Jumat, 24 Februari 2012

Barangkali Cinta #14


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)


            Mantan pacar Kak Lionel, Emilia, menoleh dan tersenyum melihat Lidya. “Hai, Lidya, baru pulang sekolah?”
            “Ganti baju dulu sana!” perintah Kak Lionel.
            “Nggak mau. Gue nggak mau kemana-kemana kalo nenek lampir ini belum pulang, Kak!”
            “Aku kesini cuma mau berterima kasih aja kok sama Lionel. Berkat dia, pacarku mau bertanggung jawab. Makanya itu…”
            Lidya memotong kalimat Emilia,”Oh jadi pas cowok lo nggak mau tanggung jawab, lo minta kakak gue yang nikahin lo gitu? Ooooohhh…”
            Emilia tertunduk malu. Memang salahnya. Tapi apalah daya seorang perempuan jika dirinya sudah terkena musibah seperti ini, hamil di luar nikah. Emilia menangis. Disitulah Lidya mulai sadar. Dia kasihan. Apa yang gue bilang tadi? Gumamnya.
            “Maaf…” wajah Lidya terlihat merasa bersalah. Ya. Dia merasa bersalah karena membuat mantan pacar kakaknya ini sakit hati. “Aku masuk dulu.”

***

            “Hei!”
            Baru saja Lidya mau belok ke kantin, seseorang memanggilnya. Dia menoleh dan mendapati Gerry menatapnya sambil tersenyum lucu. Salah satu ujung bibirnya terangkat, ciri senyuman yang hanya dimiliki cowok itu.
            “Kenapa?”
            “Lo mau kemana?”
            Lidya tidak menjawab, tapi jarinya menuding ke atas, ke arah papan penunjuk arah bertuliskan “KANTIN”.
            “Lid…”
            Lidya selalu ingin tertawa jika mendengar Gerry berbicara. Suaranya imut. Seperti anak kecil. “Kenapa, Ger?”
            “Lo kan tau kalo gue…” Gerry memelankan suaranya, “belok, dan… ini pertama kalinya gue… deket sama cewek.”
            Masih tersenyum sambil memperhatikan tampang Gerry. “Terus kenapa? Hehe…”
            Gerry terlihat malu-malu. Dia meneguk es teh manisnya sedikit. Lalu berkata, “Salah nggak sih kalo gue suka sama cewek yang udah punya cowok?”
            Lidya tertawa. “Ya nggak sih. Cuma mesti jaga perasaan aja.”
            “Tapi kalo dianya suka sama gue juga gimana, Lid?”
            “Yaaa…” Lidya memutar-mutar bola matanya. Dia pura-pura berpikir. “Itu tergantung gimana kalian aja. Emang sejak kapan lo suka Gita?”
            “Kok, lo tau sih gue suka sama Gita?”
            Lidya menatap Gerry sinis. “Gerry, gerak-gerik lo sama Gita tuh udah kebaca sama gue, sama orang-orang juga. Udah, jadian aja gih.”
            “Duh… Gita kan udah punya cowok.”
            “Coba dulu. Lagian nih yah, tadi malem kita teleponan ngomongin lo. Gita bilang kalo dia udah males sama cowoknya. Cowoknya itu kayaknya nggak tulus. Keliatan banget matrenya.”
            “Masa sih?”
            “Beneran. Sebenernya ini rahasia. Hehe. Tapi gue kelepasan.”
            “Ah, nggak apa-apa. Makasih ya Lidya.” Gerry berdiri dari bangkunya. “Gue ke kelas dulu ya. Gue mau cari Gita.”
            “Semoga berhasil yah…”

***

            Malam minggu pertengahan tahun, entah yang keberapa kalinya, Gema datang ke rumah Lidya. Sebenarnya sih hampir setiap hari juga Gema mampir. Tapi sabtu malam Gema merwajibkan diri untuk selalu datang ke rumah pacarnya.
            “Selamat tanggal 23 yang ke empat belas ya.” Gema memberikan boneka beruang super besar kepada Lidya. Boneka yang sangat dia inginkan.
            “Makasih ya.” Lidya memeluk boneka itu. Lembut. “Aku suka banget.”
            “Lid tau nggak?”
            “Kenapa?”
            “Tadi siang Gerry nelepon aku.”
            “Dia bilang apa?”
            “Hmm…” Gema pura-pura berpikir. Dia diam sejenak. Memperhatikan tampang penasaran Lidya yang ada di sebelahnya. Gema tersenyum.
            “Ih… Gerry bilang apa? Jangan sok imut ah.” Lidya mencubit pinggang Gema.
            “Janji dulu ya kamu jangan cemburu. Hehe…”
            “Nggak ih. Cepetan!”
            “Gerry udah jadian lho sama Gita.”
            Lidya berdiri dari tempat duduknya. “Serius?” Lidya benar-benar tidak percaya.
            “Beneran kok…”
            Disaat Lidya dan Gema sedang asyik mengobrol di teras, tiba-tiba suara motor yang terdengar dari kejauhan, berhenti di depan rumah Lidya. Thunder 125 milik Gerry. Gerry dan Gita cepat-cepat turun dari motor. Lidya masih duduk di teras. Tapi mereka belum masuk juga. Akhirnya Lidya menghampiri mereka berdua.
            Lidya membuka pagar rumahnya. Dan…
            “Happy anniversary………..!!!” Gerry dan Gita mengucapkannya bersamaan, seraya memberikan kue tart yang diberi lilin dengan angka 14 di atasnya.
            “Aaaaaaaaa…” Lidya terkejut. Belum pernah sebelumnya Gita dan cowok barunya ini memberikannya kejutan. “Makasih banget.”
            Gita meminta Lidya dan Gema untuk meniup lilinnya.
            “Eitss… Tunggu dulu. Make a wish dulu dong.” Ucap Gita saat bibir Lidya sudah maju siap meniup lilin.
            “Wah ada apaan nih...?” Tiba-tiba Kak Lionel keluar dari dalam rumah bersama ceweknya. “Wah ada kue. Nggak ada yang ulang tahun kan ya?”
            “Ini kak. Lidya sama Gema kan lagi anniv.” Jawab Gita.
            “Ayo yuk cepet make a wish dan tiup lilinnya.” Ucap Gema yang ternyata dari memang sudah tidak sabar untuk ikutan mencicipi kue tart buatan dirinya bersama Gita siang tadi.
            Setelah make a wish dan meniup lilin selesai, kue itu pun dipotong beberapa bagian untuk mereka makan. Kak Chika, pacar Kak Lionel ikut senang dengan malam itu.
            “Kasihan Kak Lintang. Malam mingguan di luar terus sih dia. Hehe…” Lidya mengatakan itu pada Kak Lionel. “Mama sama Papa juga pergi. Kalo ada mereka, pasti lebih rame lagi.”
            Makan-makan pun berlajut di dalam rumah. Mereka berfoto-foto. Rumah Lidya seketika ramai dengan canda dan tawa. Gema membisikkan sesuatu di telinga Lidya.

***

            Siang itu cerah ceria. Matahari terhalang awan putih, bukan awan hitam yang akan membawa hujan. Angin pun berhembus menyejukkan. Lidya menatap makam yang ada tepat di hadapannya. Makam Daren, Kompleks pemakaman ini begitu rapi dan asri. Memiliki kesan damai.
            Perlahan Lidya menyentuh ukiran nama “Daren Dermawan” di batu nisan. Tatapannya begitu sedih. Seberapa kuat pun ia menahan, rasa sakit di dadanya masih tetap ada. Matanya pun lagi-lagi terasa panas.
            “Da..ren, kamu bisa denger aku?” tanya Lidya pelan. “Maaf aku baru datang kesini lagi. Dan maaf… karena sekarang aku juga menyayangi cowok lain selain kamu…”
            Lidya merasa air matanya jatuh seiring berembusnya angin, membelai rambutnya yang ikal dengan lembut.
            “Aku masih inget dengan jelas wajah kamu, senyum kamu, tawa kamu, suara kamu, pelukan hangat kamu…” Lidya mengusap air matanya. “Aku bahkan masih inget gimana pertemuan kita dulu. Daren… saat aku tau kamu udah nggak ada, aku selalu berharap semua itu cuma mimpi. Aku berharap saat aku terbangun, kamu ada di sisi aku dan berkata kamu nggak akan pernah ninggalin aku.” Air mata Lidya semakin deras.
            Lidya menghela napas sesaat. “Daren. Kamu harus tau kalo perasaan sayang aku ke kamu nggak akan hilang. Betapa pun sayangnya aku ke orang lain, kamu tetep nggak akan tergantikan.”
            Kini Gema ikut duduk di sebelah Lidya. Gema menatap batu nisan sepupunya itu. Gema tersenyum tulus. “Thanks, Ren. Lo udah ngajarin banyak hal ke gue. Kita juga sama-sama sayang sama dia. Dan sekarang giliran gue yang menjaga dia. Lo tenang aja. Trust me…”
            Lidya menyelipkan selembar kertas di antara celah tangkai yang ada di buket mawar putihnya. Lalu Lidya dan Gema sama-sama mendoakannya. Doa tertulus untuk seorang Daren yang tidak akan terlupakan. Daren boleh pergi selamanya, tapi tak ada seorangpun yang bisa menghapus keberadaannya di dunia ini. Dia pernah ada. Dan selama orang yang menyimpan kenangan tentangnya masih hidup, ia pun akan terus ada.
            Sambil mengusap sisa-sisa air matanya, Lidya beranjak pergi meninggalkan makam. Gema dengan setia mendampingi Lidya. Belum lama dia melangkahkan kaki, Lidya berbalik. Ditatapnya kertas yang dia selipkan di mawar pemberiannya terbang terbawa angin yang bertiup kencang.
            Lidya tertegun. Dia berharap Daren tahu apa yang tertulis disana. Perlahan senyumnya mengembang. Senyum paling tulus yang khusus diberikannya untuk Daren.
            “Masih mau disini?” tanya Gema kepada pacar tercintanya.
            Lidya menatap wajah Gema dan berkata, “Nggak kok. Yuk, pulang.” Lidya menggandeng lengan Gema dengan erat. Mereka pun pulang meninggalkan makam.
            Selembar kertas yang ditulis Lidya terbang semakin jauh tertiup angin. Kertas itu berisi puisi yang pernah ditulis Daren untuknya.


Barangkali Cinta

Barangkali cinta
Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap oleh darahmu
Dan engkau beriak karenanya
Darahku dan darahmu
Terkunci dalam nadi yang berbeda
Namun berpadu dalam badai yang sama

Barangkali cinta
Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke paru-paruku
Dan aku terbakar karenanya
Napasmu dan napasku
Bangkit dari rongga dada yang berbeda
Namun lebur dalam bara yang satu

Barangkali cinta
Jika ujung jemariku mengantar pesan yang menyebar ke seluruh sel kulitmu
Dan engkau memahamiku seketika
Kulitmu dan kulitku
Membalut dua tubuh yang berbeda
Namun berbagi bahasa yang serupa

Barangkali cinta
Jika tatap matamu membuka pintu menuju jiwa
Dan aku dapati rumah yang kucari
Matamu dan mataku
Tersimpan dalam kelopak yang terpisah
Namun bertemu di jalan setapak yang searah

Barangkali cinta
Karena darahku, napasku, kulitku, dan tatap mataku
Kehilangan semua makna dan gunanya
Jika tak ada engkau di seberang sana

Barangkali cinta
Karena darahmu, napasmu, kulitmu, dan tatap matamu
Kehilangan semua perjalanan dan tujuan
Jika tak ada aku di seberang sini

Pastilah cinta
Yang punya cukup daya, hasrat, kelihaian, kecerdasan, dan kebijksanaan
Untuk menghadirkan  engkau, aku, ruang, waktu
Dan menjembatani semuanya
Demi memahami dirinya sendiri

-Barangkali Cinta Selesai-