Minggu, 18 Maret 2012

Love Story I: Ferry and His Girlfriend

Aku sangat menyukainya. Itulah yang terlintas dalam pikiranku ketika menemuinya. Perempuan itu memiliki rambut yang indah. Panjang sepinggang, hitam legam, terurai cantik. Wajahnya memancarkan keanggunan yang sempurna. Mata bulat, alis tebal, bulu mata yang lentik membuatnya terlihat manis. Hidungnya bangir, bibirnya tipis dan merah alami. Kulitnya kuning, halus dan terawat meski terlihat banyak bulu di tangan dan kakinya. Itu membuat dia terlihat semakin manis. Oh, iya. Perkenalkan namaku Ferry. Nama lengkapku adalah Ferryansyah Muji Agustian Tresnanto.
Tak hanya secara fisik saja aku mengaguminya. Dia orang yang lembut, tak banyak bicara, mandiri dan apa adanya. Aku suka dengan sifatnya yang senang bersosialisasi. Aku sering melihatnya mondar-mandir di dalam kampus hanya untuk menawarkan makanan dan minuman yang dijualnya. Perempuan itu sangat sederhana. Dia tak keberatan membantu ibunya berjualan dan dia juga tak malu menawarkan dagangannya dengan penghuni kampus.
Aku selalu memperhatikan gerak-geriknya sejak dia baru masuk dan menjalani OSPEK. Saat itu aku adalah panitianya. Aku sengaja membuat anak itu kesusahan. Aku akan sangat senang sekali ketika dia tak mampu melaksanakan apa yang telah kuperintahkan, karena aku tak mengizinkan siapapun membantunya. Aku sengaja melakukannya.
Hingga saat dia resmi menjadi mahasiswi, aku mulai mendekatinya. Aku menanyakan dimana rumahnya, berapa nomor ponselnya, dan yang paling penting adalah apakah dia sudah punya pacar atau belum. Betapa tak percayanya aku. Ternyata dia belum punya pacar. Akhirnya aku merencanakan satu hal: aku harus mendapatkannya sebelum orang lain.
Tepat di malam hari terakhir pelaksanaan LDKM fakultas kami, aku menyatakan perasaanku. Aku tak menyangka dia menerimaku. Aku merasa kalau aku adalah laki-laki paling bahagia sedunia.
Tak terasa dua bulan sudah aku berpacaran dengannya. Semakin hari aku semakin merasa senang memilikinya. Tapi tidak untuk hari itu. Hari dimana aku tak sengaja bertemu dengannya di sebuah Mall. Saat itu aku baru saja selesai keluar dari toko mainan. Aku membelikan pacarku sebuah boneka. Boneka beruang besar yang sudah lama dia inginkan. Aku tak menyangka, ia terlihat sedang bersama seorang laki-laki. Ternyata itu adalah mantannya. Aku mengenalnya karena Femi pernah memperlihatkan fotonya. Aku menariknya menjauh dari laki-laki itu.
"Femi! Aku pikir selama ini kamu baik. Ternyata aku salah. Ternyata kamu di belakang aku begini. Kamu sadar nggak kalau aku kecewa, Mi!?!" Aku membentaknya. Dia hanya diam menunduk. Aku melihatnya mulai menangis. Tapi aku tak peduli. Aku meninggalkannya disana. Aku melemparkan boneka besar itu di lantai. Tepat di atas pangkuannya. Sebelum aku pergi, aku berkata, "Aku nggak mau liat kamu lagi. Kalau kamu ngeliat aku, pura-puralah untuk nggak ngeliat aku. Dan buang aja boneka itu!"
Satu bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah jarang melihat dia berjalan berkeliling kampus menawarkan dagangannya. Aku sudah tak perduli dengan omongan orang tentangnya. Juga untuk kabarnya. Dia telah membuatku patah hati. Dia juga harus merasakan apa yang kurasakan.
Suatu hari aku sedang bersantai di pinggir lapangan. Aku teringat pertama kali melihatnya memakai seragam putih hitam, sepatu hitam bertali warna kuning, pipi terpoles lipstik ala Jeng Kelin dan atribut lainnya. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sudah lama sekali tak pernah kurasakan. Aku menceritakan hal ini pada sahabatku, Marsu. Aku katakan padanya kalau aku sedikit merindukannya.
Sahabatku terlihat sedih dan aku tahu dia pasti ingin menceritakan sesuatu. Aku mendesaknya untuk memberitahu apa yang dia sembunyikan dariku.
"Mars, lo kenapa?"
"Hmm... Lo nggak kangen sama Femi?"
"Nggak. Lagian paling orangnya ada di kelas dan nggak mau kemana-mana karena takut ketemu gue."
"Dia udah seminggu nggak masuk, Fer."
Atas bujukan Marsu, aku melangkahkan kakiku dan mengendarai motorku ke rumah Femi. Sebelumnya aku menolak. Untuk apa aku kesana? Kalaupun dia sakit, pasti tak akan parah. Femi bukan orang yang gampang sakit. Akhirnya Marsu memaksaku pergi tanpa memberitahu alasan yang jelas. Aku tak ingin pergi, tapi sesungguhnya aku penasaran.
Aku pun telah sampai di depan rumahnya. Aku tak berniat meneleponnya untuk membukakan pintu. Lagipula dia juga pasti sudah hafal dengan suara motorku. Harusnya dia sekarang keluar dan membukakan pintu untukku.
Aku mengucapkan salam dan memanggil namanya. Femi tak keluar. Justru Mamanya-lah yang membukakan pintu pagar untukku. Mama Femi terlihat sedang sakit saat itu. Aku tak ingin bertanya karena sepertinya beliau sangat lelah. Terlihat dari mata pandanya. Wanita itu mempersilakan aku untuk masuk ke ruang tamu.
Aku duduk-duduk di sofa sambil memainkan BBku sambil menunggu. Aku tak punya kontak BBM Femi sejak aku meninggalkannya. Aku baru ingat kalau aku belum mengatakan putus dengannya. Aku harus mengatakan itu sekarang. Tapi begitu aku memandang ke depanku, tenggorokanku terasa sakit sekali. Entah kapan dia ada di depanku. Dadaku perih menyesakkan. Mataku panas. Seketika aku tak sadar air mataku mengalir deras di pipiku. Aku perlahan mendekatinya. Aku duduk bersimpuh di hadapannya. Aku menyentuh lembut wajah dan rambutnya.
Aku tak menyangka perempuan yang memeluk boneka beruang, yang duduk di kursi roda ini adalah Femi. Tangan perempuan itu penuh luka. Mataku lalu turun lagi ke bawah. Dadaku sesak melihat kaki Femi yang dipasangi pen. Kakiku terasa sangat ngilu. Tapi yang benar-benar membuatku menangis adalah... matanya. Kedua mata Femi terbalut perban. Aku tahu Femi tak bisa melihatku. Tapi dia bisa tahu aku menangis.
"Ferry, kamu nangis? Aku nggak percaya kamu datang."
Aku masih terperangah dengan apa yang terjadi di hadapanku. Dia berbicara sambil mencari-cari kepalaku. Aku menggennggam tangannya, membantu Femi menemukan kepalaku. Dia menyentuh rambutku. Mengelusnya perlahan. Lalu dia tersenyum. Dan berkata, "Makasih, ya, kamu datang kesini."
Aku menghapus air mataku. Aku bertanya padanya, "Kamu kenapa, Mi? Kenapa bisa begini?" Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.
Femi menceritakan penyebab semua yang terjadi padanya. Dengan lirih dia berkata, "Waktu itu aku mengantar Mama belanja. Pulangnya kita kan mau nyeberang jalan, ternyata Mama udah ke seberang duluan. Begitu aku menyeberang, sebuah mobil menabrakku. Aku terlempar dan kata Mama aku sempet koma 3 hari karena itu. Tangan, kaki, wajah dan mataku luka parah. Tapi kamu jangan khawatir. Aku pasti sembuh, kok."
"Mata kamu, kenapa diperban, Mi?"
"Oh ini?" Dia menunjuk matanya dengan telunjuk kanannya. "Ini nggak apa-apa kok. Cuma habis operasi kecil. Mataku dua-duanya katarak karena terlalu sering bersepeda."
Aku bersyukur dengan pernyataan Femi. Tadinya kupikir dia akan buta selamanya. Tapi, kalaupun itu terjadi, tak masalah untukku. Aku tak akan meninggalkannya. Aku berjanji. Sekalipun Femi cacat, lumpuh, tak bisa berjalan, tak bisa melihat, tak bisa melakukan apapun, aku akan selalu ada untuknya.

"Fem.."

"Kenapa?"

"Kamu tau nggak ada apa di hadapanmu?"

"Nggak lah! Kamu ngeledek?"

"Tebak dulu."

"Nggak mau."

"Tebak!"

"Ada kamu, kan?"
"Bukan. Tapi wajahku." Lalu aku mencium bibirnya. Sehingga dia mengamuk dan mencubit pipiku dengan keras.


-Love Story I: Ferry and His Girlfriend Selesai-
*Spesial untuk sahabatku Ferry (@ferryy6)