Jumat, 24 Februari 2012

Rhapsody In March


9 Maret, 3 tahun lalu, pertama kalinya Felice mengikuti kompetisi piano tingkat SMP se-DKI Jakarta dalam memperingati Hari Musik Nasional. Awalnya dia sama sekali tidak mau. Karena desakan dari pihak sekolah, akhirnya dia terpaksa mengikuti kompetisi itu. Felice mendapatkan nomor peserta ke 15.
            Ketika Felice sedang bersiap-siap di belakang panggung, seorang peserta yang sedang mengalunkan pianonya, tiba-tiba membuat aktivitas Felice terhenti. Dia berlari menuju tirai merah penghalang panggung. Dia mengintip salah satu lawannya dari balik tirai.
            Alunan itu begitu indah. Seperti lautan bintang di hati Felice. Felice tahu siapa yang duduk disana, anak itu adalah Deriel. Felice pernah bertemu dengan anak itu ketika SMP Deriel mengadakan latihan seni musik gabungan dengan sekolahnya Felice. Dan tidak hanya itu, teman-teman klub seni musik Felice mengatakan bahwa Deriel selalu menang kompetisi piano yang diadakan setiap tahun.
            Beberapa saat kemudian, giliran Felice untuk menampilkan alunan pianonya. The Untold Love Story mengalun bening lewat jemari indah Felice. Tepuk tangan bergemuruh. Namun yang Felice tahu permainannya biasa-biasa saja. Tidak indah sama sekali. Orang pasti tahu bhawa dia adalah pemula.
            “Ah, tapi tetep aja… Dibandingkan dia, gue ini pecundang.” Gumam Felice seraya berjalan meninggalkan panggung. “Gue pengen berhenti aja.”
            Tiba-tiba Deriel datang dan duduk di sebelah Felice. “Lo mau berhenti?”
            Felice menoleh kaget. Deriel mengacaukan lamunannya. “Eh?”
            “Itu ide bagus.” Deriel tersenyum. “Lo emang bodoh, sih. Pecundang kayak lo nggak pantes jadi lawan gue.”
            Felice berdiri di hadapan Deriel yang sedang duduk. Telunjuknya tepat berada 5cm dari hidung Deriel. “Heh! Inget ya. Nanti gue pasti jauh lebih jago dan menang kompetisi ini!”
            Namun tahun berikutnya tetap Deriel yang menang kompetisi itu, juga dua tahun berikutnya. Hingga mereka berdua sama-sama telah lulus SMP dan masuk ke SMU pilihan mereka.

***

            “Permainan gue makin bagus. Besok dia akan kubuat kapok! Hahaha…”
            Mia kagum pada sahabatnya ini yang tidak pernah berhenti berusaha untuk mengalahkan rivalnya sejak lama. “Felice…”
            “Ya?” Tanya Felice penuh semangat.
            “Kalian cuma ketemu ketemu tiap tanggal 9 Maret kan? Romantis banget, kayak Legenda Tanabata di Jepang.”
            “Sembarangan! Lagian Tanabata itu kan adanya setiap tanggal 7 Juli, bukan 9 Maret.”

***

            “Pemenang kompetisi kali ini… adalah… Felice Gartikaaa…”
            Felice menangis di atas panggung. Dalam hati dia berkata, “Ah akhirnya aku menaaaaaaaaaaaaaaanggg…! Tapi…” Felice baru sadar. Deriel tidak ikut kompetisi ini. Dia memperhatikan satu persatu orang-orang yang duduk di bangku. Tidak ada. “Ah itu dia…” ujarnya ketika Felice melihat Deriel keluar melalui pintu samping gedung kompetisi. Felice langsung mengejarnya.
            “Eh Deriel..! Tunggu..!” Felice masih berlari mengejar langkah-langkah Deriel yang panjang. “Eh tunggu dulu sebentaaaaaarrr…”
            Brukkk! Felice jatuh tersungkur mencium aspal. Deriel menghentikan langkahnya, dan berbalik arah. Dengan langkah cepat dia membantu Felice berdiri. “Kalo mau lari, sepatu hak tinggi lo dicopot dulu!”
            “Ah, makasih…” ucap Felice seraya merapikan bajunya. “Eh, kok lo nggak ikut, sih?”
            “Gue berhenti main piano.”
            “Apaaa? Kok gitu? Emang kenapa berhtenti? Karena mau menang dari lo gue susah payah latihan piano. Sekarang malah mau kabur seenaknya!”
            “Felice. Nih..!” Deriel memberikan jaketnya pada Felice. “Lo nggak malu apa keluyuran begini pake dress bahu terbuka?”
            “Ma..Makasih…” Felice tidak percaya Deriel masih ingat namanya.
            “Dimana rumah lo? Gue anter pulang.”

***

            Deriel baru tahu kalau ternyata rumah Felice adalah sekolah musik. Deriel kagum sekali begitu dirinya melihat grand piano bertengger manis di ruang tengah rumah Felice.
            Tiing… Deriel menyentuh tuts piano itu. “Bagus banget.”
            Felice menatap wajah Deriel. Wajah itu terlihat senang. “Lo nggak punya?”
            “Nggak. Orangtua gue nggak suka piano.”
            Deriel mulai memainkan jari jemarinya di atas tuts piano. Seperti 3 tahun yang lalu. Alunan pianonya yang lembut… selalu…membuat dada Felice sesak.
            “Lho? Kenapa nangis?” Deriel menghentikan permainannya.
            “Gue nggak tau. Tapi… tiap denger permainan lo, hati gue sedih. Sesak. Gue pengen… Gue pengen main piano seperti lo.” Felice menangis dengan posisi berjongkok dan memeluk lututnya. Deriel menggenggam tangannya. Menariknya lembut hingga dia berdiri.
            “Gue yakin lo suka main piano.” Ucap Deriel sambil menghapus air mata Felice dengan jarinya. “Karena itu lo berlatih keras. Iya, kan?”
            “Der…”
            “Ya?”
            “Teruslah… bermain piano… Jangan berhenti.”
            “Sebenarnya keluarga gue punya rumah sakit. Gue pun harus jadi dokter. Nggak dibolehin untuk main piano.”
            “Terus lo mau?”
            “Apa boleh buat. Gue kan penerus keluarga.”
            Deriel tersenyum. Tidak. Senyumnya palsu. Felice tahu sebenarnya Deriel sedih. Sebenarnya juga, dia tidak rela berhenti main piano. Deriel hanya pura-pura tersenyum.

***

            Minggu siang ini Felice mengajak Deriel untuk main kerumahnya lagi. Dia ingin bermain piano berdua dengan Deriel. Satu lagu kesukaan Felice, The Untold Love Story, mengalun lewat jari jemari dirinya dan Deriel. Dan lagi-lagi Felice menangis.
“Dari awal gue udah tau kalo permainan piano lo bagus. Secara teknik, memang masih kurang. Tapi enak didenger. Itu karena penghayatan yang bagus.” Deriel meletakkan kepala Felice di atas bahunya. “Tahun ini pun gue dateng nonton kompetisi karena mau denger permainan piano lo.”
            Felice menegakkan cara duduknya. “Terus kenapa dulu lo menghina gue?”
            “Gue bilang begitu… supaya lo termotivasi.”
            “Kompetisi piano tahun depan, kita ketemu lagi, yuk?”
            Deriel terdiam. Dia membuang muka. “Ah nggak mau.”
            “Yaaaaaahhh… Kenapa? Tahun depan ikut lagi, kan?”
            “Bukan begitu. Gue…” Wajah Deriel terlihat malu-malu. “Gue pengen ketemu lo terus. Bukan cuma setahun sekali…”
            Wajah Felice memerah dan dia… memeluk Deriel dengan mesra.


-Rhapsody In March Selesai-


Sekedar informasi. Instrument piano The Untold Love Story (ada di film “Ayah Mengapa Aku Berbeda) ini keren banget. Menyentuh. Bikin perasaan menjadi tenang dan damai. Bisa di download disini.