Rabu, 28 Maret 2012

Dialog Cerita Cinta

Sejujurnya aku bingung ingin menulis apa. Akhirnya beberapa kalimat muncul secara spontan di kepala. Sepertinya aku juga akan menggunakan dialog ini nanti di naskahku. Tapi dengan bahasa yang tak formal.


Aku pernah mengatakan ini padanya, "Ibarat sebuah buku, cerita tentangku, tentangmu, sudah berakhir."

Lalu dia membantahnya, "Itu menurutmu. Cerita tentang kita belum selesai."

"Aku sudah menyelesaikannya."

"Akan kuciptakan bagian keduanya."

"Tak akan terjadi. Pergilah."

"Aku tak akan pergi meninggalkan orang yang selalu menungguku meski ia tak mau mengatakannya."

"Tapi aku tak menunggumu."

"Jangan bohongi perasaanmu."

"Kau tak tahu perasaanku."

"Aku tahu. Karena kau adalah bagian dari diriku."

Sabtu, 24 Maret 2012

Kopdar with Adam

Dengan sangat terburu-buru, pagi tadi gue berangkat ke terminal kampung melayu. Sekitar jam 10, Adam udah SMS gue 4 kali dan sekali mencoba telepon gue yang teleponnya gue reject. Kenapa direject? Karena handphone gue belom dicharge penuh. Haha.

Begitu gue turun dari angkot 18 di terminal, gue jalan sedikit sampe ke tempat Adam nungguin gue. Dari belakang, gue udah tau kalo itu Adam. Kasian banget itu anak. Udah kayak anak ilang nungguin gue. Hahahaha. Mana lama pula gue datengnya.

Nah, abis dari situ, kita langsung otw ke Arion. Entah kenapa, gue jadi sering ke tempat ini. Kalo kesini gue cuma makan dan casciscus sama temen-temen gue, Marsu dkk.

Perjalanan kampung melayu ke Arion nggak lama. Tapi panasnya itu lho yang.......wow abis! Akhirnya begitu sampe, kita berdua langsung naik ke atas, ke lantai 2 tempat KFC berada.

Setelah mesen 2 paket super mantap (Murah. Tapi dapetnya sayap. Biarin deh nggak masalah. Lagi bokek banget gue.) dan 2 mocca float, kita duduk di meja deket pengambilan saus. Oh iya, pas gue lagi mau bayar gitu, gue disuruh milih antara sup sama perkedel. Maksudnya apa coba gue dikasih gituan? Kan gue nggak mesen. Tapi nggak apa-apa deh.

Gue sama Adam makan sambil casciscus gitu. Sambil mainin handphone juga sih. Dan setelah nasi dan ayam abis, Adam gue suruh bersihin kuteks yang nempel di kuku gue. Hihihiw~! Berasa lagi di salon.

Setelah bosen, kita keluar dari KFC, lalu cari wc, abis itu kita muter-muterin Arion. Pusing gue. Itu lagi, itu lagi ketemunya. Tapi pas masuk naughty, gue ketemu temen gue lho. Hehehe. Seperti biasa, gue lupa kalo nggak diingetin.

Setelah beberapa belas menit di naughty, gue dan Adam muter-muter lagi. Begitu capek, gue memutuskan untuk pulang. Adam? Dia juga pulang kok. Pulang ke alamnya di Bogor.

Nah, mungkin segitu dulu aja deh. Gue ngantuk banget. Thanks for today, Adam. Hahaha.

Senin, 19 Maret 2012

I'm Not Femme

Calista berdiri lemas di samping Redian. Mereka berdua sedang menunggu Anton di dalam halte busway kampung melayu. Seperti biasa, Calista dan Redian yakin kalau Anton sekarang ini sedang kesasar entah kemana. Hari semakin siang. Sudah lewat dari jam yang telah disepakati
"Menurut lo dia lagi dimana, Ta?" Tanya Redian pada Calista yang terlihat mulai kesal. "Itu anak batu banget sih, ya? Ke Roxy sendirian."
"Paling lagi nyangkut ke daerah Rawamangun, atau ke Pulogadung." Calista hafal betul hobinya Anton. Sohibnya itu, kalau datang telat, pasti nyasar. Dan alasannya macam-macam. Dan Anton itu kalau pergi kemana-mana pasti bisa sampai tempat tujuan, tapi untuk pulang ke asalnya, pasti nyasar.
"Coba telepon, deh, Ta."
Baru saja Calista ingin menekan tombol Call di kontak Anton pada handphonenya, Anton keluar dari busway dengan wajah yang berseri-seri.
"Hei... Maaf, gue..."
"Nyasar?" Tebak Calista.
Anton menepis. "Nggak, kok. Tadi gue naik buswaynya lama banget. Dan gue ketemu cewek cakep. Hehe."
"Ih pantes girang. Ya udah, deh, yuk. Keburu sore!" Pinta Redian yang sepertinya sudah mulai kelaparan.
Ya, inilah mereka. Calista, Redian dan Anton. Mereka bersahabat sudah sejak lama. Dan yang paling mengejutkan teman-teman mereka adalah awal cerita persahabatan mereka yang dibangun lewat pertemuan mereka dalam jejaring sosial.
Dulu, dulu sekali, pada tahun 2007, Calista mengenal Redian dan Anton lewat friendster. Saat itu mereka sama-sama masih duduk di bangku 3 SMP. Disana mereka bertiga masih belum dekat satu sama lain. Hanya sekedar ber-hai-lagi apa-oh gitu-dadah. Sampai akhirnya mereka menemukan jejaring sosial baru bernama facebook pada tahun 2008. Awal masuk SMA, Calista, Redian dan Anton saling mengirim permintaan pertemanan di facebook. Disanalah mereka bertiga mulai dekat.
Belum lama mengenal facebook, muncul lagi jejaring sosial baru bernama twitter pada tahun 2009. Tiga ABG yang sama-sama memiliki mulut yang cerewet ini, saling follow. Mereka bertiga semakin akrab, dan jadi merasa memiliki ikatan persahabatan.
Calista tinggal di Jakarta, Anton di Cikarang dan Redian di Sukabumi. Jarak yang begitu jauh, membuat mereka bertiga tidak punya kesempatan untuk bertemu. Sampai akhirnya pada tahun 2010, tahun kelulusan SMA, mereka masuk di Universitas negeri yang sama di Jakarta. Mereka juga janjian untuk masuk dalam jurusan yang sama, Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini, Redian juga sudah pindah ke Jakarta, sedangkan Anton belum ingin ngekost sendirian, oleh karenanya, Anton lebih memilih pulang-pergi Cikarang-Rawamangun untuk kuliah.
Dalam beberapa hal, mereka merasa memiliki banyak kesamaan, pertama adalah hobi ngerumpi, yang kedua adalah mereka hobi berjalan-jalan serta berwisata kuliner.
Setelah berdiri sejam-an di busway dan belasan menit di mobil angkutan umum, akhirnya mereka turun, dan masuk ke resto Bluegrass Bar & Grill, daerah Kuningan. Begitu sampai disana, ternyata ada beberapa meja yang sudah reserved. Akhirnya mereka dapat meja di pinggir dekat jendela yang hanya bisa dipakai selama 3 jam. Cukuplah, lumayan untuk mengobrol.
Beberapa menu sudah mereka pesan. Salah satunya adalah Aqua Reflection. Baru kali ini mereka melihat botol Aqua yang rancangan designer Sebastian itu. Lalu Asparagus Bacon Puff Pastry. Yang ketiga adalah Texas Beef Ribs. Untuk Texas Beef Ribs ini, pilihan sausnya ada 3 macam, Bluegrass Original, Bbq dan Gentlemen Jack Rare Tennessee Whiskey. Pilihan akhirnya jatuh ke Gentlemen Jack Rare Tennessee Whiskey. Tak lupa mereka juga memesan Granny’s Apple Pie yang ternyata masih fresh baru diangkat dari oven.
"Gila! Kenyang mampus!" Kata Redian sambil memegangi perutnya.
"Ah, gue belum, nih." Tandas Calista yang masih meniup-niup Apple Pie miliknya. Calista memiliki tubuh kurus. Kurus sekali sampai-sampai Redian yakin kalau sohibnya ini cacingan.
Anton diam saja menikmati semua makanan, lalu dia membuka mulut setelah mengelap bibirnya. "Eh, gimana? Katanya kita mau cari rumah kost deket kampus yang campur cewek-cowok!?"
"Eh iya! Yuk! Kapan deh?" Sambung Redian.
"Sekarang aja!" Jawab Calista secepat kilat.
"Nggak capek, Ta?" Tanya Anton.
"Nggak lah. Gimana?"
Calista membuktikan omongannya. Setelah selesai makan mereka bertiga keliling belakang kampus untuk mencari tempat kost yang bebas cewek-cowok. Setelah dapat, mereka pun berbincang-bincang dengan pemilik, juga dipersilahkan melihat-lihat. Tempat kost yang terdiri dari 2 lantai itu seperti rumah kontrakan. Masing-masing kamar terdapat kamar mandi. Kecil sih, tapi lumayan nyaman dan bersih. Dan mereka memilih untuk menyewa 3 kamar di lantai 2.

***

Sabtu kedua di bulan September 2011, Calista, Redian dan Anton sudah mulai menempati kamar kost mereka masing-masing. Pagi itu, secara bersamaan, mereka bertiga merapikan kamarnya masing-masing. Kebetulan di lantai 2 memang hanya ada 4 kamar dan satu ruang tengah untuk menonton tv. Setiap kamar ada AC-nya. Setelah kedatangan mereka, lantai 2 yang sebelumnya kosong, kini jadi ramai.
"Fiuhh... Akhirnya kelar juga..." Ucap Anton yang sudah merapikan kamarnya. Dia langsung mencari botol minuman di kulkas.
"Gue juga udah". Ucap Redian yang sedang duduk bersantai di ruang tengah sambil menonton tv. "Calista mana?"
"Ta..? Ih..!" Anton berdiri mematung di depan kamar Calista. Lalu dia memanggil Redian. "Re, coba ini liat temen lo!"
"Heh! Elo ngapain!?" Ucapan Redian menghentikan kegiatan Calista yang sedang menempel-nempelkan sticker bergambar kupu-kupu berbagai warna di dinding kamarnya yang berwarna peach itu. "Emangnya boleh, ya?"
"Ya elah...!! Gue udah izin tadi sama Mami." Jawab Calista. Mami adalah panggilan ibu kost mereka. Mami sudah berumur 40 tahunan, tapi wanita itu benar-benar gaul.
"Tapi, Ta... Mestinya itu lo nempelin gituannya nanti kalo kamar lo udah rapi. Lah itu, baju berserakan, daleman kemana-mana, buku-buku kuliah lo noh, ih... sampe pada robek gitu lo injek-injek!" Redian ini memang hobi berkomentar.
Anton yang sebenarnya kurang suka berdebat, akhirnya berkata, "Ta, sini, deh, kita bantuin rapiin kamar lo. Lo nempelin gituannya ntar aja." Seperti inilah Anton. Lebih memilih jalan cepat. Dia kurang suka basa-basi.
Akhirnya setelah beberapa menit kamar itu rapi, Calista berterima kasih pada dua sahabatnya. Lalu mereka duduk-duduk di ruang tengah.

***

Kebersamaan Calista, Redian dan Anton baik-baik saja sampai saat MALAPETAKA itu datang. Akhir September 2011, ada satu anak kost baru lagi yang akan tinggal disana. Kamar yang tersisa hanya ada di lantai 2. Lantai 1 sudah penuh dengan 4 anak yang kebetulan satu kampus dengan Calista, Redian dan Anton.
Saat itu Redian sedang tak ada di tempat kost, dia dan beberapa temannya sesama anak Himpunan Mahasiswa Jurusan, sedang ada kegiatan di luar kota. Maka, di kost-an lantai 2 itu, hanya ada Calista dan Anton.
Tok! Tok! Tok!! Seseorang mengetuk kamar Calista. Pelan. Dan Calista tahu, itu pasti Anton. "Masuk aja, Ton."
Anton pun membuka pintu kamar Calista, dan sedikit menutupnya, "Ta! Lo jorok banget, sih!" Bentaknya ketika ia melihat kamar Calista berantakkan tapi cewek itu malah cengengesan sambil memegang salah satu novelnya.
Calista meletakkan novelnya. "Nanti gue beresin, Ton. Kenapa?"
"Ada anak kost baru di sebelah kamar gue. Lo belom liat? Gue baru dikasih tau Mami."
"Belom. Gue aja baru bangun. Cewek apa cowok? Dimana dia?"
"Kayaknya sih cewek. Dia masih mondar-mandir turun-naik gitu beresin barang-barangnya."
"Kok?"
Akhirnya Anton menjelaskan kepada Calista bahwa sebenarnya anak kost baru itu cewek yang tomboy banget. Anton mengatakan, cewek tomboy itu bernama Juanita. Dulu, waktu SMP, Calista juga punya teman bernama Juanita. Orangnya menyenangkan. Tapi Juanita teman SMPnya dulu, lebih akrab dipanggil Tryas, karena memang namanya Juanita Tryastuti.
"Heh! Lo mau kemana?" Anton langsung menarik tangan Calista yang mulai berjalan keluar kamar.
"Ya, kenalan lah oon! Dia kan pasti belom punya temen disini!"
Baru saja pintu kamar terbuka lebar, Calista melihat seorang cowok yang sudah lama sekali tak pernah bertemu dengannya lagi. Mulutnya terbuka lebar-lebar. "Aaaaaa!!!! Lo..."
"Tita??" Cowok itu begitu terlihat kaget melihat Calista. Dan Calista juga tak asing melihatnya.
Calista yakin pernah bertemu dengannya. Hanya sekali. Tapi Calista ingat. Cowok ini bernama Bagas "Lo Bagas kan? Lo kok bisa ada di sini? Dulu kata Gilang lo pindah ke Semarang!"
Syok! Calista benar-benar terkejut. Ini pertama kalinya dia bertemu lagi dengan sahabat mantan pacarnya itu. Dia hafal wajahnya karena pernah dipertemukan dengan mantannya yang bernama Gilang, dan karena Calista sempat tertarik pada pesona Bagas. Bagas memang tak sekeren Gilang, tapi tatapan mata Bagas yang hangat itu membuatnya lupa kalau saat itu dia sudah punya cowok.
Seketika suasana saat itu hening. Suasana sangat hening sampai suara handphone Anton berdering. Anton langsung menekan tombol berwarna merah. Suasana kembali hening, sampai akhirnya Mami, pemilik kost, naik ke atas, ke ruang tengah.
"Gimana Juanita? Kamarnya enak, kan? Nggak panas, kan?" Tanya wanita berdaster itu pada Bagas dengan suara khasnya yang melengking.
"Ju... Juan... J-Juanita?" Calista menoleh ke arah Bagas sambil menyipitkan matanya. Menatap sinis.
Bagas, cowok yang dipanggil Juanita itu, diam tak bergerak sedikitpun. Dia duduk tegang di sofa panjang berwarna coklat itu. Bola matanya bergerak-gerak. Ia terlihat bingung.
"Lho? Ini ada apa? Kok, kalian jadi tatap-tatapan gini? Kenalan, dong. Calista, Anton, ini anaknya temen Mami, namanya Juanita." Lalu Mami berganti menatap Juanita, "Juanita ini anak-anak kost disini."
Tak ada yang mendengar ucapan Mami. Suasana masih hening. Tambah hening lagi ketika Mami mulai ikutan tatap-tatapan bersama tiga anak kost-nya.
"Ah, Tante, aku masuk kamar dulu." Bagas pun langsung masuk ke kamarnya, tapi Calista dengan segera menarik tangan Bagas.
"Bagas!? Lo ini siapa?!!" Pertanyaan Calista begitu jelas. Begitu jelas terdengar. Tapi Bagas langsung masuk ke kamarnya tanpa menjawab pertanyaannya.

***

Tanggal pertama di bulan Oktober, Redian pulang ke kost-an. Disambut gembira oleh Anton. Tapi Redian langsung bertanya-tanya pada Anton kenapa manusia beo itu tak terdengar suaranya. Calista masih syok dan tak ingin keluar kamar. Tak ingin berbicara apapun juga meski pada Anton. Hal itu juga terjadi pada Bagas yang sebenarnya bernama Juanita. Dia jarang sekali keluar kamarnya.
"Oh, jadi gitu, Ton." Ucap Redian di kamar Anton setelah Anton menceritakan semua yang terjadi selama 3 hari Redian ke Puncak. "Jadi, lo sama Calista udah nanya identitas cowok itu belom? Eh maksud gue, cewek itu."
"Belom, sih."
"Ya, ditanya dong! Apa mesti gue yang nanya?" Redian pun langsung keluar kamar dan berjalan mendekati kamar teman kost barunya. Redian kalau sudah penasaran, tak ada yang bisa menahannya.
Belum juga Redian mengetuk pintu, yang punya kamar keluar. Sore itu, teman kost barunya memakai baju gombrong berwarna kuning dan celana basket. Redian agak kaget melihatnya. Ganteng, tapi cantik. Ini cowok apa cewek, sih? Pikirnya.
"Ada apa?"
"Eh..." Redian jadi berhenti menatapnya. "Eh sorry. Kayaknya gue mesti ngomong sama lo."
"Oh. Ya udah. Masuk." Dia membukakan pintu kamarnya untuk Redian. Keduanya lalu duduk di karpet kamar.
"Gue udah denger cerita dari temen gue, Anton. Dan gue pengen tau dari lo langsung, nih. Lo keberatan?"
"Nggak, kok." Dia tersenyum. Manis sekali senyumnya. Redian sempat mengutuk dirinya karena senyuman orang di depannya ini membuat dirinya tersipu malu.
Setelah itu, Bagas pun mengaku kalau dia itu adalah Juanita. Bagas juga mengaku kalau dia lebih senang dikenali sebagai cowok. Ia hanya merasa dirinya lebih nyaman seperti itu. Redian mengerti maksud dari penjelasan Bagas. Bagas juga menceritakan kalau dirinya adalah Butch. Butch adalah istilah dalam lesbian yang memerankan dirinya sebagai cowok. Redian melongo tak percaya. Apalagi setelah tahu, bahwa Gilang, mantan terakhir Calista itu pun sama seperti Bagas. "Nama asli Gilang adalah Gina."

***

"Dia Butch! Dan lo femme, Ta. Lo beneran nggak tau kalo Gilang itu cewek?"
"Nggak, Re! Udah berapa kali, sih, lo nanya kayak gitu sama gue!?"
"Udah Re, Ta. Jangan debat gitu!" Anton menengahkan mereka. Tapi lalu dia mengingat-ingat sesuatu. "Tapi, begitu gue liat foto Gilang, gue langsung tau kalo dia itu Butch, Ta."
Tanpa memperdulikan kedua sahabatnya lagi, Calista ingin pergi dari situ. "Ah, lo berdua sama aja!" Calista menghentakkan kaki lalu bangkit dari tempat tidur Redian.

***

Malam hari saat suasana kost mulai sepi, satu BBM masuk ke handphonenya, Calista melihatnya dan ternyata itu balasan BBM dari teman twitternya yang bernama Yoga.

Participants:
-------------
Tita Calista, Angger Prayoga

Messages:
---------
Tita Calista: Payah ih gak bales! Errr~
Angger Prayoga: Eh sori gue ketiduran. Hhe
Angger Prayoga: Eh BBM gue rame loh ta!
Tita Calista: Pantes!
Tita Calista: Rame knp?
Angger Prayoga: Ada 3 org yg nanya "Calista belok?"
Tita Calista: Hah? Siapa aja?
Tita Calista: Yoga?
Tita Calista: PING!!!

Chatting lalu berhenti karena BBM Calista untuk Yoga tidak deliv. Sepertinya paket BB Yoga sudah habis, dan SMS Calista juga tak dibalas. Calista sudah tahu, Yoga pasti tak punya pulsa untuk membalas SMSnya. Calista tidak bisa menelepon Yoga yang berbeda provider. Calista yang kesal akhirnya menelepon teman twitternya yang lain, "Kak Doni?!" Sapanya begitu teleponnya diangkat.
"Kenapa, sayang?" Tanya orang di seberang sana.
Calista menceritakan semua yang terjadi pada cowok yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu. Dia berbicara begitu menggebu-gebu. Tapi tetap pelan. Takut kedengaran keluar. Kak Doni juga meminta Calista mengirimkan foto-foto Gilang lewat BBM.
"Dia cewek, tapi Butchy. Kamu sebagai Femme."
"Tapi, kak..... I'm not femme!"
"That's real, my bee."

***

Januari di tahun berikutnya pun tiba. Liburan semester telah menanti. UAS selesai hanya tinggal beberapa hari lagi. Calista, Redian dan Anton mulai merencanakan kegiatan mereka selama liburan. Pada minggu-minggu sebelumnya, Redian dan Anton merasa Calista butuh refreshing. Karena belum ada waktu, maka sekarang ini adalah waktunya.
Sekarang ini Calista sudah merasa lebih baik. Dia sudah tak ingin mengingat-ingat Gilang atau lebih tepatnya Gina. Kalau memang benar kenyataannya begitu, Calista tak peduli. Bagi dirinya, Gilang itu cowok. Dan Calista normal. Itu saja. Dia tak ingin memikirkan hal lain. Redian dan Anton juga sudah berhenti bertanya-tanya tentang itu.
Selain itu, Calista mulai bisa menerima keberadaan Juanita. Bukan sebagai Bagas yang dikenalnya dulu. Calista juga kagum dengan niat baik Juanita yang ingin menjadi cewek normal.
Saat bersantai bertiga, tiba-tiba Juanita keluar dari kamarnya, penampilannya mengejutkan Calista, Redian dan Anton. Juanita memakai baju berenda berwarna peach dan celana jeans pendek ketat sepaha, serta rambut pendeknya juga dikuncir. Dia juga memakai bedak plus lipgloss. Semua itu hadiah dari Calista. Calista sangat senang dengan perubahan Juanita. Meski terlihat kaku dan agak aneh, Calista memanggilnya, "Gabung, yuk!"
"Iya..." Juanita pun tersenyum. Redian yang melihat itu langsung seperti orang yang tersambar petir. Senyum-senyum sendiri.
Redian duduk mendekati Juanita. "Lo... Cantik, Nita. Tapi, mending nggak usah pake make-up." Redian mengambil tissue di atas meja dan membersihkan make-up di wajah putih mulus Juanita. Samar-samar wajah Redian terlihat malu-malu.
Anton langsung melempar Redian dengan boneka beruang pink milik Calista. "Dasar lo, Re!"
"Aaaaa..... Anindhitanya jangan dilempar-lempar gitu!" Bentak Calista pada Anton yang seenaknya saja melempar bonekanya.
"Apaan?" Tanya Anton. Alisnya terangkat satu.
"Anindhita?" Redian juga bertanya.
"Nama bonekanya Anindhita. Emang kenapa? Siniin ah, bonekanya!" Calista menatap kesal pada Redian dan Anton, sambil mencoba merebut bonekanya di tangan Redian.
"Kenapa namanya begitu?" Tanya Redian lagi.
"Ah... Itu... Hei kalian ini mau tau aja! Siniin!" Kali ini Calista mencoba merebut bonekanya di tangan Anton.
"Nggak bakal. Wleeee!" Anton menjulurkan lidahnya. "Calista Femme, woooo!"
"Antooooooooon!"
Redian dan Anton, adalah dua orang dengan karakteristik yang bertolak belakang. Calista terkadang sering kesal dengan tingkah kedua sahabatnya. Tapi dia merasa bahagia dan nyaman dengan keberadaan dua cowok itu. Terlebih lagi mereka bertiga tinggal di tempat kost yang sama. Kalau tak ada jejaring sosial, apa mungkin Calista bertemu dengan Redian dan Anton?



-I'm Not Femme Selesai-

Minggu, 18 Maret 2012

Love Story III: Dimas and His Sacrifice

Tak akan pernah hilang seluruh cerita tentang cinta. Dari dulu hingga saat ini, kurasa semua sama saja. Akan ada yang namanya pertemuan, moment-moment penting di setiap kisah dan pastinya akan ada akhir dari segalanya. Namaku adalah Dimas, Dimas Prastia Putra. Aku tak pernah percaya cinta sejati. Dalam hal apapun, aku tak ingin serius menjalani sebuah hubungan. Menurutku, akan sia-sia. Untuk apa menjalin sebuah hubungan kalau akhirnya pasti akan berpisah.
Setiap kali aku memiliki pacar, tak ada yang benar-benar aku cintai. Aku tak menjalani jalan ceritaku dengan benar. Hingga suatu hari aku tak sengaja bertemu dengan perempuan berambut pendek sebahu dalam sebuah restaurant Jepang. Dia terlihat kebingungan karena semua tempat duduk sudah terisi.
Tak ada yang istimewa darinya memang. Tapi untuk apa memikirkan hal itu? Dia kelihatan sedang lapar, pasti. Aku tak akan tega membiarkannya mati kelaparan. Aku pun lalu melambaikan tangan ke arahnya dan memanggilnya, "Ungu!!" Kebetulan perempuan itu memakai pakaian dan aksesoris serba ungu. Aku tak suka warna ungu. Sungguh.
Perempuan itu tersenyum padaku. Lalu ia berjalan mendekatiku. Cara berjalannya unik sekali. Dia menyapaku, "Hai. Kamu sendirian?" Aku menatapnya dan membalas senyumnya. Cara bicaranya enak didengar. Kupikir suaranya seperti anak-anak karena wajahnya yang imut itu. Aku pun memintanya duduk di hadapanku.
"Iya. Aku sendiri. Kamu juga sendiri?"
"Iya. Cuma resto ini favoritku. Makasih, ya, tempat duduknya."
Aku pun berkenalan dengan perempuan itu. Namanya Meri. Dia lebih muda setahun dariku. Aku sedikit tertarik dengan gaya bahasa dan gerak tubuhnya saat berbicara. Menurutku Meri adalah perempuan yang anggun. Aku bisa lihat itu dari cara dia makan, menatapku, tertawa, tersenyum, dan... Lho? Kenapa aku jadi memperhatikannya?
Aku memutar otakku dan mulai mencerna yang kupikirkan. Dan antara sadar dan tak sadar, aku meminta nomor ponsel dan pin BBnya. Dia pun dengan senang hati memberikannya untukku. Entah kenapa, aku merasa senang saat itu.
Seminggu setelah pertemuanku dengan Meri, kami jadi sering chat, terkadang bertemu untuk makan malam bersama. Aku tak tahu ini kebetulan atau apa, ternyata rumah kami berdekatan. Hanya berbeda komplek saja. Aku bisa saja mengunjungi rumahnya tanpa motorku.
Kebersamaanku dengannya, mulai memiliki arti. Dia juga sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya menyukaiku. Bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi aku sudah tahu lewat tatapan matanya padaku.
Akhirnya, pada suatu sore, saat aku berkunjung ke rumahnya dan menemani dia yang sendirian, aku menyatakan perasaanku. Aku menanyakan apa dia mau menjadi pacarku. Ternyata memang benar dugaanku. Dia menyukaiku. Dia mengatakan bahwa dia sudah menyukaiku sejak pertama kali bertemu denganku. Aku bingung dengan yang kurasakan. Sepertinya aku bahagia bersamanya.
Meri bisa begitu sangat kejam padaku. Tapi anehnya, aku selalu menuruti keinginannya. Pernah suatu ketika dia ingin membeli sebuah novel yang baru saja terbit, dia memintaku membelikannya. Aku dengan senang hati mencarinya. Dan sungguh, novel yang diinginkannya itu sulit dicari. Tapi aku akhirnya mendapatkannya dengan susah payah. Aku harus berdebat dengan anak SMU di toko buku. Kami memperebutkan novel yang tinggal tersisa satu itu. Tapi tak apa. Yang penting aku mendapatkan novel itu.
Tak hanya karena memperebutkan novel, Meri pernah memintaku datang ke rumahnya hampir tengah malam hanya untuk memintaku membuatkan telur untuknya, saat rumahnya tak ada orang. Jujur, dia selalu menjengkelkan, tapi aku menikmati kemanjaannya dia terhadapku.
Pernah juga ketika aku yang baru saja pulang kerja, ditelepon untuk segera datang ke rumahnya. Dia bilang ada yang gawat terjadi padanya. Aku membawa motorku dengan kecepatan tinggi. Begitu sampai di rumahnya, aku dikagetkan dengan kelahiran kucing betina milik Meri. Aku kesal. Aku pikir dia terjatuh dan tak bisa bangun atau masalah apa, ternyata kucingnya melahirkan. Tapi begitu melihat senyum bahagianya, amarahku hilang seketika.
Baru saja aku merasakan apa yang dinamakan cinta, duka datang menghampiriku. Meri selingkuh di belakangku. Dia yang berterus terang padaku tepat dimana aku baru akan mampir ke rumahnya. Dia mengatakan kalau dia menyesal dan sesungguhnya aku memaafkannya asal dia tetap menjadi pacarku. Aku rela pernah ia duakan. Tak masalah untukku. Aku yakin sakitnya tak akan lama. Aku lalu meneleponnya. Aku bisa mendengar suaranya yang parau.
"Dimas, maafin aku, ya, soalnya aku nggak pernah buat kamu bahagia."
"Kenapa? Selama ini aku bahagia, kok."
"Tapi aku selalu bikin kamu capek, sakit dan terluka."
"Nggak usah pentingin itu, Mer. Aku rela ngelakuin apapun untuk kamu."
"Dimas, nggak seharusnya kamu kenal cewek yang nyebelin kayak aku. Gimana kalo kita putus aja?"
"Nggak! Aku nggak mau, Mer."
"Kenapa?" Tanyanya penuh keputus-asaan.
"Ngelepas bukan masalah. Aku bilang aku bahagia milikin kamu. Aku cinta dan sayang sama kamu. Kalau kamu sayang dan cinta sama aku juga, nggak begini caranya. Seberapapun besarnya masalah yang ada, pasti akan selalu memaafkan. Itu yang namanya cinta."
Telepon itu pun langsung terhenti begitu saja. Dia menutupnya tiba-tiba. Aku melepaskan lagi jaket hitamku. Aku masuk lagi ke dalam kamar. Kurasa aku perlu menenangkan diri dengan tidur sebentar. Aku harap, Meri akan memikirkan lagi perkataanku.
Aku tertidur pulas hingga beberapa jam. Begitu aku membuka mataku perlahan, satu-satunya yang kulihat di depanku adalah wajah Meri. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Meri sedang memandangiku. Aku pikir aku bermimpi. Ternyata itu memang benar Meri.
"Kamu sejak kapan ke rumahku dan masuk kamarku?"
"Dari dua jam yang lalu." Lalu dia tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Kamu ngorok dan sempet mengigau tau!"
"Memang aku bilang apa pas tidur?"
"Begini, 'Meri, aku mohon jangan pinta aku untuk pergi dari aku. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Sekeras apapun kamu menyuruhku meninggalkanmu, aku nggak akan mau... Meri, aku hanya ingin dirimu dalam hidupku. Aku bisa mati karena kehilanganmu nanti. Jangan mengatakan hal yang tadi lagi.. Meri,..."
"Cukup-cukup!" Aaaaah... Itu semua yang baru saja aku mimpikan. Ternyata terucap saat aku mengigau. Membuatku malu saja. "Eh kamu jangan tiduran begitu di tempat tidurku! Bangun!”
"Nggak mau."
Dengan manja dia menarikku. Dia memintaku untuk tidur lagi. Tidur bersamanya. Dia ingin malam itu menghabiskan satu hari bersamaku. Kini aku tahu dan mengerti yang dinamakan cinta sejati. Perlu pengorbanan untuk mendapatkannya. Dan satu hal yang terpenting, jangan lepaskan apa yang sudah didapatkan selama masih bisa mempertahankan.




-Love Story III: Dimas and His Sacrifice Selesai-

*Spesial untuk kakakku, Kak Dimas (@dimpras/@putrabc)

Love Story II: Marsu and His Song

Entah diwaktu dan dimalam yang mana aku pernah bermimpi indah. Sangat indah. Aku bertemu dengan perempuan yang sangat aku sayangi. Sebelumnya perkenalkan, namaku Marshekal Rohmat. Aku biasa dipanggil Marsu. Salah satu sahabatku yang mencetuskan nama panggilan itu, Febby. Sama seperti sahabatku yang bernama Ferry, aku juga memiliki kisah percintaan yang mengharukan.
Long distance relationship atau bisa disingkat LDR, aku jalani sejak beberapa waktu lalu, hampir sekitar setahun lamanya. Bersama perempuan bernama Anita, aku menjalani hubungan yang dimulai dengan pertemuan kami di jejaring sosial bernama friendster. Anita sebaya dengan pacar Ferry yang bernama Femi itu. Sayangnya, dia tinggal jauh. Mungkin tidak terlalu jauh karena Anita tinggal di Bogor.
Dulu saat kami baru kenalan, aku merasa dia masih polos sekali. Dia sangat care dengan segala apa yang terjadi padaku termasuk ketika aku sedang sakit TBC. Sampai akhirnya aku sembuh dari sakitku. Kami sempat putus komunikasi setelahnya. Aku terus mencoba menghubungi nomornya, tapi tak pernah aktif. Aku juga mencoba mengirim testi di friendsternya. Tapi percuma. Tak pernah dia balas.
Sampai suatu saat aku menemukan satu nomor tak kukenal meneleponku. Begitu telepon itu kuangkat, malah ditutup oleh penelepon. Aku mengirim SMS ke nomor itu. Dan ternyata itu Anita. Kami pun dekat kembali. Aku yang tak mau kehilangannya lagi, akhirnya memberanikan diriku untuk menyatakan perasaanku padanya tepat di tanggal 16 Agustus.
Aku menjalani hubungan dengannya hanya lewat dunia maya. Sampai pada saatnya dia akan menjalani UN, aku sering mendoakannya. Aku tak pernah absen mengingatkannya untuk bimbel.
Aku beranggapan kalau dia adalah jodohku. Aku bisa mengatakan demikian karena aku sering mendengarkan lagu Daniel Bedingfield yang berjudul If U're Not The One.
Suatu ketika, dia mengatakan padaku, "Kalo misalnya suatu saat kita pisah, tolong ya kita selalu dengerin lagunya Vierra, Seandainya. Itu kan lagu kita banget." Saking terharunya, akhirnya dia mengajakku menyanyi berdua di telepon.
Akhirnya sebuah malapetaka datang. Tanggal 11 januari itu, setahuku dia tak punya jadwal apapun sepulang sekolah. Waktu itu aku mengirimkan SMS padanya. Hanya sekali, tapi tak dibalas. Lalu aku mengirimkan dia SMS lagi namun tetap tak ada jawaban. Tiga kali tak ada respon, aku mulai emosi. Tapi aku masih bisa bersabar. Akhirnya begitu jam menunjukkan angka 5 sore, emosiku mencapai puncaknya.
Aku mengirim sms ke nomornya sampai 50 kali, tak ada yg balas. Begitu di pengiriman ke 53, dia membalas SMSku. Dia mengatakan bahwa dia ada pertemuan ekskul mendadak. Aku tak tahu dia jujur atau bohong. Tapi karena aku care padanya, aku tak bisa marah. Aku hanya mengatakan, "Kenapa kamu nggak bilang? Aku kan khawatir."
"Maafin aku, ya?"
Aku yang merasa aneh dengannya, bertanya satu hal, "Kenapa kamu akhir-akhir ini berubah, sih?"
Awalnya dia mengaku biasa saja. Sampai akhirnya aku mendesaknya. Dia akhirnya mengaku kalau dia sedang jatuh cinta lagi dengan mantannya. Aku benar-benar patah hati saat itu. Kami putus, terlebih saat aku belum pernah bertemu dengannya.
Satu tahun berikutnya, tepat di tanggal 11 Januari, lewat akun twitternya, dia menghubungiku. Tapi hanya sekali mencantumkan usernameku. Sisanya hanyalah tweet biasa. Tapi aku yakin itu ditujukan untukku.

Sent: Jan 11 10:39
Happy failed anniversary @Marstioon

Sent: Jan 11 15:07
Tepat 1 tahun yang lalu. Pertama kalinya mutusin cowo

Sent: Jan 11 15:09
Tepat 1 tahun yang lalu juga, gua mutusin pacar pertama gua

Sent: Jan 11, 15:09
Dan gua akui, itu kesalahan gua. Gua mutusin dia demi cowo yang sama sekali ga baik buat gua.

Sent: Jan 11 15:10
Gua buta oleh cinta pertama

Sent: Jan 11 15:10
Gua mutusin dia juga sambil guanya nangis kejer

Sent: Jan 11 15:13
Pernah ada rasa nyesel, tapi gua yakin dia lebih bahagia dengan situasi ini (y)

Sent: Jan 11 15:14
Dan terbukti dari dia yang sempet punya pacar lagi, dan emg dia bahagia kok sekarang (y)

Sent: Jan 11 15:15
1 tahun lebih sama dia. Tanpa pernah ketemu

Sent: Jan 11 15:16
Ok lah cowo yang ada disana, happy failed anniversary ya:) terbuktikan skrg? Keputusan gw staun yg lalu bkin lu bahagia smpe hr ini:)


Dia tak tahu bagaimana aku merindukannya. Dia tak tahu kalau sebenarnya aku ingin bertemu dan mengulang kisahku dengannya. Dia tak tahu kalau aku masih menunggunya.
Hingga hari itu datang. Awal Februari, entah bagaimana caranya aku bertemu dengannya secara tak sengaja di sebuah event di Jakarta Pusat. Aku bisa mengenalinya, dan dia bisa mengenaliku. Kami lalu berbincang-bincang sambil makan siang bersama.
Betapa menyenangkannya hari itu. Apalagi ternyata dia pindah ke Jakarta. Tapi aku sedikit sedih ketika mendengarnya mengatakan bahwa dia sakit dan umurnya tak akan lama lagi. Aku sedih tapi tak ingin mengubrisnya saat itu. Aku yakin Anita tak bersungguh-sungguh. Bukankah banyak perempuan yang akan berkata seperti itu hanya untuk membiarkan seorang laki-laki terenyuh hatinya?
Bulan Maret pun datang. Aku berencana memberikan kejutan padanya di kampus Anita. Aku pernah beberapa kali mengantarnya dan pernah sekali berkeliling lorong fakultasnya. Aku juga sudah kenal beberapa teman kampusnya. Aku membawakan setangkai mawar untuknya yang masih kusimpan dalam tasku. Aku percaya, dia pasti suka.
Begitu lift terbuka di lantai 3, semua orang berhamburan. Mereka menerobosku masuk ke lift sehingga aku pun tak bisa keluar. Salah seorang perempuan terbujur kaku dipelukan seorang laki-laki. Mereka semua panik. Tapi aku lebih panik karena aku sadar perempuan yang tertidur itu adalah Anita. Aku meminta laki-laki yang menggendongnya itu memberikan Anita padaku. Aku ingin aku yang menggendongnya.
Aku meninggalkan motorku di halaman kampus Anita. Aku dan beberapa orang temannya langsung menuju rumah sakit terdekat dengan mobil temannya, teman-temannya yang lain menyusul dengan motor. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku melihat darah terus mengalir dari hidungnya. Sampai aku harus menghabiskan sekotak tissue milik teman Anita. Entah sakit apa yang di deritanya.
Aku tak tahu bagaimana caraku mengungkapkan kesedihanku saat itu. Aku hanya menatapnya di balik pintu. Dan aku juga tak bisa melihat apa yang dilakukan para dokter untuk menanganinya. Hingga dokter itu keluar. Dia mencari dimana kedua orang tua Anita. Sayangnya mereka belum datang dari Bogor. Akhirnya dia berbicara denganku, mungkin dia tahu kalau akulah satu-satunya orang yang saat ini amat sangat memerlukan sebuah pernyataan dari dokter itu.
"Maaf, kami tak bisa menyelamatkannya. Anita sepertinya tak pernah meminum obat yang seharusnya dia minum. Sehingga kanker itu semakin merusak jaringan otaknya."
Aku tak percaya mendengarnya. Aku berlari masuk ke dalam. Berharap kedatanganku bisa membuatnya membuka mata. Teman-teman Anita memberikan jalan untukku. Aku duduk di bangku yang telah disediakan. Menatapnya penuh kehampaan. Seandainya aku bisa membuat matanya terbuka. Seandainya aku juga tahu saat itu dirinya benar-benar sakit, aku tak akan membiarkan Anita tak meminum obat-obatnya.
Aku menyentuh rambutnya dengan telapak tanganku, aku menyentuh pipinya dengan jari telunjukku, aku menjatuhkan air mataku di atas wajahnya. Aku menghapus air mataku di pipiku dan yang menetes di wajahnya. Aku membuka tasku dan mengambil bunga mawar yang sudah tidak berbentuk itu. Aku meletakkannya di atas dadanya. Lalu aku menyanyikan sebuah lagu favoritnya. Aku bernyanyi dengan suaraku yang sudah seakan tak mampu lagi bersuara. Lirih, sesak dan menyakitkan.
"Seandainya kau tahu... ku tak ingin kau pergi meninggalkanku sendiri bersama bayanganmu. Seandainya kau tahu... aku kan selalu cinta. Jangan kau lupakan kenangan kita selama ini."
Selamat jalan Anita. Aku sayang padamu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Itu janjiku yang terakhir.




-Love Story II: Marsu and His Song Selesai-

*Spesial untuk sahabatku Marsu (@Marstioon)