2
When I Meet
You
(Klik
disini untuk part sebelumnya)
Pagi
ini Rika telat berangkat sekolah. Karena sudah pasti tak akan sempat jika naik angkutan
umum, dia terpaksa menebeng Kakaknya.
"Kaaaaak!
Stooooooopppp!!!"
David
yang sudah akan pergi jadi mendadak menghentikan motornya tepat satu meter dari
pagar rumah mereka. "Lo mau bareng?"
"Iya!!!"
Seru Rika sambil berlari-lari menyusul David. Huh! Inilah sebabnya kenapa Rika
tak suka tinggal di rumah yang besar. Dari pintu utama ke pagar jauhnya minta
ampun. Padahal mereka hanya tinggal bertiga. "Kak, aku nggak perlu pakai
helm kan?"
"Mau
ditilang?" David justru bertanya balik. Rika terpaksa turun dari motor
lagi dan mengambil helmnya di dalam rumah.
David
memang hebat. Sudah keren, pintar, jago balapan motor lagi. Rika jadi punya
waktu sepuluh menit untuk istirahat sebelum bel berbunyi.
Rika
bangga punya kakak seperti David. Meski hanya beda setahun dengan Rika, David
punya kecerdasan diatas kemampuan anak SMU biasa. Yah, sayangnya David sekolah
di SMU yang berbeda. Padahal kalau satu sekolah, pasti lebih seru.
"Makasih,
Kak." ucap Rika sebelum membalikkan badan.
"Heh,
heh! Nggak salim dulu sama gue?"
Dasar David. Semoga
tak ada yang melihat ini, sih.
***
Lega
sekali Rika sudah duduk manis di kelas tepat lima menit sebelum bel. Tapi...
bangku sebelah Rika masih kosong. Ia khawatir. Jangan-jangan Ocha masih
menunggunya di tempat biasa. Dengan segera ia menelepon cewek itu.
Rika
berkali-kali menekan tombol Call. Tapi nomor Ocha masih belum aktif. Ia tak mau
menyerah. Saat istirahat ia terus menghubungi Ocha. Ia takut terjadi sesuatu
pada Ocha karena hari ini mereka tak berangkat sekolah bersama-sama.
Nihil.
Sampai bel pulang berbunyi pun, nomor ponsel Ocha masih tak bisa dihubungi.
Karena kekhawatiran Rika yang semakin menjadi-jadi, dia nekat mencari rumah
Ocha yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.
Nyasar
kesana-kemari, kehabisan ongkos, kelelahan karena hanya melihat alamat di
secarik kertas... Rika tetap tak menyerah. "Berlebihan, sih. Tapi kalo
terjadi sesuatu sama Ocha, aku nggak akan maafin diri sendiri." ucap Rika
dalam hati.
Rika
yakin sudah berada di komplek yang benar. Tapi ia baru menyadari satu hal.
Benarkah Ocha tinggal di daerah ini?
Lingkungannya
kotor, banyak sampah disana-sini. Dan daerah ini sangat sepi. Jarang sekali ada
yang lewat.
"Arrrgggghhhh!"
Rika berteriak keras saat sesuatu yang hangat mendarat di tangannya. Di saat
seperti ini tangannya kejatuhan kotoran burung. Rika cepat-cepat mengambil
tissue dalam tas. "Burung sialan! Kotor kan jadinya! Huh..."
Di
saat sedang membersihkan kotoran di tangannya, samar-samar Rika mendengar ada
yang tertawa. Sepertinya suara cewek. Suara tertawa itu makin jelas ketika seseorang
muncul di belakang Rika.
Oh.
Cowok ternyata!
Cowok
itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Rika tentu saja sangat
malu. Ia jadi terdiam. Rika bukan cewek seperti Ocha yang akan melawan jika
tertindas. Rika sebenarnya malu dan marah. Tapi ia malah menangis. Itu membuat
orang yang ada didekatnya jadi kebingungan.
Cowok
itu mendekat dan meminta maaf pada Rika. "Maaf... Maaf, ya? Gue bantu
bersihin, deh. Gue bawa tissue basah."
Akhirnya
mereka berdua duduk di taman dekat situ. Cowok itu masih membersihkan tangan
Rika yang kotor dan bau. Rika hanya duduk diam sambil memperhatikan cowok yang
ada disampingnya.
Entah
kenapa, Rika merasa gugup karena tangannya dipegang oleh cowok yang ada
didepannya. Rika juga menyempatkan diri untuk melihat wajah cowok itu yang
duduk tanpa jarak dengannya.
Rambut
cowok itu di-spike dan dicat merah terang di sedikit bagian. Hidungnya mancung,
alisnya tebal, matanya sipit dan bibirnya sedikit merah. Belum lagi kulit cowok
ini yang putihnya seperti lobak. Cowok ini terlihat sempurna tanpa cela. Rika
semakin gugup dan tanpa sadar membuyarkan konsenterasi cowok itu.
"Kenapa
liat-liat?"
Rika
kaget karena tak tahu kalau cowok itu melihat dia memperhatikannya. "Nggak
apa-apa."
"Sudah
bersih dan..." Cowok itu mengangkat tangan Rika sedikit lebih tinggi dan
mencium aroma di tangan Rika. Cowok itu tersenyum. "Sudah wangi."
"Makasih."
"Oke."
Lalu
cowok itu membalikkan badan dan hendak beranjak pergi dari taman itu. Belum
terlalu jauh dia berjalan, Rika mendadak memanggilnya. "Hei!!!
Tunggu!" Cowok itu menengok. Tapi tak mendekat. Hanya memandangnya.
"Nama
lo siapa?" tanya Rika setengah berteriak.
"Rere."
singkat. Tapi senyum cowok itu seakan mengartikan banyak kata. Akhirnya dia
pergi meninggalkan Rika yang sebentar lagi akan melanjutkan petualangannya
mencari rumah sahabatnya.
***
"Rika?"
Ocha yang sedang memakai piyama benar-benar kaget melihat sahabat kesayangannya
itu berdiri kelelahan di depan rumahnya.
"Lo
jahat, Cha. Coba lo SMS gue dari pagi kalo lo nggak masuk karena bangun
kesiangan. Jadi kan gue nggak khawatir dan nggak akan kejatuhan kotoran
burung."
"Apa?"
Ocha mendadak tertawa lepas mendengar kalimat yang baru saja ia dengar. Kasihan
sekali sahabatnya itu harus menerima nasib seburuk itu.
"Ngomong-ngomong
lo kenal sama cowok yang namanya Rere?"
"Rere?"
"Iya.
Rambutnya merah. Kulitnya putih. Tingginya nggak jauh beda sama David."
"David
kakak lo yang fotonya ada di hp lo itu, ya? Hmmm..." Ocha berpikir keras.
Di daerah rumahnya sepertinya tak ada cowok yang sesuai dengan apa yang
disebutkan Rika. "Wah. Gue nggak tahu. Emang dia kenapa?"
"Nggak
apa-apa. Cuma nggak sengaja ngobrol tadi."
"Nggak
sengaja ngobrol?" Ocha yakin kalau Rika sedang menyembunyikan kebenaran. "Ah,
payah nih nggak mau cerita."
"Ih...
Cerita apaan, sih." wajah Rika berubah jadi merah.
"Tuh
kan! Cepet cerita!"
"Iya-iya."
***
Lelah,
letih, lesu. Rasanya benar-benar melelahkan. Mencari alamat rumah Ocha
membuatnya serasa patah tulang di semua bagian. Belum lagi kenyataan yang
mengharuskan Ocha tetap diam di rumah dan tak bisa mengantarnya pulang. Tapi
tak apalah. Kalau hari ia tak mencari rumah Ocha, Rika tak akan pernah bertemu
dengan cowok bernama Rere.
Sehabis
mandi, Rika buru-buru turun untuk makan malam berdua bersama kakaknya, David.
Kakaknya sudah cerewet dari tadi karena Rika mandinya kelamaan.
"Kak,
kapan pertama kali Kakak suka sama cewek?" tanya Rika tiba-tiba sekaligus
menjadi obrolan pembuka mereka di malam ini. Pertanyaan Rika jelas membuat
David tersedak. "Ups..."
Setelah
minum segelas air putih David bertanya balik pada adiknya. "Kok, lo tiba-tiba
nanya kayak gitu, sih?"
"Pengen
tau aja." Rika beranggapan kalau kakaknya itu sudah mulai pacaran dari SD.
Bahkan TK. Habisnya teman ceweknya banyak yang naksir, sih.
"Kalo
pertama kali suka doang, sih, yaaaah... dari SD."
Tepat.
Tebakan Rika sangat benar. "Ketebak."
"Haha.
Tapi gue baru berani nembak cewek pas kelas 1 SMP. Itu juga pertama kalinya gue
ditolak."
Rika
melongo. "Kok bisa?" David itu kan ganteng. Pinter pula. Cewek yang
nolak pasti nggak berotak, pikir Rika.
"Waktu
SMP gue bego banget, Rik. Nah, yang gue tembak itu tuh cewek paling pinter di
kelas gue. Emang, sih, nggak terlalu cantik. Cupu malah. Tapi dia pinter
banget. Nah, abis gitu, gue bertekad buat jadi pinter. Dan berharap dia bisa
nerima gue kalo gue udah jadi pinter. Sayangnya begitu gue mulai serius, dia
pindah ke luar kota."
Rika
masih menatap David dengan pandangan serius. "Kakak sedih dong?"
"Ya,
lumayan, sih." jawab David yang menunduk, kemudian melanjutkan makannya.
"Oh iya, lo nanya kayak gini, pasti lo lagi suka sama cowok, ya?"
"Eh?"
Kali ini giliran Rika yang terkejut. Tapi karena David kakaknya, Rika mau
terbuka padanya. "Iya sih."
"Anak
sekolah lo?"
"Bukan.
Aku baru ketemu dia hari ini."
"Oh.
Anak baik-baik?" tanya David yang sudah selesai makan.
"Menurutku
sih begitu."
"Pokoknya
jangan sembarangan kenalan-kenalan sama orang asing! Gue nggak mau adik
kesayangan gue kenapa-napa."
"Oke
boss."
David,
cowok yang baru tiga tahun menjadi kakaknya itu bagai perisai baginya. Meski
dikenal mandiri, Rika adalah cewek yang lemah dan cengeng. Dan tugas David
adalah menjaga adiknya itu.
"Kak,
Papa pulang kapan?"
"Baru
hari ini pergi. Udah nanya kapan pulang aja."
Rika
mengerucutkan bibirnya. "Kan sepi Kak."
"Mungkin
lima hari lagi."
Rika
mengerti mengapa David dengan mudah menerima dirinya dan ibunya. Inilah hidup
David yang sangat ia harapkan sejak lama. David selalu kesepian. Tapi dengan
bersatunya keluarga mereka, Rika yakin, David pasti bahagia.
"Aku
sayang Kakak."
Dengan
tiba-tiba Rika mendekati David dan memeluknya. David pun membalas pelukan
adiknya. Rika adalah impian masa kecil David. Dulu ia hanya bisa bermimpi, tapi
keinginannya untuk punya adik jadi kenyataan. Oleh karena itu, David sayang
sekali pada Rika.
***
Kantuk
mulai terasa. Tapi Rika masih terjaga di atas tempat tidurnya. Ia memikirkan
kembali pertemuannya dengan cowok bernama Rere siang ini. Dan setiap dia ingat
bagaimana pertemuan itu bisa terjadi, Rika pasti tertawa sendiri.
Cinta
pertama datang disaat insiden kotoran burung. Bukankah itu agak sedikit aneh?
Ya... Kenyataannya memang cinta datang tak kenal waktu.
Hei, kamu yang jauh
disana. Aku yakin kita pasti bertemu lagi. Pasti.