Sabtu, 26 Januari 2013

Could I Call It Love? #4



4
You Make Me Crazier



(Klik disini untuk part sebelumnya)




Malam ini menjadi malam yang terburuk yang pernah ada. David tak pernah semarah itu pada adiknya. Dengan kasar ia menarik Rika untuk pulang. Rere juga tak bisa diam saja. Dia menghentikan David. Berlari mengejar lalu berdiri dihadapan David. Rere terlihat kesal. Rika takut terjadi sesuatu pada kedua cowok itu.

"Mau apa lo, hah? Lo ma..."

Tercekat. Tenggorokan David serasa tercekat. Dadanya sesak seketika. David tak pernah memperkirakan hal ini. Peristiwa tak terduga. Inilah letak kesalahannya. Mata penuh amarah itu berubah seakan ada rasa tak percaya dengan keberadaan orang yang ada dihadapannya. Rika tak tahu apa yang membuat David membisu memandang Rere dengan wajah yang tak bisa dijelaskan.

Rere pun begitu. Dia diam. Keduanya hanya saling menatap. Dingin. Benar-benar dingin. Rika semakin tak mengerti. Sampai akhirnya David menarik Rika sekali lagi. Mereka akhirnya pulang. Dan Rere sama sekali tak mengejarnya.

David mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Rika hanya tak ingin apa yang ia takutkan akan terjadi. Dan harapannya tak terkabul. Begitu sampai rumah, ia dimarahi habis-habisan.

"Lo kenal dia darimana?"

"Dari..," sambil terisak ia menjawab. Rika tidak pernah dibentak seperti itu, "Ketemu di jalan."

"Udah berapa kali gue bilang. JANGAN SEMBARANGAN KENALAN SAMA ORANG ASING!"

Rika kontan menangis lebih-lebih dari sebelumnya. David diam. Ini pertama kalinya dia seperti ini pada Rika. Juga pertama kali baginya melihat Rika menangis karenanya. Merasa bersalah, David pun memeluknya.

"Maaf. Gue cuma khawatir lo nggak pulang-pulang. Dan..." David melepaskan pelukannya. "Gue semakin marah karena lo lagi berdua sama cowok. Ya. Gue marah banget. Apalagi setelah gue tahu siapa dia. Gue bener-bener marah. Ah... Entahlah. Gue nggak tahu..."

"Ma.. af.. Kak." ucap Rika sambil terisak-isak, memotong penjelasan David. Ia tak ingin dengar lebih banyak. Berlama-lama seperti ini membuatnya ketakutan.

"Gue mau tanya." David lalu duduk di sebelah adiknya. Dengan tatapan datar ia membuka suara lagi. "Gue mau lo jawab pertanyaan gue dengan jujur."

"I... Iya."

"Lo suka dia?"

Rika mengangguk pelan. "Iya." Rika sudah siap kalau-kalau David akan memarahinya lagi.

David mengusap-usap rambut Rika dengan lembut. "Jangan jatuh cinta sama dia."

"Kena...pa?"

David menatap lurus adiknya. "Jangan. Gue mohon."

Kenapa, Kak? Dia nggak jahat." Rika terus membela Rere.

"Pokoknya nggak boleh!"

"Kak..."

"Gue tau lo sedih. Tapi gue bakal lebih sedih."

"A... ku nggak ngerti, Kak." Rere kembali menangis.

"Gue nggak bisa ngasih tahu sekarang. Tapi cepat atau lambat, lo bakalan tahu sendiri semua kebenaran."

Setelah itu David meninggalkan Rika sendirian di ruang tamu. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya. Tinggal Rika yang semakin merasa tak berdaya. Tak mengerti apa-apa membuatnya seperti orang yang tak berguna.

***

Waktu sudah lewat dari tengah malam. Tapi Rika masih belum bisa tidur. Dia memang masih sedih karena dilarang menyukai Rere lagi. Tapi kini perhatiannya terbagi dengan apa yang dikatakan David.

Kebenaran apa yang dimaksud David? Apa hubungan David dengan Rere? Kenapa David mengatakan kalau ia lebih sedih daripada Rika? Siapa sebenarnya Rere?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul dipikirannya. Membuat hatinya semakin tak tenang, membuat kepalanya semakin pusing. Ditambah lagi, Rika tak bisa menanyakan apa-apa pada Rere saat ini. Karena begitu dihubungi, nomornya sudah tidak aktif. Kalau sudah begini mereka pasti akan sulit untuk bertemu lagi.

Dan benar saja. Keesokannya, dua hari kemudian, seminggu berikutnya... Sampai pada tiga bulan selanjutnya pun Rere tak pernah terlihat di perumahan tempat sahabat Rika tinggal.

"Udah, Ri. Jangan nangis lagi. Lagian kalo lo ketemu dia, terus tiba-tiba nongol David lagi gimana?"

"Tapi gue mau ketemu Rere, Cha. Banyak yang mau gue tanyain. Gue juga kangen."

Ocha mendengus. Dia melipat kedua tangannya. "Kita udah seharian, nih, di sini. Percaya deh sama gue. Dia nggak akan ke sini."

Ya. Inilah pekerjaan dua cewek ini selama dua minggu terakhir. Hampir setiap hari Rika dan Ocha duduk diam di taman berjam-jam menunggu Rere. Kadang mereka bisa menunggu sampai malam sepulang sekolah.

Lalu David sepertinya sudah melupakan kejadian malam itu. Meski Rika yakin kalau David hanya pura-pura lupa.

"Ri. Udah yuk pulang. Gue gatel-gatel, nih. Pengen mandi."

"Yaudah lo pulang aja. Kan gue nggak pernah minta temenin."

"Stupid! Gue mana bisa tenang kalo lu masih berkeliaran di sini."

"Biasanya juga gitu, kan?"

"Sekarang udah beda."

"Kenapa?"

"Kalo David nyariin lo dan lo lagi sama gue kan dia nggak akan marah. Kalo lo lagi sendirian atau lagi berduaan sama Rere, gue yakin lo bakalan dicincang sama David."

Ucapan Ocha memang ada benarnya. Ocha juga bisa menjadi orang yang bisa diandalkan di segala kondisi. "Lo emang temen gue yang paling baik, Cha."

"Oh iya. Lo nggak pernah nanya-nanya lagi soal Rere ke David?"

"Nggak. Gue takut kakak gue marah lagi."

"Nih, ya. Dari cerita lo, yang gue tangkep sih, ada yang David sembunyiin. Dia tahu sesuatu. Sesuatu yang menurut gue ada hubungannya sama dia juga."

"Maksudnya?"

"Ih, lo nggak peka banget, ya. Jadi tuh si Rere ini pasti ada hubungan sama David. Mungkin seperti musuh atau rival. Dan karena waktu itu gelap, tapi David tetep ngenalin Rere dengan jelas, itu artinya Rere sangat sangat sangat nggak asing buat David."

"Bener juga. Terus gue harus gimana?"

"Ya udah. Gimana lagi. Jalan satu-satunya lo harus nanyain ini ke David."

"David nggak bisa ditanyain."

"Coba lagi."

***

Suasana makan malam tenang seperti biasa. Franz yang baru pulang bekerja terlihat sangat lelah sehingga David yang memasak dan merapikan meja makan. Dan David juga yang membersihkan meja makan beserta semua alat makan yang dipakai makan malam ini.

Pada hari-hari biasanya, bagian mencuci piring adalah tugas Rika. Hanya saja saat ini David menolak permintaan Rika untuk mengerjakan tugas itu. Malam ini David terlihat agak aneh. Dan membuat Franz bertanya-tanya pada Rika.

"David lagi patah hati?" tanya Franz pada Rika yang baru saja menaiki tangga pertama untuk menuju kamarnya di lantai dua.

"Hah? Nggak tahu, Pa."

"Kemaren kayaknya itu anak nggak apa-apa."

"Kira-kira dia kenapa, Pa?"

"David jarang ngambek. Kalo dia diem aja begitu, berarti dia lagi patah hati."

"Emang Papa pernah liat dia patah hati?"

"Haha. Lumayan sering. Udah sana kamu masuk kamar."

***

Lagi-lagi Rika merasa kebingungan. Apa yang menyebabkan David sering patah hati? Dilihat darimana pun, David itu perfeksionis. Ganteng, kaya, pintar, berprestasi, non-akademiknya juga baik. Tapi kenapa masih aja...

Rika memang belum begitu mengenal David. Rika jadi memukul kepalanya sendiri. Ia baru sadar kalau selama tiga tahun ini David jarang bercerita tentang dirinya sendiri. Rika lah yang selalu menceritakan tentangnya pada David.

Yang David sering ceritakan hanyalah tentang anime dan komik Jepang saja. David adalah Otaku. Alasannya sama sekali tak berhubungan dengan ibu kandungnya yang berkebangsaan Jepang. Dia menggilai itu semua karena terpengaruh dari teman mainnya saat masih kecil di Paris.

Untuk urusan percintaan, Rika hanya tahu tentang cinta pertama David yang menolak cowok itu saat SMP. Yang lainnya, David tak menceritakan apa-apa lagi.

Keesokan harinya Rika tidak pergi ke taman rumah Ocha. Bukan menyerah. Rika hanya absen untuk tidak ke sana karena Ocha ngotot ingin ke pantai. Katanya Ocha ingin liburan selama dua hari. Mereka tidak berdua. Ocha mengajak dua temannya yang lain ke Anyer.

Rika sendiri mengiyakan permintaan Ocha karena ia pun berpikir liburan singkat ini bisa menjernihkan pikirannya sejenak. Bahkan Papa dan David pun memberikan izin pada Rika. Dan lebih menyenangkannya lagi, mereka dapat potongan harga karena teman Franz bekerja di sana.

Rika berharap dengan harapan sekecil-kecilnya, ia bisa bertemu dengan Rere di sini. Meskipun rasanya tak mungkin. Tapi yang namanya kebetulan, manusia tak ada yang tahu.

"Ri, lo ngapain sendirian di luar? Ngeliatin layar hp aja dari tadi. Ocha udah nyiapin makanan tuh."

Rika menoleh ke sumber suara. Cewek manis bergigi kelinci itu berdiri di sampingnya. Namanya adalah Kimberly. Meskipun sudah SMA, tapi Kim memiliki tubuh yang mungil. Wajahnya juga masih imut. Karena itu juga, dia sering diperlakukan seperti anak kecil oleh teman-teman di sekolahnya.

"Eh. Iya. Ini gue mau masuk."

Ocha dan salah seorang teman Rika yang bernama Rachel sedang mengisi piring-piring mereka dengan hidangan makan malam. Rachel sendiri yang memasak. Ya. Rachel memang memiliki keahlian memasak.

Walaupun orangtua Rachel pejabat dan mempunyai harta melimpah, dia tak pernah menyombongkan diri. Sederhana dan apa adanya. Hal itu juga yang membuat Rika menyukainya. Terlebih lagi Rachel memiliki sifat keibuan.

"Racheeel. Gue ayamnya tiga, ya?" tanya Kim yang baru saja menghabiskan sepiring nasi.

"Gila lu, Kim. Badan kecil. Tapi makan kayak sapi." cela Ocha yang pada akhirnya membuat Kim jadi cemberut. Dan membuat dua temannya yang lain tertawa geli.

Rachel langsung meletakkan dua ayam lagi di piring Kim. Sambil tertawa dia berkata, "Nih, Chibi Chan."

"Ah... jangan panggil Chibi Chan lagi!" Kim memang bukan orang Jepang tapi mata sipit dan kulitnya seputih lobak plus tubuhnya yang mungil, membuat ketiga teman baiknya memanggil Kim dengan sebutan itu.

Ocha dengan gemas mencubit pipi Kim. Dan Kim membalas Ocha dengan jambakan rambut. Hal itu membuat Ocha berteriak kesakitan.

Meskipun dua orang tak sadar, tapi Rachel mengetahui sesuatu. Ada yang salah dengan Rika. Saat Ocha mandi dan Kim tertidur pulas, Rachel lalu menanyakan yang terjadi pada teman baiknya.

Itulah pertama kalinya Rika mencurahkan isi hatinya pada Rachel tentang orang yang selama ini ia pikirkan. Rika menceritakan bagaimana awal pertemuannya, harapan bertemu dikemudian hari, dan kejadian selanjutnya. Ia juga menceritakan tentang David yang tiba-tiba muncul lalu menghancurkan mimpi-mimpinya.

"Kakak lo pasti sayang banget ya sama lo." ucap Rachel sambil tersenyum menatap Rika.

"Iya. Gue tau." Rika terdiam sebentar, "Tapi... gue tetep ngerasa gue harus tau apa yang sebenernya terjadi. Nyesek kan kalo dilarang-larang suka sama orang yang kita suka."

"Setelah denger tentang kakak lo, gue yakin. David nggak akan pernah cerita apapun. Pasti."

"Biar. Gue tetep bakalan nyari tau tentang Rere gimana pun caranya." Berusaha mencari tahu dari Rere adalah jalan satu-satunya. Setelah pulang dari sini, ia bertekad akan lebih serius mencari pangeran tercintanya itu.

Saat tiga temannya sudah tertidur, Rika mematikan lampu kamar penginapan itu. Lalu dia mendekati kursi rotan yang ada di pojok ruangan. Dia duduk menyendiri sambil memandangi gelapnya halaman yang ada di depan kamar itu.

Meskipun sebenarnya terlihat berlebihan, tapi bagaimanapun juga Rere adalah cinta pertamanya. Rika yakin kalau tak ada yang salah dengan perasaannya. Kalau David tak mau bicara, dia akan mencari tahu sendiri.




(Klik disini untuk part berikutnya)

Sabtu, 12 Januari 2013

Could I Call It Love? #3



3
Is it Love?


(Klik disini untuk part sebelumnya)



"Ocha, gue main ke rumah lo, boleh?" tanya Rika saat jam makan siang di kantin.

"Ngapain? Rumah gue kan jauh banget. Terpencil pula." Setelah menelan bakso dimulutnya, ia baru ingat sesuatu. "Ah, gue tau. Bilang aja lu mau ketemu cowok yang waktu itu, kan?"

"Hehe." Rika menganggukkan kepalanya.

Rika sebenarnya bisa saja menunggu kesempatan untuk ketemu lagi sama cowok bernama Rere itu. Tapi di dunia ini yang namanya 'kebetulan' itu tak selalu berlaku.

Sepulang sekolah, Rika dengan semangat berjalan ke rumah Ocha. Naik angkutan umum dua kali, lalu dari depan komplek, mereka harus berjalan kaki. Sama seperti Rika, Ocha juga orang yang sangat menghargai uang. Jalan kaki juga jadi lebih sehat.

Begitu mereka sampai di tanjakan arah rumah Ocha, Rika mempertajam penglihatannya. "Rika, lo mau nunggu dia di sini?"

"Iya. Lo pulang aja."

Ocha sebenarnya tak keberatan kalau harus menemani. Tapi masa mau ketemu cowok, dia harus ikutan. Maka, Ocha memilih untuk pulang saja ke rumah. "Ya udah gue pulang. Kalo ada apa-apa, telepon gue." Ocha melambaikan tangannya sebelum pergi.

"Siaaaaap!"

Selang beberapa lama, Rika duduk diam di taman komplek itu. Kalau sampai tiga jam cowok itu tak muncul, ia berniat pulang ke rumah.

Saat sedang duduk sambil mendengarkan musik dengan earphonenya, seorang pengendara motor berhenti tepat di depan taman itu. Meski suara lagu yang Rika dengarkan cukup keras, suara mesin motor itu jauh lebih nyaring.

"Eh cewek, ngapain lo di sini?" tanya pengendara motor itu begitu dia turun dari motor dan membuka helmnya.

Awalnya Rika mengira kalau yang datang itu Rere. Tapi dia salah. "Nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk." jawabnya agak gugup. Lebih tepatnya Rika ketakutan. Tapi ia menyembunyikan rasa takutnya. Hal itu pernah diajarkan David beberap waktu lalu kalau bertemu orang asing.

Cowok yang memakai jaket kulit itu lalu duduk di samping Rika. "Mending sebelum gelap, lo balik, deh."

"Ke.. Kenapa? Lagipula sekarang masih jam 5."

"Nanya kenapa lagi. Emangnya lo nggak tau..."

Ucapan cowok itu tak sempat dilanjutkan karena ia keburu terpaut dengan suara motor yang berhenti dan memarkir motornya di sebelah motornya.

Senyum Rika mengembang. Yang ditunggu akhirnya datang juga. Kali ini Rere kelihatan lebih keren dari sebelumnya. Jaket kulit hitam, t-shirt putih, skinny jeans, eh, tapi tunggu dulu. Jaket kulit yang Rere kenakan sama persis dengan dipakai cowok di sebelahku, pikir Rika.

"Ah," Rere yang tersadar akan pertemuannya dengan Rika langsung berlari ke arahnya. Sambil tersenyum dia berkata, "Lo lagi. Hehe. Nyasar lagi, ya?"

Rere payah. Jelas-jelas Rika sengaja menunggunya. "Ini cewek dari tadi duduk di sini, Ren." ucap cowok tak dikenal ini yang sudah sekaligus menjawab pertanyaan Rere untuk Rika.

"Beneran?" Rere langsung menatap Rika dengan tatapan tak percaya.

Astaga. Mata itu. Entah kenapa, Rika selalu merasa ada yang bersinar di mata itu. Indah. "Ya, begitulah." Rika yakin kalau saat ini jantungnya berhenti berdetak.

Setelah itupun, Rere mengajak Rika untuk duduk di bangku taman. Hampir belasan menit mereka berdua tak bersuara sampai akhirnya Rere yang membuka percakapan, "Oh iya. Lo kan belom ngasih tau nama lo."

"Hmm. Nama gue Rika. Carprita Rika." ucap Rika malu-malu.

"Lo jangan gugup gitu, dong. Hehe. Santai aja."

"Ngomong-ngomong cowok itu temen lo?" tanya Rika sambil menunjuk seorang cowok yang sedang serius berbicara lewat ponsel.

"Oh dia? Iya, namanya Nico. Temen satu geng."

"Geng?" Rika menaikkan sebelah alisnya.

"Kok nadanya begitu? Hehe."

"Kalo boleh tau geng apa?" Jangan bilang kalo...

"Motor."

Tepat seperti apa yang barusan berputar di otak Rika. Ternyata Rere sama seperti David. Tapi apa geng motor suka balapan liar juga, ya? Tanya Rika dalam hati. Apa sebaiknya ia tanyakan pada Rere?

"Eh Reno, kalo jadi..." Belum sempat Rika menyelesaikan pertanyaannya, Nico memanggil Rere.

"Renoooo!" Nico beranjak dari tempat ia berdiri dan mendekati Rere. "Anak-anak udah di tempat. Gue bilang sama Radit kalo lo nggak ikutan malem ini, karena..."

Rere mengerti dengan gerakan dagu yang Nico arahkan ke Rika. "Haha. Oke. Good luck, ya!"


***


"Re... bawa motornya pelan-pelan aja."

Yang diajak bicara tak mendengar jelas apa yang diucapkan Rika. Suara motornya yang bising, membuat Rere tak bisa mendengar suara apapun lagi. "Apa?" Rere sedang konsenterasi menyalip kendaraan-kendaraan di jalanan yang sebenarnya cukup padat.

"Jangan ngebut-ngebut!" ucap Rika setengah berteriak. Rere pasti dengar.

Rere tak menjawab. Hanya saja dia menarik kedua tangan Rika agar lebih kuat berpegangan. Rika melingkari pinggang Rere dengan erat. Tubuh Rere yang hangat, membuat Rika tanpa sadar memeluknya.

"Inikah yang orang bilang tentang cinta? Aku bisa merasakan tubuh ini gemetar. Dan rasanya... ada yang salah dengan jantungku yang berdetak tak karuan. Ah... Aku ingin seperti ini setiap hari." ucap Rika dalam hati kecilnya.

Rere menuruni sedikit kecepatannya. Tapi tetap saja masih terasa cepat bagi Rika. Dan meskipun begitu, Rika berharap agar tak cepat sampai ke tempat tujuan.

"Di depan belok kiri!"

"Sebelah sini?"


***


"Gimana? Enak?"

Entah lapar atau doyan atau bagaimana, Rere dengan cepat melahap semua makanan yang dihidangkan. "Banget! Lo sering ke sini?"

"Iya. Hampir tiap hari." jawab Rika sambil tersenyum.

"Eh?" ucapnya yang masih mengunyah makanan di mulutnya.

Rika tertawa kecil. Ia tersenyum melihat cowok di depannya yang terlihat bebas tanpa beban. Rika jadi benar-benar ingin tahu banyak tentang dia.

Rere masih asyik dengan makanannya. Ya, meski Rika juga, sih. Soalnya mereka jarang sekali berbicara. Memang sih, Rere selalu membuka pembicaraan terlebih dahulu. Tapi ujung-ujungnya keadaan kembali lagi sunyi seperti semula.

"Re."

"Ya?"

"Habis ini kita kemana?"

"Lho? Emang masih mau main?"

"Nggak juga, sih. Oh iya. Ikut aku yuk." Rika menggamit tangan Rere dan mengajaknya pergi dari tempat mereka duduk.

"Kita mau kemana?" tanya Rere sambil mengikuti Rika yang berjalan menuju ruangan belakang restauran Jepang itu. Beberapa pelayan membungkukkan badan saat Rika melewati mereka. Beberapa dari sisanya menyapa Rika dengan ramah seakan mereka sudah berteman lama.

Ada tangga yang menuju ke atas. Perlahan Rika menaiki anak tangga itu satu persatu. Rere mengikuti dibelakangnya. Begitu mereka menginjakkan kaki di lantai dua, barulah Rere menyadari.

Di lantai dua hanya ada satu ruangan besar yang dibagi dalam beberapa skat rendah. Membagi antara ruang menonton tv dan dapur kecil. Lalu sebelum menuju balkon, akan dilewati dua kandang kucing dan anjing yang sepertinya sengaja dibuat bertingkat. Tak lupa juga ada satu keranjang busa besar yang dilapisi kain bermotif lucu yang serba pink.

Lantai dua sepertinya menarik sekali bagi Rere yang terlihat gembira begitu melihat anak anjing berlarian ke arahnya. Keempat binatang peliharaan disana, dua kucing Maine Coon dan dua anjing Shih Tzu, sengaja dibiarkan berkeliaran dengan bebas di sini.

"Mereka lucu-lucu." Rere menggendong tsih zui yang lebih kecil dari satunya dan ia mendekati Rika. "Ri, lo ada hubungan apa sama restauran ini?"

"Aku kerja di sini."

"Kok yang aku liat kamu nggak kayak begitu?"

"Maksudnya?"

"Ya. Gitu. Nggak keliatan kalo kamu kerja disini."

"Aku kerja disini, kok."

"Sebagai pemilik?"

"Sebagai pengelola. Hehe"

Setelah itu mereka berdua duduk mengobrol berjamjam di balkon. Rere masih tak percaya dengan apa yang diceritakan Rika. Mulai dari restauran ini dibangun dan saat restauran ini beberapa kali mengalami kerugian.

"Hebat! Restauran ini rugi berkali-kali tapi masih tetep berdiri."

"Ini berkat Papaku. Sebenernya awalnya aku marah karena Papa dengan entengnya bilang kalo rugi, dia mau kasih aku modal lagi. Tapi kata Papa, untuk membuka usaha yang cukup besar memang begini. Nggak akan untung terus-terusan. Dan persaingan juga menjadi persoalan utama. Dia juga berkali-kali bilang kalo aku masih muda dan masih banyak waktu untuk belajar. Dan kegagalan adalah hal yang wajar."

"Hmm. Betul juga, sih. Ngomong-ngomong kenapa kamu milih restauran Jepang untuk buka usaha?"

"Nggak tau." jawabnya polos. "Aku dapet ide dari Papa. Mantan isteri Papaku orang Jepang. Papa jadi sering masak masakan Jepang buat kami. Enak-enak dan bervariasi. Dilihatnya juga bagus."
Rere terlihat bingung dan menatap Rika tanpa ekspresi. "Tunggu. Tunggu. `Mantan isteri?`?"

"Haha. Mukanya nggak usah serius begitu." Awalnya tertawa. Tapi kemudian dia jadi diam karena sudah terlanjur berbicara hal yang sebenarnya tak perlu orang lain tahu dan membuat orang itu menjadi penasaran.

"Hey. Kalo nggak mau cerita nggak apa-apa, kok." Rere memang pengertian.

"Sebenernya, sih, bukan hal yang disembunyiin. Cuma..."

"Cuma?"

"Aku males aja ceritanya. Panjaaaaaaaang banget. Pasti kamu penasaran sekarang."

"Huh. Kirain kenapa. Yaudah. Cepetan cerita."

"Intinya aja, ya?"

"Boleh. Boleh."

"Mama sama Papaku satu SMA. Selama tiga tahun berturut-turut mereka sekelas dan selalu duduk sebangku. Papa sayang Mama dari lama. Tapi Mama sukanya sama orang lain. Tapi cinta Mama ditolak sama orang itu. Sampe akhirnya lima tahun kemudian, orang itu dateng ke Mama. Dia deketin Mama dan nikahin Mama. Tapi nggak lama... dia pergi. Nggak pernah kembali."

"Meninggal?"

"Nggak. Dia kabur. Padahal aku masih bayi. Mama udah nggak punya keluarga waktu itu. Mama yang cuma lulusan SMA sulit mencari pekerjaan."

Rere ikut sedih mendengarkan ceritanya. Tapi dia malah ingin tahu lebih banyak. "Terus gimana caranya dia ngehidupin dirinya dan kamu?"

"Mama jualan nasi uduk setiap pagi. Menjelang agak siangan, dia bantu-bantu di rumah tetangga untuk mengurus pekerjaan rumah."

"Mama kamu hebat."

"Iya." Rika menengadahkan kepalanya ke langit yang sudah gelap. Indah bertabur bintang. "Mama akan selalu hebat. Meski dia udah nggak ada, dia akan selalu ada dihatiku."

Mata Rere langsung membelalak. "Loh, loh, loh? Nggak ada gimana? Dia udah meninggal?"

"Mama meninggal pada akhir tahun." Rika menangis. Pertama kalinya dia menangis didepan seorang cowok yang dia sukai.

Rere memeluk Rika dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut. "Udah. Jangan nangis lagi. Gue janji deh nggak nanya-nanya lagi."

Rika mengangguk.

BRAKKK!!! Seketika pintu balkon terbuka dengan sekali gebrak. Rika dan Rere yang kaget, reflex berdiri melihat siapa yang datang.

Mata hangat yang selalu ia lihat kini terlihat berbeda. Meski gelap, Rika tahu jelas, orang yang ada dihadapannya ini sedang marah. Sangat marah.

"Kakak?"




(Klik disini untuk part berikutnya)