Jumat, 24 Februari 2012

When The Truth Comes Out



            “Aku pernah ciuman sama anak cewek, lho.” Ucap Anggi lima tahun yang lalu, di kelas saat Kenia dan dia masih duduk di kelas 5 SD.
                Teman-temannya langsung duduk di sekeliling bangku Anggi. “Yang benar? Dimana? Bagaimana caranya?” salah satu temannya bertanya pada Anggi.
                “Kamu bohong ah.” Ucap anak perempuan di kelasnya yang ikut duduk didekat Anggi. Dia tidak percaya pada Anggi.
                Anggi hanya tertawa. Sesaat dia terdiam. Lalu pandangannya tertuju pada gadis kecil berambut lurus sepinggang, yang dari awal kedatangannya sudah menatapnya sinis.
“Tuh!” Anggi menunjuk Kenia. “Anak cewek yang lagi nyapu itu yang pernah…” belum sempat Anggi meneruskan kalimatnya Kenia langsung pergi meninggalkan kelas. Kenia kesal. Anggi selalu meledek Kenia setiap hari.
                Kenia selalu mengingat saat-saat itu. Anak laki-laki yang sangat dia benci itu selalu mencari perhatiannya. Dan entah kenapa, sekarang ini Kenia ingin sekali bertemu dengan Anggi.
                “Aku kangen kamu Anggi…”

***

Senin, jam 8 tepat, akhirnya upacara bendera di sekolah Kenia selesai. Hampir semua siswa langsung berhamburan ke kantin dan sebagian lagi masuk ke dalam kelas. Begitu Kenia selesai membeli minuman, dan ingin kembali ke kelas tiba-tiba…
BRAAKKK! Kenia terjatuh dan botol minumannya menggelinding, jatuh ke selokan. Orang yang menabrak dia bukannya meminta maaf, malah memaki-maki dirinya.
“Eh anak kelas satu. Lo jalan pake mata dong!”
Kenia berusaha berdiri. Kaki dan pergelangan tangannya terasa sakit. “Gue jalan emang nggak pake mata, Mbak! Tapi pake kaki!” Kenia tidak terima dirinya dimaki seperti itu. Kenia masih terduduk di lantai. Anak kelas 11 yang menabraknya itu langsung pergi bergitu saja.
“Lo bisa bangun sendiri?” Seorang cowok mengulurkan tangannya untuk membantu Kenia berdiri. Senyum mengembang di bibirnya. Manis. Senyumnya manis.
Kenia menyambut uluran tangan cowok itu. “Makasih.”
“Nih. Buat lo aja. Air minum lo jatoh ke selokan.” Cowok itu memberikan botol minumnya pada Kenia dan pergi begitu saja. Dia terlihat sedang terburu-buru.

***

                Setelah mandi dan makan malam bersama Mama dan Papa, Kenia naik ke kamar untuk mengerjakan PR. Dengan bersemangat Kenia meletakkan buku-bukunya di meja belajar. Ketika hendak membuka buku, ia teringat buku harian yang dibelikan Bella untuknya. Bella adalah teman sebangkunya. Bella mengatakan bahwa ia ingin memiliki benda yang sama dengan yang Kenia miliki. “Kan kita sekarang twin, Ken. Ya, kan? Hehe.” Ucap Bella beberapa minggu lalu. Bella bilang sejak SMP dia ingin sekali bisa berjumpa dengan orang seperti Kenia.
                Kenia membuka kertas pembungkus buku itu. Lembar pertama terbuka. Kosong. Kenia ingin menulis sesuatu. Kenia manuliskan kebingungannya , tentang kata-kata yang seolah merampas jemarinya untuk menulis. Seperti dua orang anak kecil berebut boneka yang sama, ia merasa sesuatu ingin mengambil alih tubuhnya, memaksanya untuk bangun pada tengah malam buta dan menulis apa yang tidak dia inginkan. Tetapi, seperti orang kesurupan, kata-kata mengalir tanpa bisa ia bendung. Kenapa gue jadi nulis tentang cowok yang tadi pagi, ya? Gumamnya.

***

                Kulitnya bening bersemu merah seperti bayi, bibirnya merah berkilap seperti dipoles gincu, pakaiannya selalu rapi. Kenia tanpa sadar terus memperhatikan cowok itu. Kenia berdiri di depan pintu kelasnya yang berada di lantai 2 dan langsung menghadap ke lapangan basket outdoor. Cowok itu ternyata anak basket.
                Tiba-tiba tanpa sadar ada yang datang mendekati Kenia dari belakang, membisikkan sesuatu tepat 5cm dari telinga Kenia. “Namanya Aqmal Deriantoro.” Kenia pun menoleh. Ternyata itu Bella. Bella tersenyum manis. Dan ia tertawa saat bertanya pada Kenia apakah dirinya tertarik pada cowok bernama Aqmal. Kenia hanya tersenyum. Bella tahu, jawabannya pasti iya.
                “Mau gue kenalin?”
                Kenia menolak. “Nggak, deh, Bell. Lagian gue nggak…begitu pengen kenal kok.”
                “Yakin?” Bella mendekatkan wajahnya pada wajah Kenia seraya tersenyum usil. Bibirnya yang mungil itu seketika melebar. Dia tertawa.

***

                Rabu malam, 9 Februari, Jakarta sedang diguyur hujan deras. Telepon rumah Kenia berdering. Tidak ada siapapun di rumah. Kenia mengangkat telepon itu.
                “Hallo?” Suara yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Suara laki-laki. Nge-bass. Dan terdengar bersemangat.
                “Hallo. Siapa, ya?”
                “Kamu masih ingat botol susu di atas lemari yang aku simpan supaya bisa berubah jadi yogurt?”
                Kenia terdiam. Dia mengingat-ngingatnya. Percuma. Dia tetap tidak ingat. Dia juga tidak pernah merasa melakukan hal itu.
                “Kok kamu diem aja? Oh iya. Soal yogurt itu, dulu kamu kan marah banget. Kamu ngatain aku aneh. Kamu nggak inget? Lima tahun lalu juga…”
                Kenia langsung memotong pembicaraan cowok itu. “Anggi?!! Ini Anggi? Beneran Anggi? Kyaaaaaaaaaaa…” Kenia tidak pernah segembira ini. Akhirnya Anggi menghubungi dirinya.
                Anggi bercerita banyak sekali pada Kenia. Mulai dari tempat tinggal dia sekarang, darimana dia mendapatkan nomor Kenia, sekolahnya dia sekarang, semuanya. Kenia juga sama. Dia juga sempat menceritakan tentang sahabat barunya, Bella.
Anggi berjanji akan menemui Kenia di Jakarta saat liburan kenaikkan kelas nanti. Kenia masih tidak percaya kalau ternyata Anggi mencari-cari dirinya. Tapi Anggi hanya punya buku tahunan yang ia miliki saat kelulusan SD. Anggi berkali-kali mencoba menelepon Kenia, tapi tidak pernah bisa. Kenia bersyukur karena dua hari yang lalu, Mamanya menyuruh seseorang untuk membetulkan teleponnya yang rusak. Kenia tidak mengerti apa yang terjadi dengan telepon rumahnya, yang jelas tidak bisa digunakan sama sekali.
Kenia senang kalau ternyata, Anggi tidak berhenti untuk mencoba menghubunginya. Dan sekarang, mereka sudah bertukaran nomor handphone. Semuanya jadi lebih mudah.

***

                Sebagaimana hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan entah berapa banyak kemarin yang telah lewat, pukul 5.30 beker miliknya berdering. Kenia semakin semangat menyambut pagi. Dengan langkah gembira dia berjalan menuju kamar mandi seraya membawa handuk bergambar hewan kesayangannya, kucing. Tapi langkahnya terhenti ruang makan. Mamanya sudah menyiapkan nasi goreng kesukaannya untuk sarapan pagi ini.
                Selesai sarapan, Kenia masuk ke kamar mandi. Tidak perlu waktu lama untuk membersihkan diri. Setelah mandi, Kenia bersiap-siap mengenakan seragam sekolah dan semua perlengkapannya. Kenia lalu pamit pada Mamanya, dan segera berangkat ke sekolah. Hari ini dia menolak untuk berangkat bersama Bella. Dia lebih memilih diantar Papanya.
                “Selamat pagi Kenia.” Suara Bella yang khas menyapanya. Wajahnya terlihat gembira. Kenia suka sekali sapuan make-up tipis di wajah Bella. Hari ini rambutnya diberi pita ungu bergaris dengan corak bunga disekelilingnya. Kenia? Tetap tergerai tanpa riasan apapun.
                “Pagi, Bella.” Kenia menggandeng tangan sahabatnya itu. “Hari ini tumben banget lo…nggak pake mascara. Hehe.”
                “Nggak, nih. Nggak sempet. Lagian… Gue pengen kayak lo. Cantik alami tanpa make up yang nempel.”
                “Lo mah bisa aja, Bel. Tapi makasih ya.” Kenia jadi malu dipuji seperti itu. Tapi dia tidak ingin tersanjung. Cukup ucapkan terima kasih dan kubur dalam-dalam.

***

                Waktu berputar begitu cepat. Hari yang dinanti telah tiba, liburan kenaikkan kelas. Hari Minggu, 17 Juni 2011, Kenia dan Anggi berjanji akan bertemu siang ini di taman depan SD mereka. Sejak pagi Kenia tak sabar ingin bertemu dengan Anggi. Kenia selalu berharap pertemuan pertama sejak perpisahan mereka, memberikan kesan manis. Kali aja nanti kami bisa berpacaran. Hehe… gumam Kenia dalam hati. Pipinya merona. Mungkin berlebihan, tapi memang itu yang dia harapkan.
                Pagi ini juga Anggi mengatakan kalau dia sudah berada dalam bis. Kenia tidak tahu berapa lama perjalanan naik bis dari Subang ke Jakarta. Yang jelas, Kenia tetap akan menunggunya. Sayangnya, Anggi tidak ingin baterai handphonya boros, maka ia menonaktifkan handphonenya. Begitu sudah hampir sampai, ia janji akan menelepon Kenia.
                Kenia terus uring-uringan menanti telepon dari Anggi. Dia tidak tahu seperti apa wajah Anggi sekarang. Suaranya saja yang dulu lucu, sekarang berubah jadi ngebass. Pasti wajah imutnya dulu sekarang berubah menjadi wajah cowok yang keren. Tapi, seperti apapun Anggi sekarang, dia tak perduli. Anggi tetap Anggi. Anggi yang selalu mengisi hari-hari Kenia meski hanya bercengkrama lewat telepon dan SMS.
                Siang itu tiba. Masih satu jam lagi sebelum mereka berdua janjian. Tapi, Kenia yang sudah tidak sabar, akhirnya segera pergi ke tempat mereka berdua akan bertemu. Awalnya Kenia menginginkan pertemuan mereka bertempat di sebuah pusat perbelanjaan. Tapi Anggi hanya ingin bertemu di taman sekolahnya itu. Di sanalah tempat mereka main bersama lima tahun yang lalu.
                Taman yang dulu penuh rumput sekarang berubah. Sudah empat tahun dia baru mengunjungi tempat ini lagi. Pintu gerbangnya, bentuk bangunan sekolanya, semuanya berubah. Di ujung jalan tak jauh dari sekolahnya, ada jalan raya. Kenia berinisiatif menunggu Anggi disana.
                Sudah jam 2 siang. Belum terlalu lama. Anggi janji akan bertemu dengannya jam 1. Masih banyak waktu. Mungkin terjebak macet, pikirnya. Handphone Kenia berdering. Dilihatnya layar handphone miliknya, itu bukan Anggi. Itu Bella. Tapi Kenia tidak ingin berbicara pada siapapun sebelum bertemu Anggi. Telepon itu direject.
                Lelah berdiri, Kenia duduk di pot tanaman besar di pinggir jalan raya. Handphonenya terus menerus berdering. Tapi itu tetap dari Bella. Kenia mengacuhkannya. Sampai pada akhirnya Kenia benar-benar lelah menunggu. Sudah hampir jam 5 dia masih duduk di pinggir jalan. Dia mengirimi Bella SMS. Bella langsung menelepon dirinya. Bella memarahinya dan bertanya ada di mana Kenia sekarang. Bella sangat harus bertemu dengannya.
                “Jangan tarik gue, Bel!” Kenia terus menolak ajakan Bella ke rumah sakit. Bella ingin Kenia ikut bersamanya.
                “Ken, lo harus ikut. Ini penting.”
                “Lo ngajak gue ke rumah sakit tanpa ngasih tau apa alasannya. Mana mungkin gue mau ikut sama lo. Dan…”
                “Anggi Devian…” Bella langsung memotong pembicaraan Kenia. “Dia kan yang lo cari? Dia kecelakaan lalu lintas. Tadi gue nonton tv. Bis yang dinaikinnya emang nggak masuk jurang kayak beberapa waktu lalu diberitakan di tv. Tapi bis itu mental terguling beberapa kali, Ken. Awalnya gue biasa aja. Tapi begitu tau itu bis Subang-Jakarta, gue langsung punya hipotesis: Anggi ada disana. Dan gue langsung catet rumah sakit tempat semua korban dilarikan. Gue telepon kesana, dan bener. Anggi Devian…salah satu korban diantaranya.”
Bella bercerita panjang lebar. Cepat, antusias, terburu-terburu. Tapi Kenia menangkap maksudnya. Rasanya seperti menabrak dinding. Kenia mencoba untuk tetap tenang. Dia mencoba dan terus mencoba, hingga matanya berkaca-kaca.
“Bella, ayo kita kesana.” Masih dalam tangisnya, Kenia meminta Bella menemaninya menemui Anggi. Hanya Anggi yang ingin dia temui. Bella mengangguk. Dirangkulnya Kenia masuk ke dalam mobil.

***

                Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kita bertemu seseorang yang sangat berarti bagi kita, hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti bagi kita, dan… harus membiarkannya pergi.
                Kenia tidak bisa berhenti menangis sejak turun dari mobil Bella. Rambut yang sama, wajah yang sama, warna kulit yang sama. Tak ada yang berubah. Mata itu… Kenia ingin mata Anggi terbuka. Tapi tak akan mungkin. Anggi pergi. Kedua kalinya Anggi pergi meninggalkannya. Kedua kali juga, dia tidak mengucapkan salam perpisahan. Kedua kali juga Kenia tidak menyatakan perasaannya.
                Tak pernah bertemu. Tak akan lagi bertemu. Kenia sekali lagi kehilangannya. Kenia sudah benar-benar kehilangan Anggi. Kenia belum sempat mengatakan bahwa dirinya sangat ingin menjadi kekasihnya.
                Seseorang datang berbicara pada Bella. “Waktu dia dibawa kesini, dia masih sadar dan dia bilang setelah membetitahu keadaannya pada keluarganya…” suster itu merogoh-rogoh kantung seragamnya, “barang miliknya ini harus sampai ke tangan temannya yang bernama Kenia. Mbak ini… Kenia?”
                “Bukan. Kenia teman saya. Masih di dalam.”
                Suster itu menyerahkan handphone milik Anggi pada Bella. “Ini saya titip untuk Kenia, ya. Terima kasih.” Suster itu tersenyum.
                Sebelum beranjak, Bella menahan wanita muda itu. “Sus apakah… cowok yang di dalam sana berbicara sesuatu selain yang anda katakan pada saya barusan?”
                “Tidak ada. Hanya saja…dia bilang, apa yang dia bawa dan apa yang dia kenakan, semuanya… ia harap temannya yang bernama Kenia itu mau menyimpannya. Sebagai kenang-kenangan karena dia nggak yakin akan bertahan.”

***

                Singkat. Terlalu singkat. Juni berlalu begitu saja. Dipeluknya boneka pemberian Anggi. Boneka itu ada di dalam salah satu tas milik Anggi. Boneka beruang berwarna cokelat itu dia berinama Anggi.
                Diraihnya handphone miliknya dan handphone milik Anggi. Kenia bersyukur karena dia masih punya puluhan rekaman suara Anggi saat bernyanyi atau hanya voice note biasa. Semuanya itu dia dengarkan setiap harinya.
                “Selamat tanggal 24 April ya Kenia. Selamat hari lahir, panjang umur dan sehat selalu. Semoga kamu makin disayang Papa sama Mama kamu, makin rajin belajar, makin cantik, makin pinter, makin… makin-makin deh pokoknya. Dan yang paling penting… semoga aku makin ganteng. Hehe…” Kenia yang menangis langsung tersenyum mendengar rekaman suara Anggi. Dia usap air matanya, dan melanjutkan mendengarkan rekaman itu lagi. “Kenia tunggu aku ya. Aku pasti dateng nemuin kamu disana. Dua bulan lagi nggak lama kok. Pokoknya tunggu aku. Kamu jangan kemana-mana, ya. Sekali lagi, selamat ulang tahun. Aku sayang Kenia.”
                “Aku juga sayang Anggi…” gumam Kenia lirih. Dipeluknya boneka dari Anggi. “Aku… nggak akan kemana-mana, kooook.” Lalu Kenia menangis dibalik boneka itu.
                Tiga tas Anggi, baju dan celana ganti Anggi, sepatu, kaus kaki, jam tangan, ear phone, semuanya… dia simpan rapi di laci-laci lemari pakaian baru miliknya. Lemari itu sengaja dia beli untuk menyimpan semua barang milik Anggi. Dan kadang, Kenia memakai baju-baju Anggi untuk bepergian.
                Bagaimanapun rasa sedih dan kehilangan yang selalu merasuki pikirannya, Kenia mencoba tegar. Kenia adalah orang yang kuat. Ia yakin, tanpa terus menangisinya, Anggi tahu, jauh di dalam lubuk hati Kenia, masih ada namanya. Sekalipun Kenia menemukan sosok pengganti Anggi, Kenia berjanji tak akan pernah melupakan Anggi.

***

“Ken! Awas bola!” Bella berteriak dari arah kantin memperingati Kenia yang sedang duduk melamun di pinggiran lapangan basket.
                Begitu bola melayang di atas kepalanya, Kenia baru sadar dan yak. Bola itu mendarat mulus tepat di kepala. “Ahh…” Kenia mengusap-ngusap kepalanya yang kesakitan.
                “Maaf ya…” cowok bernama Aqmal itu mendekatinya. “Gue nggak sengaja. Kepala lo sakit banget?”
                Kenia tidak mengerti kenapa harus berbicara dengannya setiap dia lagi kena sial. “Kepala gue nggak apa-apa. Mungkin 5 menit lagi benjol.” Untung lapangan basket tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa siswa yang berlalu lalang disana. Malunya tidak begitu besar.
                “Hahaha… Eh iya. Gue Aqmal, kelas 11-D.” Cowok itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Lo Anggi kan?”
                Bengong. Kenia melongo karena cowok itu tahu namanya. “Lah, kok bisa tau?”
                “Adik gue suka cerita tentang lo. Setiap hari, setiap menit, setiap detik. Sampe-sampe gue yang nggak kenal lo, tau segalanya tentang lo, termasuk…”
                “Tentang kecelakaan Anggi?” tebak Kenia. Jadi selama ini…
                “Iya… Bella cerita semuanya. Semua-muanya.”
                Perkenalan itu berlanjut di kantin sekolah Kenia. Meski semua siswa sudah pulang, masih banyak juga yang nongkrong di kantin. Mereka makan siang berdua tanpa Bella. Bella sebelumnya mengirimi Kenia pesan.

            Ken, kalo kk gw gk mau nganter lo plng, blng gw.
     Gw cekek dia kalo dia udh smpe dirmh.

***

            Malam Minggu, pertengahan November, Aqmal mengajak Kenia untuk menemaninya berkumpul dengan teman-temannya. Sepulangnya itu, Kenia ingin menyatakan perasaannya pada Aqmal. Dia tidak mau menunda-nunda hal itu. Terserah saja Aqmal mau merespon bagaimana. Yang penting cowok itu tahu bagaimana dia menyukai Aqmal.
                Lagu yang diputar di mobil Aqmal udah pas banget nih. Romantis gitu. Sekarang aja apa gimana, ya? Pikirnya. Kenia jadi maju mundur ingin berbicara. Dia belum pernah sebelumnya menyatakan perasaannya.
                “Aqmal…” panggil Kenia, sebelum turun dari mobil Aqmal.
                Aqmal menoleh menatap Kenia. “Kenapa, Ken?”
                “Aku… su… Aku su… Aku…” Kenia menggaruk-garuk kepalanya.
                Tanpa menunggu Kenia selesai mengucapkan kalimatnya, Aqmal membuka multnya, “Ken aku gay.”
                “Hah?”


-When The Truth Comes Out Selesai-