz yang memberikan modal. Franz percaya kalau Rika bisa mengelola usaha dengan baik. Dan segala urusan tentang rumah makan itu, Franz menyerahkan seluruhnya kepada Rika.

Dengan keuntungan besar yang didapat, Rika menabung semua uangnya di Bank. Dan dia menghadiahkan mobil untuk ibunya saat ibunya berulang tahun.

***

"Rika?"

"Kenapa, Cha?" tanya Rika pada sahabat sebangkunya itu.

"Kok lo diem aja sih kalo Carla ngebully lo?"

Ternyata itu yang ingin ditanyakan Ocha. Rika tersenyum. "Carla nggak ngebully gue kok."

"Apanya yang nggak?" Ocha terlihat kesal. Rika hanya menatapnya sambil terdiam. "Dan setiap gue marah-marahin dia, lo justru ngebelain dia."

Rika menatap cewek imut bermata sipit itu dengan tatapan bersalah. "Maaf. Gue cuma nggak mau bikin keributan. Gue juga lagi berusaha kenal dekat sama Carla."

Ocha mendengus kesal. Ada saja orang aneh seperti Rika. Sudah tahu ia diasingkan. Tapi tetap saja selalu keras kepala meski Carla tak pernah menerimanya sebagai teman.

"Kok diem, Cha?"

Ocha melotot saking kesalnya, "Ih! Emang gue harus gimana?" Ocha mencubit pipi Rika dengan keras sampai-sampai Rika menjerit kesakitan.

"Sakit, Cha..."

"Haha, maaf. Abisnya lo ngeselin, sih!" Lalu Ocha menghentikan langkah kakinya. Rika pun ikut berhenti sambil menatap Ocha. "Pokoknya kalo gue ngerasa Carla udah bersikap keterlaluan, lo nggak boleh protes kalo gue bertindak!"

Rika tersenyum. Ocha ini memang kayak preman. Seakan tidak takut apapun. Dia juga berani adu jotos sama cowok-cowok yang pernah gangguin mereka saat menyasar di suatu daerah yang mereka sendiri tak tahu itu dimana. Padahal tampangnya imut. Tapi sebenarnya Ocha ini karateka berbakat dari SMP. Makanya dia kuat.

"Dan kalo lo masih suka jotosin anak orang, gue nggak mau nyontekin lo lagi, ah." Kata Rika sambil tertawa.

"Huh! Jangan dong!"

***

Dengan penerangan yang dibiarkan meremang, Rika duduk di meja belajarnya sambil menatap selembar foto. Ia lupa kapan foto itu diambil. Rika tersenyum. Sedetik kemudian air matanya terjatuh.

Lalu Rika teringat satu hal akan sesuatu. Tentang Franz. Ia berpikir, apakah Franz merasakan kehilangan yang sama dengannya.

Rika keluar kamar dan mencari Franz. Seperti biasa, saat malam sebelum tidur, Franz selalu berdiri disana, di depan bingkai foto kami sekeluarga dipajang.

"Pa..."

Franz menoleh ke belakangnya. "Ada apa, Honey?"

"Hmm..." Rika menundukkan kepalanya. Ia bingung harus mengatakan apa untuk membuka percakapan. Rika sedikit canggung karena memang mereka jarang berbicara.

"Kita duduk di situ, ya?"

Rika mengangguk dan lalu duduk di samping Franz. Rika mengangkat sedikit wajahnya. Masih ragu dengan apa yang ingin ia katakan.

"Ada apa Rika? Tumben jam segini belum tidur." ucap Franz sambil membelai rambut puterinya itu. "Cerita sama Papa."

"Apa Papa sayang banget sama Mama? Soalnya waktu Mama masih ada, aku jarang liat kalian mesra-mesraan." tanya Rika setelah menelan ludah. Sulit mengucapkan kalimat itu. Ia berharap Franz tidak tersinggung.

Franz menatap Rika dengan tatapan datar. Tapi kemudian ia tertawa. "Tentu aja. Kenapa kamu nanyain ini?"

"Aku cuma mau tau. Dan..."

"Rika, tunggu di sini sebentar."

"Ha?"

Franz masuk ke dalam kamar dengan langkah kaki panjangnya. Setelah beberapa menit ia kembali lagi dan duduk di samping Rika.

"Lihat ini, Rika." Franz memberikan album foto lusuh pada Rika. Dan Rika dengan segera membuka halaman pertama.

Rika membulatkan matanya. "Ini..."

"Itu foto-foto Papa sama Mama waktu SMA." Franz tersenyum lebar sambil menunjuk foto teratas di halaman pertama.

Di foto teratas itu memperlihatkan Franz dan Risa memegang jagung bakar sambil tersenyum lebar. Di sana mereka berdua memakai seragam sekolah.

Lalu foto yang ditempel di bagian tengah. Masih terpampang wajah Franz dan Risa. Disitu sepertinya mereka berdua habis melakukan olahraga. Mereka terlihat kelelahan. Dan keringat yang mengucur terlihat sangat jelas karena terpantul cahaya matahari.

"Ah, Papa di sini dekil banget."

"Hih! Enak aja. Ganteng gitu juga." Franz jelas protes karena dibilang dekil oleh puterinya.

"Papa banyak protes, deh. Terus ini kapan diambil?" Tanya Rika sambil menunjuk foto ketiga.

Kedua orang yang menjadi objek dalam foto terlihat tidak siap di depan kamera. Rika yakin kalau foto itu diambil tanpa sepengetahuan Franz dan Risa. Mereka berdua duduk di bangku dengan wajah datar tapi terlihat panik, juga kelihatan sedang terkejut. Rika jadi penasaran. Karena di sekitar mereka ada banyak siswa lain, sudah pasti foto itu diambil saat sedang kegiatan belajar-mengajar.

"Papa nggak pernah lupa sama kejadian waktu itu."

Rika bengong menunggu Franz melanjutkan perkataannya ketika Papanya mendadak tertawa terbahak-bahak. "Papa kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuma..."

"Cuma apa?"

"Foto itu diambil waktu Papa sama Mama lagi ulangan Matematika. Soalnya susah semua. Dan guru Matematika Papa itu emang rada nggak suka sama kelas Papa. Mungkin sengaja dipersulit. Papa nggak ngerti sama sekali, Rik. Makanya Papa nyontek sama temen." ucapnya di sela-sela tawanya.

"Mama juga?"

"Iya. Risa hebat dalam menyontek, lho. Ide-idenya menjadi taktik bagus buat kami sekelas kalo lagi kesusahan mengerjakan ujian. Bahkan sampe kami dan temen-temen lulus SMA."

"Hih! Masa begitu..."

"Tunggu. Papa belum selesai, nih." Sekarang Franz mengubah posisi duduknya. "Dengar, waktu itu nggak cuma kami berdua yang menyontek. Yang lain juga. Hampir sekelas. Nah..."

Rika menatap serius Franz yang sedang bernostalgia tentang masa SMA-nya. "Lalu?"

"Ya, akhirnya kita semua selesai ngerjain ulangan Matematikanya. Cuma, begitu hasilnya dibagiin, ternyata nggak ada satupun yang lulus. Eh ada, sih. Meski lulus dengan nilai pas-pasan."

Rika tertawa mendengarnya. Dan ia tak sabar menunggu kelanjutannya. "Kenapa bisa?"

"Iya, ternyata pusat yang dijadikan tempat menyontek, sengaja ngasih jawaban yang salah. Nyebelin banget kan? Sayangnya waktu itu emang kita semua masih awal-awal kenal, sih. Jadi belum begitu kenal masing-masing karakter."

"Terus, dia dimusuhin dong?"

"Yaaaaah... sayangnya nggak begitu. Soalnya nggak ada satupun orang yang kuat lama-lama marahan sama dia."

"Dia galak, Pa?"

"Haha. Bukan." Franz menunduk sambil tersenyum. "Dia orangnya lucu banget. Bisa dibilang, dia orang terkonyol di kelas kami, sekaligus orang paling pintar. Pokoknya dia idola cewek-cewek."

"Wah. Aku pikir Papa yang jadi idola cewek-cewek." nada bicara Rika sedikit kecewa dengan maksud bercanda dengan Franz.

"Papa tetep jadi idola, kok. Papa kan ganteng." ucap Franz tak mau kalah.

"Selalu begitu, membanggakan diri sendiri." Rika baru sadar kalau ayah barunya itu adalah orang yang bersahabat dan hangat. Rika jadi ingin terus mendengar Franz bercerita. "Oh iya, ceritain lagi dong, Pa, kelanjutannya gimana."

"Coba kamu balik ke halaman kedua."

Kali ini enam foto yang terlihat. Di sisi kiri tiga, begitu pula di sisi yang kanan. "Nggak satupun foto kalian yang berdua. Semuanya foto rame-rame."

"Keenam foto itu diambil pas lagi ada acara sekolah. Waktu itu kami baru naik ke kelas 2 SMA. Dan pada hari itu juga..."

Franz mendadak membisu. Wajahnya terlihat sedih. "Apa yang terjadi, Pa?"

"Risa menangis. Papa bingung nggak tau harus gimana. Itu pertama kalinya Papa ngeliat cewek yang Papa suka menangis. Waktu Papa nanya alesannya, eh, giliran Papa yang pengen nangis."

"Lho?" Rika jadi bingung. Apalagi Franz malah tertawa sekarang. "Pa, ceritanya yang jelas dong."

"Risa suka cowok lain. Tapi waktu dia nyatain perasaannya ke cowok yang dia suka, dia ditolak. Papa sedih banget. Risa bilang itu pertama kalinya dia suka sama cowok. Meski ada di jarak yang paling dekat, Risa nggak pernah peka sama perasaan Papa. Menyakitkan."

Rika menatap Franz dengan tatapan sedih. Ia memeluk Franz sambil membisikkan sesuatu. "Papa bisa terluka juga." Lalu menjulurkan lidahnya.

"Kamu ngeledek Papa?" Franz lalu menjitak kepala Rika dengan gemas.

"Terus nasib Mama gimana, Pa?"

"Yaaaah, sampe kami lulus pun Mama nggak bisa bersatu sama cowok itu. Papa bahagia banget." ucapnya penuh kemenangan.

"Huh, jahatnya. Lalu bagaimana lagi?"

"Buka halaman berikutnya."

Tanpa Rika bertanya, Rika tahu bagaimana keenam foto berikutnya ini bercerita. Di foto paling atas sebelah kiri, Rika melihat pasangan pengantin tersenyum bahagia.

***

Lampu kamarnya sudah dimatikan. Ia sudah terbaring di tempat tidurnya. Tapi kata-kata Franz masih terngiang di telinganya. Juga foto-foto yang terakhir ia lihat, masih terbayang dalam pikirannya.

Daniel, si pirang idola cewek-cewek itu akhirnya menikahi Risa. Kira-kira mereka menikah setelah 5 tahun telah lulus dari SMA.

Tak ada yang tahu kenapa Daniel bisa tiba-tiba menikahi Risa saat itu. Bahkan, Franz pun yakin kalau sebenarnya pernikahan itu tak pernah sungguh-sungguh Daniel akui. Dia hanya main-main pada Risa.

Tapi diberitahukan berapa kalipun, Risa tak pernah menyesal menikah dengan orang yang tak pernah mencintainya. Risa tetap mencintai Daniel meskipun pada akhirnya Daniel menghilang. Dia selalu terluka. Selalu terlupakan dan terbuang. Selalu terjatuh dan terjatuh lagi. Tapi ia hanya mencintai Daniel. Hanya ada Daniel dalam hatinya.

Dan sejak pernikahan itu Franz menyerah akan segalanya. Ia pindah menyusul orang tuanya yang menetap di Paris. Meski dikatakan menyerah pun, ia masih sering menanyakan kabar Risa lewat teman-teman lamanya di Jakarta, tanpa Risa ketahui.

Selang beberapa tahun sejak pernikahan Risa dan Daniel, Franz menikah dengan seseorang berkebangsaan Jepang yang bekerja di kantor yang sama dengannya. Franz sudah melupakan masa lalunya. Ia belajar mencintai orang lain. Tapi sayangnya, Chidori, wanita itu ketahuan berselingkuh. Franz tak menyangka kalau Chidori tak pernah benar-benar mencintainya. Dan kisah mereka berakhir pada sebuah perceraian. Hak asuh David, didapatkan oleh Franz. Dan tak lama kemudian, Franz membawa David ke kampung halamannya, Indonesia.

Dan di sinilah ia sekarang. Kembali pada cinta pertamanya. Meski tak lama memiliki Risa, Franz merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

"Panjang ya ceritanya." Franz tersenyum sedih sambil menatap Rika. Ia mengusap-usap rambut puterinya lalu berkata, "Cinta bukan hanya sekedar penantian, namun juga pengorbanan dan rasa sakit. Selama kamu bisa bertahan, jangan pernah lari dari cinta. Cinta nggak selamanya berakhir bahagia. Kadang, cinta memang berakhir menyakitkan. Tapi seiring dengan terkikisnya harapan, jangan pernah sekalipun kamu mengatakan kamu nggak mampu. Apalagi memperlihatkan kesedihanmu pada siapapun. Berusahalah untuk kuat menghadapi kenyataan. Meski kau rapuh karenanya."

"Aku bahagia punya Papa sepertimu." Rika terharu dan memeluk Franz dengan erat. Bagi Rika, Franz adalah ayah terbaik di dunia ini. Ia tak mau tahu tentang ayah kandungnya. Ada Franz disisinya, Rika sudah merasa sempurna.


(Klik disini untuk part berikutnya)