Sabtu, 10 Maret 2012

She's the One

Tahun ajaran baru awal Agustus, bertepatan dengan Tasya turun dalam keadaan lapar, Rafael berlari dari teras menuju telepon rumah yang diletakkan di bawah tangga rumah. Telepon itu berdering nyaring.
"Haloo?!!" Rafa terdiam mendengar orang di seberang berbicara. Rafa terlanjur girang, karena dia pikir itu adalah telepon dari Mamanya. "Tunggu sebentar."
Baru saja Tasya membuka pintu kulkas, Rafa berteriak memanggilnya. "Kakaaaaaaak!!" Panggil anak kelas 3 SD itu.
"Dari siapa?"
"Nggak tau."
"Konyol! Lain kali ditanya dulu!" Setelah menjitak kepala adiknya, Tasya mengangkat telepon yang sebelumnya diletakkan Rafa. "Halo?"
"Natasya Karin?" Tanya orang di seberang.
"Iya benar... Ada apa, ya?"
Rafa memperhatikan kakaknya berbicara di telepon. Dia memasang telinganya baik-baik. Begitu orang di seberang berkata, "Mayat Vio telah ditemukan", mata Tasya membesar seperti ingin keluar dari tempatnya.
Tasya yang terkejut membuat adiknya juga jadi ikut terkejut. Braaakkk! Telepon dibanting begitu saja. Tasya berlari ke kamar.
"Kak, kenapa? Kak Vio kenapa? Emang dia kenapa? Dia mati, kak? Kak?" Rafa bertanya dengan begitu antusias sampai mengikuti Tasya ke atas.
"Jangan bawel!" Tasya langsung menutup pintu kamar dan menguncinya sebelum adiknya yang super bawel itu mencoba masuk.
Tasya jadi bingung mau melakukan apa. Dia senang cewek itu ditemukan. Tapi itu... itu bukan Vio. Itu mayat Vio. Pertengahan Juli saat berkemah dalam rangka acara sekolah, Vio dikabarkan hilang di tengah hutan. Dan baru saja kemarin dia ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa.
Setelah mandi dan makan ala kadarnya, Tasya berkemas pergi ke rumah Vio. Ditinggalnya Rafa sendirian di rumah.

***

Di rumah Vio, sudah ramai sekali oleh teman-teman sekolah dan para Guru. Tasya yang datang terlambat, langsung disambut ramah oleh Naya dan Andin, teman sekelas Tasya. Semua terlihat bersedih. Sama dengan Tasya. Tapi, dia tak bisa menangis lagi. Sudah terlalu banyak air mata yang keluar untuk menangisi Vio.
Terdengar desas desus yang mengabarkan kalau Vio mati bunuh diri. Tapi Tasya tidak menerimanya. "Nggak mungkin! Vio nggak sebodoh itu!" Tasya pergi meninggalkan orang-orang di dalam rumah Vio. Tasya duduk termenung di teras. Sendirian.
"Kapan, ya, gue kenal, lo, Vi?" Tasya mulai flashback. Dia mengingat-ingat awal pertemannya dengan Vio. Tasya mengenal Vio saat mereka masih kelas 10. Saat itu Vio adalah anak pindahan di kelas 10-C, sedangkan Tasya berada di kelas 10-A. Mereka baru sekelas begitu kelas 11.
Pertemuan itu baru berlangsung pertama kali ketika Tasya lupa membawa topi saat upacara pertama sebagai kelas 11. Vio juga kebetulan lupa. Akhirnya mereka berdua sama-sama dihukum setelah upacara.
Dari sana mereka mulai dekat dan duduk berdua. Kemana-mana selalu berdua. Tasya sering main ke rumah Vio, begitu pula Vio yang juga sering ke rumah Tasya. Tasya senang sekali waktu pertama kalinya ke rumah Vio. Ternyata Vio punya kakak cowok yang keren banget. Wajah Vio dan kakaknya mirip banget. Sama-sama tinggi pula. "Kakak lo gantengnya gak wajar, Vi!" Kira-kira begitulah kata Tasya dulu.
Selesai pemakaman, Tasya dan yang lain pulang ke rumah masing-masing. Siang itu, di bawah teriknya matahari, Tasya diantar pulang oleh Pak Heru, wali kelasnya.
"Apa lo beneran bunuh diri, Vi?" Tanyanya dalam hati.

***

Beberapa hari setelah kepergian Vio, Tasya masih tetap merasa kehilangan. Bagaimana pun kenyataannya, melupakan sahabat itu tidak mudah. Tasya baru sadar, Vio jarang sekali menceritakan tentang dirinya sendiri. Tasya merasa dirinya bersalah karena ternyata dia terlalu bawel karena tak membiarkan Vio menceritakan tentang dirinya.
Entah di malam kapan, Tasya bermimpi bertemu Vio. Tak hanya bertemu, mereka mengobrol. Dan itu hanya mimpi sampai akhirnya malam hari ini datang. Suara langkah kaki Vio!
Seperi mimpi. Tapi ini nyata! Tasya secepat kilat membuka pintu balkon kamarnya. Yap! Ada Vio di bawah sana sedang memperhatikan kamar Tasya dari bawah. Tasya berlari turun ke lantai bawah. Dia buka pintu depan. Berteriak di luar rumah sampai-sampai tetangga merasa terganggu. "Vio!!! Gue tau lo tadi disini!!!"
Tasya celingak-celinguk tapi tak menemukan Vio. Sejam menunggu, akhirnya Tasya memutuskan untuk kembali ke atas. Tasya harus tidur karena sebentar lagi pagi dan dia harus pergi sekolah.

***

Meskipun hanya terlelap dua jam, Tasya sudah merasa puas tidur malam ini. Dia tak sabar menunggu nanti malam. Begitu bangun dari tempat tidur, dia langsung bersiap-siap.
Di rumahnya yang hanya ada dia, Rafa, Mbak Nani yang sebagai pengasuhnya dan Pak Dul yang menjadi supir Tasya dan Rafa, membuat suasana sarapan pagi begitu ceria.
"Kakak mabok, ya?" Tanya Rafa yang sebelumnya mangap ingin melahap rotinya, menyadari perubahan kakaknya.
"Nggak, kok. Hehe..." Dengan santai Tasya memakan roti selai coklatnya. Lalu menenggak susunya yang sekali-tenggak-langsung-habis.

***

Siang ini di sekolah, Tasya begitu bersemangat. Tak seperti hari-hari sebelumnya ketika awal-awal kematian Vio.
Jam pelajaran terakhir yang paling dia benci, Matematika, dilalui dengan wajah berbunga-bunga. Bahkan ketika dia kepergok sedang melamun, guru Matematika Tasya memintanya mengerjakan soal di papan tulis. Dengan senang hati Tasya maju ke depan dan mengerjakan soal itu. Salah. Isinya salah tapi dia tak peduli. Meski guru memarahinya, Tasya malah cengengesan. "Maaf, Pak. Soalnya susah. Tapi saya kan udah berusaha. Hehe." Guru Matematika itu juga jadi terenyuh hatinya. Ah, berlebihan! Ya! Berlebihan saking semangatnya.
Pak Dul yang menjemput Rafa lebih dulu, telah sampai di depan gerbang sekolah Tasya. Tasya pun pamit pada teman-temannya. "Gue duluan ya, Din, Nay. Dadaaaahhh..."

***

Drrtt! Drrtt! Handphone Tasya bergetar. Sebelum tidur Tasya memasang alarm jam 12 malam. Dilihatnya handphone miliknya. "Ah, ini dia saatnya." Tasya membuka selimutnya. Merapikan piyamanya dan membuka pintu kamar.
Begitu keluar rumah, dia melihat Vio sedang berjalan menuju rumahnya. "Vio!" Tasya memanggilnya.
Vio terkejut karena Tasya bisa melihatnya. "Lo nggak takut sama gue?!"
"Nggak! Gue... gue malah seneng ketemu sama lo, Vi." Tasya meneteskan air matanya.
"Tasya... Gue punya permintaan. Gue kayaknya... masih ada masalah besar yang mengganjal di dunia ini. Tapi gue nggak tau itu apa. Lo mau bantu gue cari tau?"
"Iya! Pasti!"

***

Malam berikutnya datang. Kali ini Tasya lupa menyalakan alarm di handphonenya. Padahal Vio sudah menunggunya. Vio menatap kamar Tasya dari luar rumah. Vio terus berucap dalam hatinya.
"Untuk Tasya tersayang. Mungkin lo nggak bisa maafin gue yang memilih untuk mati sekarang. Sama kayak gue yang nggak bisa maafin diri gue sendiri kalo gue terus hidup. Malam terakhir di perkemahan, dua kali gue nyentuh bibir lo pas lo tidur. Pertama dengan ujung jari gue. Yang kedua dengan bibir gue. Gue... Ternyata orang yang seperti itu. Waktu itu baru pertama kali gue menyadarinya."
Jam 3 pagi Tasya membuka mata. Meloncat dari kasur begitu saja. Dia berlari turun berharap Vio ada di sana. Tapi tak ada siapa-siapa di luar. Tasya memberanikan diri berkeliling komplek rumahnya. Begitu dia sampai di jembatan ujung komplek yang dibawahnya adalah rel kereta api, dia mendapati Vio disana.
"Tasya?"
"Vio... Sorry gue ketiduran."
"Sebenernya gue tau apa yang mengganjal hati gue. Tapi gue nggak berani bilang ke lo."
"Bilang aja, Vi."
"Gue... Gue ternyata pengen lo ikut pergi sama gue." Vio tersenyum miris.
Tasya terdiam. Dia menatap Vio dengan sedih. "Nggak ada lagi cara yang bikin lo tenang, Vi?"
"Ya." Vio terlihat menangis. Air matanya bercucuran.
Tasya tak berpikir apa-apa lagi. Entah kerasukan atau apa, dia berlari ke ujung jembatan. Siap melompat.
"JANGAAAAN!!" Vio berteriak dan menjatuhkan Tasya ke aspal jembatan itu. Mereka bertatapan sesaat. Vio mencium bibir Tasya sekejap. Dan setelah itupun Vio berlari meninggalkan Tasya dan menghilang di ujung jalan.

***

Sejak malam itu, Vio tidak pernah muncul lagi. Tasya jadi memikirkan ciuman itu. Apa itu ucapan perpisahan, ya? Pikirnya.
"Kak, kok ngelamun?" Rafa mengagetkan lamunan kakaknya.
"Ih lo tuh seneng banget bikin gue kesel, ya?"
"Kak, di bawah ada tamu tuh."
Tasya pun turun ke bawah. Siapa cowok yang mencarinya pagi-pagi? Kata Rafa, cowok itu ganteng. Siapa coba? Dan...
Tasya membuka mulutnya dengan lebar dan menunjuk-nunjuk tamunya. "Aaaaah!!" Tanpa sadar pipinya merona merah.
Cowok itu menatap Tasya yang sedang menuruni tangga. Lalu dia menyapanya, "Tasya..." Cowok itu tersenyum manis. Senyuman khas Vio. Senyum yang selalu ingin Tasya lihat setiap hari.
"Kak, Vino?!"
Lewat Vino lah, akhirnya Tasya tahu penyebab kematian Vio. Vio memang mati bunuh diri. Itu karena dirinya, karena Tasya. Vio memendam perasaan pada Tasya sejak pertama dia pindah sekolah. Tasya melongo sejadi-jadinya. Baru kali ini ada cewek yang sangat menyayanginya bukan sebagai sahabat.
Dalam hati Tasya berkata, "Sekalipun lo bilang lo sayang ke gue, gue nggak akan benci lo, Vi. Lesbian emang nggak bagus, tapi memilih mati juga salah. Jalan yang lo pilih salah! Salah banget! Tapi apapun yang terjadi sekarang, gue seneng pernah kenal sama lo dan pernah masuk dalam cerita tentang lo. Lo satu-satunya sahabat yang nggak akan gue lupain seumur hidup gue. Gue janji."

-She's the One Selesai-