Senin, 02 April 2012

Perasaan Gadis Pengidap Epilepsi

Langit mendung tapi tak menurunkan air hujan sedikitpun. Gadis itu hanya menatap gelapnya suasana sore hari, usai menghadiri prosesi pemakaman tantenya. Ia duduk termenung di atas bangku plastik di teras rumah neneknya.

"Rin, masuk!" Wanita tua berumur 70-an memanggilnya seraya berjalan ke luar rumah. Serta merta, orang yang dipanggil "Rin" itu menoleh.

"Nanti dulu. Aku masih mau duduk disini." Seperti biasa, Rini, gadis itu tak menuruti perintah Neneknya. Tak hanya neneknya, ia juga tak begitu senang menjalankan apa yang disuruh orang tuanya.

Akhirnya neneknya yang masih terlihat muda dan segar bugar itu masuk lagi ke dalam rumah. Ia tahu akan sia-sia kalau meminta cucunya yang paling dewasa diantara cucu-cucu yang lain itu menurut.

Rini adalah anak pertama dari empat bersaudara. Saat ini ia berumur 18 tahun. Ia memiliki rambut ikal pendek sebahu, kulit coklat, mata yang bulat, gigi yang rapi, dan cukup manis untuk ABG seumurannya.

Tak ada yang istimewa darinya. Justru ia memiliki suatu kekurangan yang membuatnya tak merasakan apa yang anak-anak seumurannya rasakan. Secara fisik, Rini orang yang sehat tanpa cacat sedikitpun. Sejak bayi, gadis ini menderita penyakit epilepsi. Entah berapa kali sakitnya tiba-tiba kumat. Tentunya kalau melihat air atau api yang cukup besar.

Rumah Rini berdekatan dengan rumah neneknya. Karenanya ia lebih sering menghabiskan harinya disana. Ia sudah tak sekolah sejak kelas 5 SD. Ia tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan menyandang gelar "Tukang Ayan" dari teman-temannya itu. Rini malu dan akhirnya ia berhenti dan tak ingin melanjutkannya.

"Kamu nggak dingin disini?" Tiba-tiba mamanya sudah ada di belakangnya.

"Nggak."

"Mama di dalem. Jangan kemana-mana! Mau hujan. Mama masuk ya?"

Rini memperhatikan mamanya yang berjalan masuk. Mamanya adalah seorang guru. Entah mengapa, Rini sering membencinya. Tak hanya mamanya, Rini juga terkadang membenci papa dan adiknya yang bernama Indri. Rini selalu iri pada adiknya yang satu itu. Indri selalu mendapatkan apa yang diinginkan, Indri juga memiliki banyak teman dan memiliki pacar yang sayang padanya.

***

Beberapa hari kemudian, Rini yang sedang sendirian di rumah akhirnya berniat untuk berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Lingkungan rumahnya masih bisa dibilang perkampungan. Ia tinggal di Bogor, Jawa Barat. Saat ini sebenarnya beberapa wilayah perkampungan itu sudah terlihat sedikit modern.

Saat dalam perjalanan dan melintasi persawahan, Rini tak sengaja melihat seorang laki-laki yang sebaya dengannya sedang "ayan" di sawah dan susah payah mencoba menggerakkan tangan untuk menggapai-gapai tepian.

"Astaga!"

Rini terkesiap dan segera menariknya naik ke atas. Ia membalikkan tubuh laki-laki itu. Tak pernah ia lihat sebelumnya. Tapi... ia sadar kalau laki-laki itu memiliki wajah yang lumayan. Kulitnya putih, bertubuh ideal, dan ternyata dia memiliki penyakit yang sama dengannya.

Entah sudah berapa belas menit Rini menatapnya. Hingga akhirnya laki-laki itu tersadar dan terbangun. Ia tersenyum pada Rini sambil mengulurkan tangannya.

"Makasih. Aku Steven."

Dengan gugup, Rini membalas uluran tangan itu. "A-Aku Rini."

"Kalo kamu nggak ada, aku udah mati mungkin." Lalu dia terkekeh. Caranya tertawa membuat Rini jadi salah tingkah.

Setelah pertemuan tak terduga itu, Rini pun sering bermain bersama dengan Steven. Ternyata Steven baru pindah tak jauh dari rumahnya. Sebelumnya Steven tinggal di Jakarta. Karena suatu hal yang berhubungan dengan penyakitnya, ia memilih tinggal bersama neneknya di Bogor.

Menjalani hari-hari bersama Steven, Rini mulai merasakan apa yang orang bilang tentang jatuh cinta. Ini pertama kalinya Rini menyukai seseorang. Ia nyaman sekali saat berada di dekat Steven.

Steven ternyata adalah orang yang romantis. Dengan keterbatasannya, dia ternyata pintar bermain gitar dan suka bernyanyi. Steven selalu bernyanyi untuk Rini. Rini jarang sekali menonton tv atau mendengarkan lagu. Jadi ia dengan senang hati mendengar Steven menyanyikan lagu apa saja untuknya. Tapi Rini tak pernah menanyakan isi hati Steven padanya. Ia malu dan gengsi.

Rini pernah bertanya pada Steven, "Apa yang paling kamu pengenin dalam hidup?"

"Kamu nanya apa harapan aku?"

"Iya. Semacam itu."

"Hm... Aku nggak punya harapan. Aku takut berharap. Takut harapan itu hanya akan menjadi harapan semata."

Steven benar. Sama dengan dirinya. Bagi Rini, harapan yang diinginkan sesungguhnya hanyalah sebuah harapan. Harapan itu tak akan pernah terwujud. Selama apapun ia menunggu, ia tahu ia tak akan mendapatkan apa yang diinginkan. Rini ingin hidup normal seperti gadis seusianya.

***

Matahari bersinar lebih panas dari hari-hari sebelumnya. Seperti biasa, Rini duduk terdiam di depan rumahnya menunggu kedatangan Steven. Mama Rini mulai menyadari anak sulungnya sedang kasmaran. Ia hanya menggodanya.

"Cieee... Nungguin Steven ya?" Goda mama Rini.

"Ih mama apaan, sih!"

"Rin, Mama seneng kamu punya temen sekarang."

"Oh ya, Mama mau kemana?" Rini menatap mamanya yang sepertinya sudah siap untuk bepergian.

"Oh. Mama ada rapat guru. Mama pergi dulu, ya?"

Lagi-lagi Rini sendirian di rumah. Adik-adiknya yang kecil dititipkan di rumah neneknya, sedangkan adiknya yang bernama Indri, sedang bersekolah saat ini.

Dengan langkah ragu, akhirnya gadis itu berganti pakaian dan untuk yang pertama kalinya ia berdandan. Ia masuk ke dalam kamar adiknya. Dengan mudah, Rini menemukan kotak make-up di atas meja rias Indri.

Rini yakin, sapuan make-up yang ia gunakan tadi tipis dan samar. Setelah itupun ia keluar rumah, mengambil sandal pinknya, dan pergi berjalan menuju rumah nenek Steven.

Belum sempat mengetuk pintu, Rini terdiam. Rumah Steven terlalu sepi dan gelap. Entah kenapa, tiba-tiba perasaannya berubah menjadi kalut. Lalu begitu pintu rumah tetangga Steven terbuka, Rini pun bertanya apa Steven dan neneknya ada.

"Oh. Tadi pagi-pagi sekali mereka pergi. Pindah lagi ke Jakarta."

"Jadi udah nggak tinggal disini lagi?"

"Iya. Oh iya, Steven bilang kalo ada yang nyariin dia, dia nitip ini", wanita yang sepertinya berumur 30 tahunan itu merogoh-rogoh saku dasternya dan memberikan Rini selembar kertas, "Ini mungkin surat untuk kamu."

Rini membaca bagian atas isi surat itu. Keningnya berkerut dan seketika dadanya terasa sakit. Air mata mulai menetes. Rini cepat-cepat menghapusnya. Ia akan membaca sisa surat itu di rumah. Lalu ia pamit pada tetangga Steven dan pergi dari sana.


Rini...
Aku tau kamu pasti dateng nyari aku. Makanya aku nulis surat ini sesaat sebelum berangkat. Maaf kalo aku tiba-tiba pergi. Aku sebenernya nggak bener-bener pindah disini. Aku hanya berlibur menghindari mereka yang terus menggangguku dan mengolok-olokku. Mereka teman-teman sebayaku di dalam satu perumahan. Tapi aku sakit hati saat mereka menertawaiku saat penyakitku kumat, bukannya menolong.
Rin, dalam beberapa minggu ini aku seneng udah bisa kenal sama kamu, deket sama kamu... Aku juga punya hutang budi sama kamu karena kamu udah nyelamatin aku waktu itu. Oh ya, mungkin kamu bingung kenapa aku pergi mendadak. Orang tuaku memaksaku pulang pagi ini. Padahal aku masih betah. Tapi begitu melihat kondisi nenekku yang sakit-sakitan, aku harus menuruti orang tuaku untuk pulang ke Jakarta. Nenekku butuh perawatan medis yang layak. Nenekku juga dipaksa untuk meninggalkan rumah bututnya ini dengan janji orang tuaku yang nggak akan ngebiarin rumah ini dijual.
Aku janji suatu hari nanti aku akan nemuin kamu lagi. Kamu juga harus janji sama aku, jaga kesehatan kamu. Supaya nanti kita bisa ketemu lagi. Entah itu bulan depan atau dua tiga bulan lagi, aku pasti akan nemuin kamu. Kamu harus percaya, aku pasti dateng. Kamu tau nggak kenapa? Itu karena ternyata aku sayang kamu. Makasih untuk segalanya. Sampai jumpa lagi nanti.

By,
Steven



Rini terus menatap surat itu. Matanya berkaca-kaca. Ia sudah tak mampu menahan air matanya yang akhirnya mengalir perlahan di pipinya.

***

Harapan demi harapan perlahan menghilang dan terkadang muncul kembali seiring dengan waktu yang terus berjalan. Gadis itu tak pernah lelah menunggu. Dengan sabar ia menunggu kekasih impiannya. Namun di lain sisi, penantiannya kadang ia rasa percuma, mengingat lamanya ia menunggu.

Sebulan, dua bulan, tak terasa satu tahun terlewati. Rini mulai merasa putus asa. Orang tua dan adik-adiknya kebingungan. Rini juga sudah sering kumat tiba-tiba. Pernah suatu hari saat adik-adik dan papanya berwisata, Rini bertanya pada mamanya yang hanya berdua dengannya di rumah.

"Ma, emang Rini nggak bisa sembuh?"

"Bisa kok. Kamu kok nanyanya gitu?"

"Rini capek Ma. Capek mesti minum obat terus, mesti di rumah terus, pokoknya nggak enak. Kenapa aku nggak mati aja, Ma?"

"Huss! Kamu ngomongnya!" Mama Rini menarik hidung anak sulungnya itu dengan sayang. "Kamu nggak boleh ngomong gitu. Lagian kan, katanya kamu mau nungguin Steven?"

Mamanya benar. Rini memang menunggunya. Itulah alasan yang mengharuskan dirinya untuk tetap bertahan hidup. Demi bisa bertemu dengan Steven. "Iya, sih. Tapi dia nggak pernah dateng."

"Dia pasti dateng."

Rini menangguk mendengar ucapan mamanya. Setidaknya, Rini masih bisa berharap suatu hari nanti ia akan bertemu dengan laki-laki itu.

***

Hidupnya terasa sangat berat dan berliku. Omongan orang tentangnya masih tetap ada. Sejak kecil ia sudah terbiasa diolok-olok seperti itu. Ia hanya bersabar dan berusaha tak memperdulikannya.

Meski orang-orang menjauhinya, setidaknya ada seseorang di hatinya yang menyayanginya. Saat Rini hampir putus asa, ia meyakinkan pada dirinya sendiri. Ia harus percaya hari itu akan tiba. Hari pertemuannya lagi dengan Steven.

Harapan tentang kekasih impiannya terus ada sampai akhirnya hari itu datang. Hidupnya tiba dalam sebuah akhir yang menyakitkan. Impiannya bertemu dengan Steven tak akan pernah terwujud. Tak akan pernah.

Pagi 31 Maret 2012, Rini ditemukan adiknya yang bernama Arin dalam keadaan menelungkup di pemandian umum tradisional. Letaknya tak jauh dari rumah. Arin berteriak-teriak histeris. Karena ia merasa percuma karena tak ada seorangpun yang lewat, ia berlari ke arah rumah. Dengan wajah panik, ia memanggil mamanya.

"Ma! Teteh! Teteh..."

"Kenapa?"

"Ayo, Ma! Kita turun!"

Mama, Papa, warga sekitar pun ikut turun ke pemandian umum yang letaknya agak turun dari rumah-rumah warga. Pemandian umum itu memang sudah jarang dipakai warga karena memang sejak lama memiliki kamar mandi di rumah masing-masing. Entah kenapa, Rini justru senang mandi disana meski di rumahnya ada kamar mandi.

Mama Rini membalikkan tubuh Rini. Mulut dan hidungnya keluar busa begitu banyak. Semua orang yakin, Rini sudah terlalu banyak meminum air saat sakitnya kumat. Dalam keadaan yang sudah tak bernyawa, Rini dibawa ke rumahnya.

Orang tua, nenek, kakek, adik-adiknya, semua keluarga menangisinya. Terlebih lagi mamanya, wanita itu begitu terpukul karenanya. Juga Indri, adiknya. Indri tak percaya kakaknya yang membencinya meninggalkan dunia secepat ini. Kakaknya baru saja menginjak usia 20 tahun. Indri sangat menyayangkan itu, ditambah ia tahu kalau kakaknya sedang menunggu pujaan hatinya.

Akhir dalam sebuah cerita memang tak pernah selalu membahagiakan. Ada kalanya banyak orang yang disayangi akan merasakan sakit yang mendalam, ketika ada sosok yang harus pergi untuk selamanya.

Rini, gadis itu kini telah tiada. Ia pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Di tengah-tengah kehidupan yang semakin menyedihkan, dirinya akan selalu dikenang. Rini memang sudah meninggal, tapi kenangan tentangnya akan terus abadi dan tak akan ada yang melupakan dirinya. Termasuk Steven. Baru dua hari menginjakkan kaki di Bogor lagi, ia harus mendengar kabar mengejutkan tentang berita kematian orang yang sangat ingin ia temui.

Indri mengantar Steven menuju makam Rini yang letaknya ada di belakang rumah nenek Indri. Setelah sampai, Indri diminta untuk membiarkan Steven sendiri. Indri lalu melangkah pergi menjauh. Membiarkan kekasih kakaknya datang berkunjung. Steven langsung duduk di samping makam Rini. Ia menatap lurus batu nisan itu.

"Maaf aku baru dateng. Maaf aku terlambat. Maaf aku... aku udah ngebiarin kamu nunggu terlalu lama."

Steven mengusap air matanya yang perlahan jatuh dengan tangan kanannya, karena tangan kirinya tak lepas memegang batu nisan. Dengan suara lirih ia melanjutkan ucapannya.

"Rin, sekarang aku ada disini, ada di hadapan kamu. Kamu liat aku kan? Ya. Aku tau kamu liat aku. Sekarang kamu percaya kan? Aku kembali. Meski kamu udah nggak ada, aku nggak akan lupain lamu. Aku sayang kamu, aku cinta sama kamu dan kamu yang buat aku selalu memiliki harapan. Ya. Harapan. Aku selalu berharap untuk hidup lebih lama supaya bisa ketemu kamu lagi. Dan sekarang aku udah ketemu kamu. Aku lega sekarang. Aku janji, aku nggak akan lupain kamu dan aku akan ngebiarin hati ini kosong dan nggak ada yang mengisi kecuali kamu."







*Untukmu yang selalu kukenang sepupuku :') maaf karena selama ini aku sering jahat padamu. Aku sering menganggap remeh dirimu. Aku juga suka menjauhimu karena kamu selalu bertingkah aneh. Maafkan aku karena aku tak pernah baik padamu. Andai kau tahu bagaimana aku menyesal. Aku bersungguh-sungguh menyesal. Aku tak akan melupakanmu seumur hidupku. Rini, selamat jalan dan tidurlah dengan tenang. Aku janji akan mengunjungimu saat aku berlibur.