Sabtu, 12 Januari 2013

Could I Call It Love? #2



2
When I Meet You


(Klik disini untuk part sebelumnya)


Pagi ini Rika telat berangkat sekolah. Karena sudah pasti tak akan sempat jika naik angkutan umum, dia terpaksa menebeng Kakaknya.

"Kaaaaak! Stooooooopppp!!!"

David yang sudah akan pergi jadi mendadak menghentikan motornya tepat satu meter dari pagar rumah mereka. "Lo mau bareng?"

"Iya!!!" Seru Rika sambil berlari-lari menyusul David. Huh! Inilah sebabnya kenapa Rika tak suka tinggal di rumah yang besar. Dari pintu utama ke pagar jauhnya minta ampun. Padahal mereka hanya tinggal bertiga. "Kak, aku nggak perlu pakai helm kan?"

"Mau ditilang?" David justru bertanya balik. Rika terpaksa turun dari motor lagi dan mengambil helmnya di dalam rumah.

David memang hebat. Sudah keren, pintar, jago balapan motor lagi. Rika jadi punya waktu sepuluh menit untuk istirahat sebelum bel berbunyi.

Rika bangga punya kakak seperti David. Meski hanya beda setahun dengan Rika, David punya kecerdasan diatas kemampuan anak SMU biasa. Yah, sayangnya David sekolah di SMU yang berbeda. Padahal kalau satu sekolah, pasti lebih seru.

"Makasih, Kak." ucap Rika sebelum membalikkan badan.

"Heh, heh! Nggak salim dulu sama gue?"

Dasar David. Semoga tak ada yang melihat ini, sih.

***

Lega sekali Rika sudah duduk manis di kelas tepat lima menit sebelum bel. Tapi... bangku sebelah Rika masih kosong. Ia khawatir. Jangan-jangan Ocha masih menunggunya di tempat biasa. Dengan segera ia menelepon cewek itu.

Rika berkali-kali menekan tombol Call. Tapi nomor Ocha masih belum aktif. Ia tak mau menyerah. Saat istirahat ia terus menghubungi Ocha. Ia takut terjadi sesuatu pada Ocha karena hari ini mereka tak berangkat sekolah bersama-sama.

Nihil. Sampai bel pulang berbunyi pun, nomor ponsel Ocha masih tak bisa dihubungi. Karena kekhawatiran Rika yang semakin menjadi-jadi, dia nekat mencari rumah Ocha yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.

Nyasar kesana-kemari, kehabisan ongkos, kelelahan karena hanya melihat alamat di secarik kertas... Rika tetap tak menyerah. "Berlebihan, sih. Tapi kalo terjadi sesuatu sama Ocha, aku nggak akan maafin diri sendiri." ucap Rika dalam hati.

Rika yakin sudah berada di komplek yang benar. Tapi ia baru menyadari satu hal. Benarkah Ocha tinggal di daerah ini?

Lingkungannya kotor, banyak sampah disana-sini. Dan daerah ini sangat sepi. Jarang sekali ada yang lewat.

"Arrrgggghhhh!" Rika berteriak keras saat sesuatu yang hangat mendarat di tangannya. Di saat seperti ini tangannya kejatuhan kotoran burung. Rika cepat-cepat mengambil tissue dalam tas. "Burung sialan! Kotor kan jadinya! Huh..."

Di saat sedang membersihkan kotoran di tangannya, samar-samar Rika mendengar ada yang tertawa. Sepertinya suara cewek. Suara tertawa itu makin jelas ketika seseorang muncul di belakang Rika.

Oh. Cowok ternyata!

Cowok itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Rika tentu saja sangat malu. Ia jadi terdiam. Rika bukan cewek seperti Ocha yang akan melawan jika tertindas. Rika sebenarnya malu dan marah. Tapi ia malah menangis. Itu membuat orang yang ada didekatnya jadi kebingungan.

Cowok itu mendekat dan meminta maaf pada Rika. "Maaf... Maaf, ya? Gue bantu bersihin, deh. Gue bawa tissue basah."

Akhirnya mereka berdua duduk di taman dekat situ. Cowok itu masih membersihkan tangan Rika yang kotor dan bau. Rika hanya duduk diam sambil memperhatikan cowok yang ada disampingnya.

Entah kenapa, Rika merasa gugup karena tangannya dipegang oleh cowok yang ada didepannya. Rika juga menyempatkan diri untuk melihat wajah cowok itu yang duduk tanpa jarak dengannya.

Rambut cowok itu di-spike dan dicat merah terang di sedikit bagian. Hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya sipit dan bibirnya sedikit merah. Belum lagi kulit cowok ini yang putihnya seperti lobak. Cowok ini terlihat sempurna tanpa cela. Rika semakin gugup dan tanpa sadar membuyarkan konsenterasi cowok itu.

"Kenapa liat-liat?"

Rika kaget karena tak tahu kalau cowok itu melihat dia memperhatikannya. "Nggak apa-apa."

"Sudah bersih dan..." Cowok itu mengangkat tangan Rika sedikit lebih tinggi dan mencium aroma di tangan Rika. Cowok itu tersenyum. "Sudah wangi."

"Makasih."

"Oke."

Lalu cowok itu membalikkan badan dan hendak beranjak pergi dari taman itu. Belum terlalu jauh dia berjalan, Rika mendadak memanggilnya. "Hei!!! Tunggu!" Cowok itu menengok. Tapi tak mendekat. Hanya memandangnya.

"Nama lo siapa?" tanya Rika setengah berteriak.

"Rere." singkat. Tapi senyum cowok itu seakan mengartikan banyak kata. Akhirnya dia pergi meninggalkan Rika yang sebentar lagi akan melanjutkan petualangannya mencari rumah sahabatnya.

***

"Rika?" Ocha yang sedang memakai piyama benar-benar kaget melihat sahabat kesayangannya itu berdiri kelelahan di depan rumahnya.

"Lo jahat, Cha. Coba lo SMS gue dari pagi kalo lo nggak masuk karena bangun kesiangan. Jadi kan gue nggak khawatir dan nggak akan kejatuhan kotoran burung."

"Apa?" Ocha mendadak tertawa lepas mendengar kalimat yang baru saja ia dengar. Kasihan sekali sahabatnya itu harus menerima nasib seburuk itu.

"Ngomong-ngomong lo kenal sama cowok yang namanya Rere?"

"Rere?"

"Iya. Rambutnya merah. Kulitnya putih. Tingginya nggak jauh beda sama David."

"David kakak lo yang fotonya ada di hp lo itu, ya? Hmmm..." Ocha berpikir keras. Di daerah rumahnya sepertinya tak ada cowok yang sesuai dengan apa yang disebutkan Rika. "Wah. Gue nggak tahu. Emang dia kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuma nggak sengaja ngobrol tadi."

"Nggak sengaja ngobrol?" Ocha yakin kalau Rika sedang menyembunyikan kebenaran. "Ah, payah nih nggak mau cerita."

"Ih... Cerita apaan, sih." wajah Rika berubah jadi merah.

"Tuh kan! Cepet cerita!"

"Iya-iya."

***

Lelah, letih, lesu. Rasanya benar-benar melelahkan. Mencari alamat rumah Ocha membuatnya serasa patah tulang di semua bagian. Belum lagi kenyataan yang mengharuskan Ocha tetap diam di rumah dan tak bisa mengantarnya pulang. Tapi tak apalah. Kalau hari ia tak mencari rumah Ocha, Rika tak akan pernah bertemu dengan cowok bernama Rere.

Sehabis mandi, Rika buru-buru turun untuk makan malam berdua bersama kakaknya, David. Kakaknya sudah cerewet dari tadi karena Rika mandinya kelamaan.

"Kak, kapan pertama kali Kakak suka sama cewek?" tanya Rika tiba-tiba sekaligus menjadi obrolan pembuka mereka di malam ini. Pertanyaan Rika jelas membuat David tersedak. "Ups..."

Setelah minum segelas air putih David bertanya balik pada adiknya. "Kok, lo tiba-tiba nanya kayak gitu, sih?"

"Pengen tau aja." Rika beranggapan kalau kakaknya itu sudah mulai pacaran dari SD. Bahkan TK. Habisnya teman ceweknya banyak yang naksir, sih.

"Kalo pertama kali suka doang, sih, yaaaah... dari SD."

Tepat. Tebakan Rika sangat benar. "Ketebak."

"Haha. Tapi gue baru berani nembak cewek pas kelas 1 SMP. Itu juga pertama kalinya gue ditolak."

Rika melongo. "Kok bisa?" David itu kan ganteng. Pinter pula. Cewek yang nolak pasti nggak berotak, pikir Rika.

"Waktu SMP gue bego banget, Rik. Nah, yang gue tembak itu tuh cewek paling pinter di kelas gue. Emang, sih, nggak terlalu cantik. Cupu malah. Tapi dia pinter banget. Nah, abis gitu, gue bertekad buat jadi pinter. Dan berharap dia bisa nerima gue kalo gue udah jadi pinter. Sayangnya begitu gue mulai serius, dia pindah ke luar kota."

Rika masih menatap David dengan pandangan serius. "Kakak sedih dong?"

"Ya, lumayan, sih." jawab David yang menunduk, kemudian melanjutkan makannya. "Oh iya, lo nanya kayak gini, pasti lo lagi suka sama cowok, ya?"

"Eh?" Kali ini giliran Rika yang terkejut. Tapi karena David kakaknya, Rika mau terbuka padanya. "Iya sih."

"Anak sekolah lo?"

"Bukan. Aku baru ketemu dia hari ini."

"Oh. Anak baik-baik?" tanya David yang sudah selesai makan.

"Menurutku sih begitu."

"Pokoknya jangan sembarangan kenalan-kenalan sama orang asing! Gue nggak mau adik kesayangan gue kenapa-napa."

"Oke boss."

David, cowok yang baru tiga tahun menjadi kakaknya itu bagai perisai baginya. Meski dikenal mandiri, Rika adalah cewek yang lemah dan cengeng. Dan tugas David adalah menjaga adiknya itu.

"Kak, Papa pulang kapan?"

"Baru hari ini pergi. Udah nanya kapan pulang aja."

Rika mengerucutkan bibirnya. "Kan sepi Kak."

"Mungkin lima hari lagi."

Rika mengerti mengapa David dengan mudah menerima dirinya dan ibunya. Inilah hidup David yang sangat ia harapkan sejak lama. David selalu kesepian. Tapi dengan bersatunya keluarga mereka, Rika yakin, David pasti bahagia.

"Aku sayang Kakak."

Dengan tiba-tiba Rika mendekati David dan memeluknya. David pun membalas pelukan adiknya. Rika adalah impian masa kecil David. Dulu ia hanya bisa bermimpi, tapi keinginannya untuk punya adik jadi kenyataan. Oleh karena itu, David sayang sekali pada Rika.

***

Kantuk mulai terasa. Tapi Rika masih terjaga di atas tempat tidurnya. Ia memikirkan kembali pertemuannya dengan cowok bernama Rere siang ini. Dan setiap dia ingat bagaimana pertemuan itu bisa terjadi, Rika pasti tertawa sendiri.

Cinta pertama datang disaat insiden kotoran burung. Bukankah itu agak sedikit aneh? Ya... Kenyataannya memang cinta datang tak kenal waktu.

Hei, kamu yang jauh disana. Aku yakin kita pasti bertemu lagi. Pasti.


(Klik disini untuk part berikutnya)