Hidupku yang sebelumnya indah, hidupku yang sebelumnya menyenangkan,
hidupku yang sebelumnya damai, hidupku yang sebelumnya sejahtera, semua hanya
tinggal ‘sebelum dan sebelum’ karena kini sudah berubah.
Berubah.
Ya, berubah total.
Kini tak tau lagi mau ditaruh dimana mukaku.Entah apa yang
menyebabkan mereka tau.Kepalaku pusing. Sungguh ini di luar dugaan. Ga pernah
sebelumnya aku akan coming out dengan cara begini dan dengan reaksi seperti
ini.
Saat itu aku baru pulang sekolah dan baru menginjakan kaki di rumah.
Kulihat semua keluargaku, mama, papa, kak Gary berkumpul di ruang keluarga. Ya,
itu adalah hal yang aneh menurutku karena jarang sekali mereka dapat berkumpul
bersama. Dan yang bikin aku tambah bingung adalah melihat ekspresi mereka
semua. Wajah yang murung, atau amarah? Atau kecewa? Entahlah, mereka bagai
punya seribu wajah. Tak bisa ku lukiskan dengan kata-kata.
Entah mengapa saat itu juga jantung ku bekerja tiga kali lipat dari
biasanya. Tubuhku panas mendadak. Aku tak tau mengapa. Apakah karena aura yang
diciptakan mereka atau bagaimana. Feelingku mengatakan bahwa there’s something
wrong and maybe the ’wrong’ –thing is me.
“cepat ke kamar mu, ganti baju dan cepat kembali ke sini! Ada yang
mau kita bahas!” ujar mama dingin.
Perasaan ga enak itu semakin kuat.Semakin dapat ku pastikan bahwa,
yea the problem is on me.
Aku hanya mengangguk. Berjalan ke kamarku seakan berjalan sangat
cepat, oh Tuhan hentikanlah waktu, dan apanbila Engkau ijinkan, maka putar
baliklah waktu.
Tapi sepertinya Tuhan sedang tidak berpihak padaku. Hikshiks
Sesaat kemudian aku sudah berada di ruang keluarga dimana mereka
berkumpul.
Suasana mencekam sangat kentara di ruangan ini.
”a..ada apa..ma?” suaraku bergetar, berbisik hampir ga kedengeran.
”kamu gay?”
DEG….
”apa ma?” ulang ku seolah tak mendengar.
”APA KAMU GAY??! JAWAB!!”
Tanya mama mengejutkan ku dengan suara yang menggelegar.
Sudah bisa dipastikan wajahku sangat pucat.Mulutku terbuka, terlihat
seperti akan menjawab. Padahal tak ada satukata pun yang terlintas di kepalaku.
Saat mendengar mama bertanya seperti itu, serasa aku terjatuh hingga lebih
dalam dari dasar lautan. Tubuhku lemas seperti ada yang meloloskan tulangku.
”a.aaah..apaan sih ma” ujarku sambil mencoba untuk relax dan
tersenyum.
”JAWAB SAJA YA ATAU TIDAK!!”
Kali ini papa yang angkat bicara. Sungguh, aku tak pernah membuat
orangtuaku semarah ini. Sungguh, ingin sekali aku menangis. Rasanya kelenjar
air mataku bekerja lebih cepat.
”jika kamu tidak mengatakan apa-apa maka kami simpulkan ya, kamu
GAY!” sekarang kakakku yang ambil alih pembicaraan. Sungguh terasa aku
disudutkan. Aku hanya bisa menunduk.
PPLAAKKK!!!
Pipiku panas. Ku raba pipiku. Papa kembali ke tempat duduknya
setelah menamparku sambil memegang dada sebelah kirinya.
Oke, kali ini aku tak bisa lagi membendung air mataku. Air mataku
dengan lancarnya mengalir bak air yang mengalir dari hulu ke hilir.
”kenapa dy? Kenapa?!”
Aku hanya menggelengkan kepala. Ya aku tak tau ma kenapa aku bisa
seperti ini. Seandainya aku bisa memilih jalan hidup, aku tak akan memilih
hidup sebagai gay. Ingin sekali aku menjawab itu atas pertanyaan mama, namun,
lidahku kelu, aku tak ingin lagi menyakiti hati mereka dengan
jawaban-jawabanku. Biarlah aku yang tanggung, cukup aku saja yang merasakan
sakit. Jangan mereka.
”kenapa kamu hanya menggeleng!?”
Aku bingung mau menjawab apa. Entah, apakah karena aku gay mereka
sampai semarah itu? Ya aku tau, mereka benci sekali gay. Saat itu aku sedang
berkumpul bersama di malam yang cerah sambil menonton TV kabel. Dan kebetulan
menayangkan film yang berbau homoseksual. Saat itu juga mama nyeletuk.
”tuh lihat, gay memang kotor, dengan gampangnya mereka bercumbu,
bersetubuh. Apa mereka tak kenal dosa? Haha mereka memang kotor sekali! Dasar
makhluk bejat!”
”betul banget ma! Ada teman kuliahku yang gay, benci sekali aku,
sampe-sampe aku sering mengerjai dia karena ketahuan suka ngelirik aku!” timpal
kak Gary.
”duh! Kamu hati-hati nak, jangan dekat-dekat sama orang seperti itu.
Jauhi mereka! Nanti kamu tertular. Mereka itu seperti virus” sahut papa.
Aku yang posisinya di atas sofa hanya bisa tertunduk, terdiam. Ingin
sekali aku mengatakan, aku tak begitu ma, pa, kak. Aku tak begitu! Ga semua gay
seperti itu . Saat itu aku hanya bisa kembali ke kamar dan tidur ditemani
isakan tangis miris dari bibirku.
- – -
”sudah! Lama-lama papa bisa kena serangan jantung kalau disini
terus!”
” ya sudah pa, ayo kita ke kamar saja!”
”ma, pa, Gary ke rumah teman dulu ya”
Mama dan papa mengangguk, lalu mereka masuk ke kamar, sedang kak
Gary keluar menuju pintu. Sebelum keluar, sempat ku lihat dia melirikku dengan
tatapan sinis.
Hatiku miris.
Serasa teriris.
Rasanya ingin lagi ku menangis.
Ku berjalan lunglai menuju kamar.
Ku tutup pintu, dan ku kunci. Sejenak ku berdiri di depan pintu,
melihat sekeliling kamarku. Lemariku yang berisi banyak piala, piagam, dan
penghargaan serta sertifikat dari lomba yang ku ikuti baik itu akademik maupun
non akademik.
Dada ini sesak.
Ku berjalan pelan ke arah meja belajar. Ku tatap sendu tiap foto
yang kupajang disitu. Ada foto saat aku ulang tahun yang ke 4. aku tersenyum.
Aku ingat sekali aku mendapatkan banyak hadiah dan kak Gary ngiri sekali hingga
sepanjang acara ulang tahunku, ia cemberut dan setelah acara ulang tahunku
selesai, aku memberikan sebagian mainanku padanya yang waktu itu berumur 7
tahun. Lalu ku tatap lagi foto di sebelahnya dimana saat kakaku berumur 17
tahun. Saat itu kami membuat acara pesta ulangtahun kecilkecilan di rumah. Saat
itu suasana sangat gembira dan penuh suka cita.
Dan masih banyak lagi foto-foto yang ada di meja belajarku dan
kutatapi satusatu.
Kenangan masa lalu.
Hatiku pilu.
Tak terasa sudah hampir satu jam aku tatapi foto-foto itu sehingga
habis sudah tenagaku.Ku rebahkan badanku. Ku tertidur.
- – -
Ku bangun, ku lihat jam sudah menunjukan pukul 6 pagi. Tumben mama
dan papa tidak membangunkanku. Apa mereka masih marah? Ku harap tidak.
Ku keluar kamar dengan suatu perasaan ganjil. Perasaan yang tidak
pernah ada dalam hidupku saat aku keluar kamar. Ya, rasa takut. Aku takut
sekali untuk keluar kamar. Namun ku beranikan diri untuk keluar kamar.
Ku berdiri di depan ruang makan. Mereka bertiga tengah asik tertawa
ria menikmati sarapannya tanpa aku. Namun aku senang, setidaknya sepertinya
mereka telah melupakan kejadian kemarin. Ku berjalan menuju meja makan.
Saat mereka melihat aku datang, mereka langsung menatapku terdiam,
lalu dengan segera mereka menyelesaikan makannya dan pergi satupersatu
meninggalkan aku di ruang makan.
Aku tertegun dalam duduk diamku. Ku segera mengambil piring dengan
gamang dan mengambil nasi goreng. Astaga. Sedikit sekali. Apa mama hanya
memasakan sarapan untuk mereka saja? Sedih hatiku.
Ku ambil sarapan dan ku makan sendiri.
- – -
Hari hariku tak sama lagi. Mereka menjauhiku, seakan aku ini virus
mematikan. Mereka memarahiku, seakan aku selalu membuat kesalahan yang
sebenarnya tak ku perbuat. Mereka bahkan terkadan tak memandangku, seakan aku
tidak ada di rumah ini.
Hampir setiap hari, setiap aku pulang sekolah, aku hanya berjalan
menuju kamar, berdiam diri dan menulis buku harian. Ya, dulu aku sangat
menjauhi kegiatan menulis buku harian, karena menurutku itu sangat useless.
Tapi, sekarang malah aku senang menulis buku harian atau diary. Karena hanya
dengan buku itulah aku dapat menuangkan perasaan-perasaan yang sedang aku
rasakan saat itu dan apa yang aku alami selalu ku tulis di buku itu. Buku itu
menjadi teman baru bagiku.
Ohya, ternyata di sekolahku juga sudah tersebar bahwa aku gay. Aku
sendiri sampai sekarang belum tau siapa sebenarnya yang menyebarkan rahasia
bahwa aku gay. Hhhh seingat aku aku tidak pernah mengatakan pada siapapun bahwa
aku gay.
Sekarang, di rumah maupun di sekolah aku mulai dijauhi.Hanya dua
temanku yang mau menerimaku apa adanya. Jason dan Lindsey. Aku sering curhat
padanya.
- 7 tahun kemudian –
Aku sudah semakin dewasa, aku pun sudah lulus sebagai mahasiswa
kedokteran umum di sebuah universitas negeri terkemuka di Yogyakarta. Sedihnya,
keluargaku masih belum mau menerimaku. Sampai wisudaku pun mereka tidak datang.
Sedihnya :’( bayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Sekarang aku sudah
bekerja, mengumpulkan uang untuk mengambil S2 spesialis ortopedi.
Sekarang aku sedang berada dalam ruang kerjaku.Kriiiiinnnnggggg…..Teleponku
berdering.
Ku angkat, ”hei! Cepat datang ke Rumah Sakit XXX di ruangan 312!
Kakak mu kecelakaan!!” suara perempuan entah siapa di telepon.
”OKE!”Panik sekali aku saat mendengar hal itu. Aku tak bertanyatanya
lagi siapa perempuan itu, aku langsung bergegas ke rumah sakit, sebelumnya aku
meminta sekretarisku untuk membatalkan jadwalku pada hari ini dengan alasannya.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju ke kamar dimana
kakakku di rawat. Ada mama disitu, tak ada papa, mungkin masih di kantor. Satu
kata yang terlintas di kepalaku saat melihat kakakku terbaring tak berdaya di
ranjang. Parah. Di perban di bagian mata, dan di perban di tangan. Kaki
disangga, kanan dan kiri.
Tiba-tiba tulang-tulangku sangat sakit. Sakit sekali. Hingga aku
meringkuk di lantai. Mama terlihat kaget, tetapi ia tak bergeming, hanya
menatapku.
Tulangku seperti remuk menjadi kepingan! Sakit bukan main!Aku hendak
keluar kamar.
”mau kemana kamu! Kakakmu sedang sakit begini, kamu bukannya
menyapa, malah main datang dan pergi begitu saja”
Aku menahan rasa sakitku, dan duduk di bangku dekat kasur. Aku tetap
meringis kesakitan. Mama memandangku aneh.
”apakabar kak?”
”bodoh! Sudah jelas ia sedang sakit!”
Aku hanya tersenyum kecut sambil menahan sakit.
- 4 bulan kemudian –
Semenjak hari itu, tulangku sering terasa sakit yang amat sangat. Oh
ya, kakakku sudah mendingan tetapi dokter mengatakan bahwa kinerja matanya
hanya 7%. Kakakku di vonis buta. Akibat kecelakaan itu
Aku memutuskan untuk periksa ke rumah sakit. Terdengar aneh bukan?
Seorang calon dokter spesialis tulang malah bertandang ke rumah sakit spesialis
tulang. Tapi mau di kata apa lagi aku ga bisa periksa tubuhku sendiri, itulah
sebabnya manusia tidak bisa tinggal dan hidup sendiri. Manusia tetap
membutuhkan orang lain untuk menjalani hidupnya.
Dan betapa kagetnya aku setelah mendapatkan hasil tesku.
Sungguh, lemas aku di buatnya.
Ya Tuhan, apalagi yang mau kau beri kepadaku? Cobaan apa lagi?
Semenjak itu aku seperti tak selera hidup.
Kerjaku di rumah sakit juga sedikit terbengkalai karena aku lebih
suka melamun sampai aku hampir kena pecat karena kerja ku yang kurang baik pada
pasien.
Tapi aku akan mencoba untuk tetap konsisten.
- – -
Tiba-tiba saja aku mendapatkan ide sangat cemerlang menurutku. Ya,
dari pada sia-sia, lebih baik di gunakan!
Lagipula rasa sakit yang menderaku sudah tak sanggup lagi aku
bendung.
Aku resign dari kerjaku sebagai dokter.
Aku menuliskan surat kepada orangtuaku bahwa aku ada kerja di luar
pulau sekurang-kurangnya dua tahun.
Ya, selama dua tahun itulah aku akan terus berbaring di tempat
tidur.Betul sekali apa yang ada di pikiran Anda. Aku berbohong.Yaa, do a little
white lie hehe i think it is not a big deal.
Sebenarnya aku samasekali tidak ada di luar pulau. Aku hanya
berpindah kota saja. Disana aku dirawat, selagi aku masih bisa, aku akan terus
menulis diary.Karena tubuhku semakin lama semakin lemah dan rasa sakit ini terkadang
membuat aku tak bisa lagi menulis.
Mau aku beri tau apa itu hasil tesku? Saat itu aku terkena kanker
tulang stadium 3. dan sekarang, aku sudah di rawat di rumah sakit ini kurang
lebih 1 tahun. Dan memasuki stadium 4 dan dokter ku bilang, aku divonis hanya
dapat hidup sekurang-kurangnya dua tahun.
- – -
Dua setengah tahun sudah aku mengendap di rumah sakit. Aku berterima
kasih kepada Tuhan yang di kesepianku masih mau menemaniku dan masih mau
memberiku waktu setengah tahun untuk hidup lebih panjang lagi.
-THE OTHER SIDE, Gary Point of View-
”kemana itu anak!? Dasar gay tak berguna! Sudah kerja tak pernah
sedikitpun mengantarkan uang pada orang tua! Kakaknya sedang sakitpun ia tak
pernah pulang sekadar menjenguk!”Mama meracau. Yah, semenjak aku kecelakaan,
aku tak bisa pungkiri lagi bahwa aku memang kangen dengan adikku satu-satunya
itu . Terkadang aku sering merasa bersalah.
”sudah lah ma, mungkin ia sedang sibuk”
Aku buta sekarang. Tak ada lagi yang dapat ku lihat. Huruf braille
jadi makananku setiap hari.
Mama dan papa masih belum mau menerima adikku sepertinya. Sedangkan
aku sudah merindukannya. Aku rindu saat kita bermain bersama. Dimana kamu Ardy?
I miss you brother :’(
I’m sorry for everything.
Kriiiinnnnnggggg….”ma, can you help me? Tolong angkat teleponnya”
“oke”
Aku sedikit menguping pembicaraan mama.
”ya, betul”
”…..”
”apa??!”
”…..”
”oh terima kasih Tuhan! Terima kasih pak! Kapan bisa dilakukan?”
”….”
”baik pak! Baik! Terima kasih!”Mama menutup teleponnya.
”ada apa ma?”
”kamu…kamu mendapatkan donor mata sayang!” terdengar suara mama
bergetar. Hatiku pun bergetar. Sungguh bahagianya! Ya memang semenjak aku di
vonis buta, mamaku meminta dokter untuk mencarikan donor mata untukku,
sayangnya tidak ada yang cocok hingga akhirnya setelah menunggu sekian lama,
aku akhirnya mendapatkan juga donor mata itu.
Aku menangis.Aku jadi ingat adiku. Kembalilah Dy, kakak ingin
melihatmu! :”) dan kembali mendengar suaramu dan bermain bersama lagi. Ya
walaupun aku sudah tunangan, tapi aku kangen sekali bermain dengan dia.
”kapan aku bisa operasi ma?”
”minggu lusa sayang”
- – -
Dua hari telah ku tunggu, kini tiba saatnya bagiku untuk melakukan
operasi. Ada rasa was-was dalam diriku apabila operasi ini tak berjalan dengan
lancar.Ku serahkan semuanya kepada Tuhan.
”kemana ini adikmu!? Sungguh tak punya perasaan! Dia bilang hanya
dua tahun! Tapi sekarang sudah lewat setengah tahun lebih!”Aku yang sudah
berbaring di ranjang dorong hanya bisa menghela nafas. Aku ingin fokuskan dulu
sementara ke operasiku nanti.
- – -
Kepalaku pusing sekali. Tubuhku lemas pasca operasi. Kesadaranku
perlahan mulai membaik. Bisa kurasakan kaki dan tanganku dingin. Mungkin karena
pengaruh AC atau bisa saja karena aku sedang gugup. Ya gugup karena banyak hal.
Apakah operasi berhasil? Apakah aku bisa melihat lagi? Dimana mama dan papa?
Dimana adikku? Atas nama siapa mata ini di donorkan?$0DHhhh kepalaku tambah
pusing memikirkan hal itu.
Aku tak tau di mana diriku sekarang, mataku masih di perban
sepertinya. Tapi sepertinya aku sudah berada di ruang kamar pasien.
Tangan kananku menghangat, ada yang memegang tanganku.
”ma? Apakah itu mama?” suaraku keluar parau sekali. Haus diriku.
Tak ada jawaban.
”aku haus”
Tiba-tiba ada sesuatu, entah itu selang atau sedotan yang menempel
di mulutku. Tanpa pikir panjang aku sedot. Hmmm ternyata air putih.
”mama? Papa? Apakah itu kalian?”
Kembali ia melepas tanganku. Perlahan tanganku kembali dingin.
selang 30 menit, ada yang membuka pintu dan suara orang berbincang.
Sepertinya dokter.
”nak? Bagaimana kabarmu?”Oh suara mama.”mama?”
”iya nak ini mama”
”ma, aku baik saja.”
”bagaimana nak? Apa yang kamu rasakan?” tanya seorang lelaki yang
aku yakini dokter.
”baik, tapi kepalaku terasa pening”
”itu wajar. Hmm kamu telah tertidur kurang lebih seminggu. Dan saya
rasa sekarang saatnya untuk kita mencoba membuka perbannya bu.” lanjut
dokter.Ga berapa lama, dokter menyentuh perban di kepalaku.
”pejamkan matamu ya nak”
Perlahan perlahan dokter melepaskan perban di kepalaku,
”sudah terlepas perbannya.” kata dokter itu.
”jangan buka dulu matamu nak, suster, tolong tutup semua tirai dan
matikan lampu besar, nyalakan lampu kecil”Perintah dokter itu
”baik dok”
”oke, sekarang kamu boleh membuka matamu perlahan saja”
Aku mulai mencoba untuk membuka mataku.
”bagaimana nak?” tanya dokter itu.
”buram dok”
”sabar ya, kita tunggu beberapa menit. Suster! Tolong nyalakan lampu
besar”
Seketika kamar terlihat terang. Aku dapat melihat bayangan mama,
dokter, dan seseorang yang memakai baju putih sepertinya itu suster.
”bagaimana nak?”
”masih buram dok”
Kudengar mama terisak.
”sabar bu, ini masih dalam proses adaptasi mata baru”Kata dokter
lembut menenangkan mamaku.Perlahan tapi pasti aku dapat melihat dengan jelas.
”dok…”
”ya?” dokter dengan segera langsung menghampiriku.
”aku bisa melihat jelas!” sahut ku girang.
”syukurlaaah!!!! PUJI TUHAN!” pekik mama bahagia. Kulihat ia
menangis bahagia.
Ya! Dapat kulihat. Semua dapat ku lihat. Cahaya, warna berbaur
menjadi satu. Dapat lagi kulihat dunia. Sungguh hatiku sangat senang.
”suster! Tolong ambilkan cermin!” kata dokter itu.
”baik dok!” dengan cekatan, sang suster kembali lagi dengan sebuah
cermin dan memberikannya ke dokter.
”nak, coba kamu lihat di cermin.”
Ia menyodorkan cermin ke arah mukaku. Kulihat bayangan mukaku
disana. Kuperhatikan mata baruku.
Mulutku terbuka, aku kaget. Mataku indah sekali! Ya tak bisa
kupungkiri bahwa mataku indah. Warnanya, biru kehijauan. Berkilauan.
”bagus sekali ma matanya!”
”iya nak!”
”dokter, kalau boleh apakah saya boleh tau atas nama siapa mata ini
di donorkan? Saya sangat ingin mengucapkan terimakasih” mamaku angkat bicara.
”nanti saya akan berikan nomor dan kalian bisa tanya kepadanya atas
nama siapa mata ini di donorkan.”
-14 minggu kemudian-
”maaa, ada tamu!”
”ya naak.” mama segera keluar dari kamarnya dan menyusul ke ruang
tamu.
”ini ma, dokter Hendra,”
”ohh selamat pagi pak dokter. Silahkan duduk. Mau minum apa?”
”pagi juga ibu, teh saja bu”
”baik. Silahkan dulu berbincang-bincang dengan anak saya, saya akan
buatkan teh”
”maaf bu jadi merepotkan”
”tak apa”
Mama tersenyum dan bergegas ke dapur untuk menyiapkan teh.
”jadi.. pak dokter tau atas nama siapa mata ini di donorkan?”
Pak dokter itu hanya mengangguk. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari
tasnya.
”ini barang yang beliau tinggalkan”
Ia menyodorkan sebuah map besar coklat terlihat tebal.
”apa ini dok?” tanyaku setelah menerima map itu.
”buka saja”
Aku membuka map itu, ku keluarkan isinya, sebuah buku, entah buku
apa, dengan sampul berwarna coklat juga. Hmmmm sama ada satu map coklat lainnya
yang ukurannya lebih kecil. Duh cinta coklat banget sih.
“apa boleh ku lihat?” tanya ku hatihati ke dokter.
“tentu” kata dokter itu tersenyum.
Aku membuka buku itu.
Seperti halnya buku pada umumnya, buku itu dipenuhi tulisan tulisan.
Sepertinya ini diary.
Kamis 14 november 1992
Mungkin akan terdengar lucu, aku dulu sangat enggan untuk menulis
catatan harian seperti ini, aku selalu menjauhi hal ini. Tapi entah mengapa
justru sekarang aku yang mendekati kegiatan ini dan mulai menyukai kegiatan ini
di kala semua orang menjauhi diriku.
Ya, kini, hari ini juga, hariku berubah. Hari-hariku berubah 180
derajat. Setelah mereka mengetahui sebuah rahasia terbesar yang ada pada
diriku. Rahasia yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Akhirnya terbuka.
Terbuka dalam artian ya, bernar-benar terbuka.
ASTAGA ini????
Semua orang, orangtuaku, teman-teman ku sudah mengetahui segalanya.
Aku sendiri bingung mengapa bisa rahasia ini terungkap. Padahal aku tak pernah
melakukan hal yang macam-macam. Sekarang, saudaraku bahkan menjadi musuhku
hikshiks :’( terdengar ironis memang, saudara satusatunya yang paling aku
cintai, kak Gary, sekarang menjauhiku. Seperti aku ini adalah virus mematikan
yang harus di musnahkan.
Mama datang bergabung.“kamu baca apa sayang?”Aku tak dapat berkata.
Hhhh sungguh saat itu aku kaget sekali saat pulang sekolah, mama dan
papa serta kak Gary ada di ruang keluarga, seperti menantiku untuk dihakimi.
Perasaanku sungguh kacau saat itu. Perasaan tidak enak udah mengalir. Hmmm
namun apa daya? Aku tak bisa lagi berlari, diary. Apalagi saat mama bertanya
“apakah aku gay?” aku tak dapat berkata, saat itu aku sungguh seperti terjun
bebas dan jatuh ke lubang yang lebih dalam dari samudra. Gamang. Hampa. Banyak
pikiran berkecamuk, sangking banyaknya sampai aku tak dapat lagi berpikir. Aku
ingin menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan, namun aku tahan. Sudah
cukup aku mebuat kecewa mereka segitu dalamnya, cukuplah, tak perlu lagi aku
tambah masalah. Aku ingin sekali meminta maaf, tapi aku takut sekali. Takut
mereka tak mau menerima maafku. Aku tak sanggup lagi bila tak mendapat maaf
dari mereka, maka aku urungkan niatku untuk minta maaf.
“kamu baca apa sih say?”
“ini….ini..diary ma, ayo kita baca bersama”Mataku memanas. Dimanakah
engkau adikku?
Jumat 15 november 1992
Hari ini aku takut sekali untuk keluar kamar, tak seperti biasanya,
aku selalu ceria dipagi hari walaupun baru bangun tidur untuk menyambut pagi
bersama keluarga dan sarapan dengan suasana yang hangat kekeluargaan. Namun
kali ini aku bagai anak yang tidak pada sarangnya. Seperti bukan di rumah
sendiri. Aku keluar kamar dan menuju meja makan, sejenak aku berhenti di depan
ruang makan. Kulihat mereka bercanda ria seperti hari biasanya. Aahhhhhhh saat
itu ada kelegaan luar biasa di hatiku, pikirku mereka sudah melupakan kejadian
kemarin.
Tapi ternyata aku salah. Saat aku menghampiri mereka, mereka
menatapku dan mulai bergegas menyelesaikan mereka lantas berlalu satu persatu
meninggalkan ruang makan. Hatiku pilu. Ternyata mereka masih marah padaku.
Hatiku bertambah pedih saat ternyata tak ada sarapan buat ku, hanya
tersisa setengah centong nasi goreng yang tersisa. Ku ambil sisa itu dengan
tangan gemetar lalu duduk di meja makan dan makan dalam keheningan. Tak terasa
air mataku merintik keluar. Sebegitu marahnyakah mereka hingga sarapan pun aku
harus mengambil sisa dan makan dalam kesendirian?
- – - – -
Selasa 21 maret 1993
Ya benar aku nyatakan bahwa hidupku tak lagi sama. Sudah
berbulanbulan sejak kejadian itu, mereka tak lagi mau menerimaku. Teman di
sekolahpun aku tak ada, hanya Jason dan Lindsey lah yang masih mau menerimaku.
Aku sangat berterimakasih kepada mereka.
Apakah menjadi seorang gay salah? Toh itu bukan jalan hidup yang aku
mau pilih? Apabila aku dapat memilih jalan hidupku, tentu aku tak mau hidup
seperti ini. Terkadang aku bingung sama Tuhan, ia yang menciptakan manusia
dengan berbagai karakternya, termasuk straight, gay, lesbian, and bisexual.
Tapi mengapa Ia hanya menghalalkan straight? Apakah kaum gay lesbian dan
bisexual mahluk sampah? Kenapa Tuhan yang menciptakan tapi Ia justru juga
melarang? Mengapa Ia membiarkan ada rasa seperti ini di dunia?
Aku bingung. Sejenak aku berpikir bahwa aku akan mengakhiri hidupku,
namun entah mengapa aku tak bisa. Aku tak bisa meninggalkan dunia ini dengan
segala masalah yang aku perbuat.
“mah,,, ini,, diary Ardy” aku menatap nanar mama. Mama terlihat
seperti menerawang.
Selasa 12 april 1993
Happy birthday papa! Aku ingin sekali mengucapkan itu di depan papa
langsung namun aku tak bisa. Mereka tak menginginkanku lagi. Lagipula aku sudah
tak punya muka lagi di hadapan mereka. Maka aku hanya taruh surat ucapan
selamat ulang tahun tanpa memberikan nama, dan juga sebuah kado di depan kamar
papa di subuh hari. Hadiah yang aku berikan adalah jam tangan Swiss Army yang
dulu papa idamkan. Aku sudah menabung lama untuk dapat membelikan papa hadiah
itu. Maaf pa, aku telah mengecewakan papa. Aku sungguh tak berniat sekalipun
mebuat papa kecewa. Semoga papa umur panjang :’)
Aku sengaja tak mencantumkan namaku di surat tersebut karena ya,
kalau aku mencantumkannya, pasti papa akan tidak sudi menggunakannya. Aku
senang sekali saat aku mengintip dari pintu kamar di pagi hari, papa dengan gembira
menggunakan jam tangan itu dan memamerkannya ke kak Gary dan mama.
- – - – -
Selasa 2 oktober 2000
Mama!! Papa!! Kak Gary! Aku lulus menjadi sarjana kedokteran umum
dengan predikat terbaik! Cum laude!! Aaaaaaaa aku senang sekali. Aku ingin
sekali memeluk mama dan papa seperti yang teman-teman ku lakukan saat wisuda.
Namun, sayangnya mama dan papa ataupun kak Gary tak datang ke acara wisudaku.
Sungguh sedih sekali. Aku hanya bisa menangis dan berjalan ke toilet agar tak
merusak suasana sukacita teman-temanku.
Kamis 16 juli 2002.Aku kaget sekali ketika mengetahui bahwa kakakku
kecelakaan! Panik diriku. Ya Tuhan, jangan dulu kau ambil nyawa kakakku, aku
sangat menyayanginya, walaupun jarang aku bertemu dengannya tapi aku sangat
rindu padanya.
Air mataku turun tanpa dapat aku cegah
Aku mengunjungi kakakku. Disitu ada mama juga, aku tersenyum secara
spontan. Ingin sekali aku peluk mama seperti aku memeluk mama waktu aku masih
kecil, namun sepertinya mama masih tak mau menerimaku.
Aku sedih sekali ketika melihat kak Gary terbaring tak berdaya di
ranjang pasien. Apa lagi setelah mengetahui bahwa kakakku sudah di vonis dokter
akan buta permanen.Saat itu tibatiba pertulanganku sakit sekali. Tak dapat ku
lukiskan betapa sakitnya tulangtulang di sekujur tubuhku, aku tak tau mengapa.
Rabu 24 november 2002
Belakangan ini aku sering sekali mengalami sakit yang amat sangat di
setiap pertulanganku. Akhirnya aku periksakan keadaanku ke dokter tulang.
Jumat 26 november 2002
Aku dapatkan hasil tesku kemarin rabu, aku kaget sekali saat membaca
hasil tes ku. Ternyata aku mengidap kanker tulang stadium 3. saat itu juga
hidupku kembali berkecamuk. Tak ada selera untuk hidup. Dan kata dokter aku
harus sudah mulai berbaring di tempat tidur untuk jangka waktu yang lama, untuk
perawatan.
Aku memikirkan biaya yang keluar untuk perawatan itu. Untung aku ada
asuransi jiwa dan sedikit tabungan. Yahhh maaf maa, tadinya aku mau beliin mama
mobil baru hadiah ulang tahun mama yang ke 47, tapi sekarang itu hanya tinggal
impian, karena tabunganku harus ku pakai untuk berobat.
Minggu 19 januari 2004
Aku sudah mulai menetap di rumah sakit. Aku akan terus berbaring tak
berdaya di sini. Aku sering menatap hampa langit-langit kamarku. Kemarin dokter
bilang bahwa aku hanya bertahan hidup tinggal 2 tahun lagi. Maka dari itu, tiga
hari yang lalu, aku meninggalkan kotaku dengan sebuah surat kepada mama dan
papa bahwa aku harus dipindah kerjakan di luar pulau. Maaf ma, aku harus
berbohong. Aku tak mau membuat mama dan papa sedih lagi (aku sendiri ragu,
apakah mama akan sedih juga bila tau bahwa umurku tinggal 2 tahun lagi?)
Kulihat mama menitikkan air mata. Begitu pula aku. Tak kuasa aku
membaca tulisan ini. Namun aku penasaran. Sungguh!
Tapi tenang, aku punya kejutan yang tak kalah menarik untuk kalian
Senin 20 januari 2004
Bryan datang ke kamar ku. Dia adalah pria yang aku cintai. Pria
nakal hehehe nakal dalam artian benarbenar nakal. Hmmm dia pujaan hatiku ma,
pa. Begitu elok parasnya, tampan sekali. Ia adalah temanku di SMA dulu. Aku tak
tau apa yang membuat ia datang kemari, padahal dulu ia adalah salah satu orang
yang selalu menghinaku. Ia bilang, ia membawakan satu berita untukku. Namun
berita yang ia bawakan ternyata tak setampan wajahnya (?) hehhehhe. Ternyata
dia yang telah membeberkan rahasiaku. Dia juga minta maaf. Aku tanya dia, dari
mana dia tau bahwa aku gay. Dia bilang, tak sengaja melihat catatanku yang
bertuliskan bahwa aku sangat cinta pada Bryan.
Aku kecewa dan menangis pelan, namun aku tak bisa lagi marah
padanya, semuanya sudah terjadi dan terlanjur menjadi bubur, tak bisa diubah
lagi menjadi beras. Aku memaafkannya, dan ia berjanji padaku akan menjagaku di
sampai hari terakhirku.
“saya, dokter Hendra adalah pengurus dari Ardy Suherman. Di saat
terakhirnya, kami sedang berupaya untuk tetap memompa jantungnya agar tetap
berdetak. Namun, struktur tulangnya sudah rusak sedangkan banyak pembulu darah
dan syaraf penting yang melekat pada tulang. Sehingga, nak Ardy tak lagi dapat
hidup. Ia meninggal pada hari kamis 30 november 2006. dan empat bulan sebelum
meninggalnya, dia sempat memberikan saya wasiat agar matanya di donorkan untuk
kakakknya yang bernama Gary Suherman. Untungnya segala persyaratan donor mata
terpenuhi sehingga dapat di donorkan.”
Air mataku sudah tak perlu ditanya lagi, begitu pula mama yang
menutup wajahnya dengan sepasang tangannya, tak bisa ditutupi bahwa mama
menangis.
“jadi dok, mata ini…”
“ya, mata yang sekarang ada padamu adalah mata adikmu”
Tangisanku pecah.Pintu terbuka dan papa masuk. Papa kaget sekali
dengan apa yang terjadi di ruang tamu.
“pagi, pak” sapa sang dokter ke papa.
“ya pagi. Tadinya saya mau mengambil dokumen penting yang
tertinggal. Tapi, apa yang terjadi di tempat ini?”
“pa!! Ini…ini..mata ini.. adalah milik Ardy”
“apa?! Coba sini papa lihat!”
Papa segera mendekatiku dan menatap mataku lekat-lekat. Perlahan dia
menitikan air mata.
“ya, ini adalah mata Ardy, ayah ingat sekali ia memiliki mata yang
berbeda, matanya biru laut kehijauan…..” papa hening sejenak.
“….bodohnya papa!! Bodohnya tidak mengetahui bahwa ini adalah mata
anakku sendiri!! Lantas dimana anakku Ardy???!” tanya papa panik.
“maaf pak, Ardy sudah wafat november lalu. Waktu itu dia bersikeras
agar matanya dapat di donorkan ke kakakknya. Sungguh, saya sendiri yang bukan
bagian dari keluarganya sungguh terharu. Selain pada diary itu, dia telah
menceritakan semuanya kepada saya apa yang terjadi. Maaf pak, bu, bukannya saya
mau ikut campur. Tapi, sebagaimanapun dan seperti apapun anak yang Anda miliki,
itu adalah titipan dari Tuhan. Sekiranya kita sebagai orang tua mau menjaganya
dan menerima anak sendiri dengan lapang dada. Dia adalah anak yang baik dan
berbakti”
Dokter Hendra pun ikutan menitikan air mata.
“saya melihat seperti apa perjuangannya melawan penyakit, dia adalah
seorang lelaki yang tangguh. Ia mampu bertahan. Waktu itu saya vonis dia hanya
bisa hidup selama 2 tahun, namun dengan tekadnya yang ingin tetap hidup membuat
ia mampu bertahan hingga lebih dari yang saya perkirakan.” Lanjut dokter
Hendra.
“ya dok, dia anak yang baik!” kini mama ikut berbicara di sela
tangisnya.“dia tak pernah sekalipun mengecewakan kami, dia selalu menjadi
penengah, dia selalu bisa membuat bangga dengan segala prestasinya. Namun,
hanya karena ia gay kami jadi memojokkan dia. Saya sangat menyesal” tangisan
mama pecah
“aku sendiri tak bisa membayangkan dia wisuda tanpa pendamping dari
keluarga” ujarku tersendat“predikat yang ia dapatkan pun adalah cum laude.”
Lanjutku.
Kamipun segera menuju ke tempat dimana Ardy di kuburkan. Kami sangat
menyesal. Sungguh, kami sangat menyesal. Rasa dosa menjalar di hati kami semua.
Tangisan tak dapat lagi di bendung. Disaat ia wisuda tak ada yang datang.
Disaat dia sekarat tak ada yang menemani. Di hari terakhirnya pun tak ada sanak
saudara yang mendampingi, hingga di hari ia dikuburpun tak ada yang hadir.
Sungguh penyesalan ini melekat erat di dada kami.
Maafkan kami Ardy, maafkan kami. Sungguh. Mama jatuh pingsan saat
melihat batu nisan bertuliskan Ardy Suherman.
Perasaan bersalah menghinggapi kami.
Maafkan kami Ardy. And thanks a lot for The Eyes. Aku dapat
merasakan kehadiranmu, aku senang sekali setidaknya ada bagian dari dirimu yang
ada di dalam diriku
Adik maafkan aku
Maafkan kakak !Kakak sangat sayang kamu, ardy :')
*Diambil dari link http://www.facebook.com/notes/-top-and-bot-community-/-kisah-sedih-seorang-gay-/367809819968654