Sabtu, 10 Maret 2012

Another Vero

Sandy, cowok berambut lurus pendek berponi dan bermata sipit itu, menatap malas ke papan nama sekolah barunya. Hari pertama MOS. Waktu SMP, Sandy tidak ikut acara macam begini.
BRUKK!!! Seorang cewek yang rambutnya dikuncir dua kanan kiri, tak sengaja menabraknya. Sama seperti Sandy. Cewek ini memakai atribut yang serba oranye.
"Heh! Elo ngalangin jalan tau, nggak?"
Cewek ini cantik. Tapi kelihatannya tomboy. "Sorry. Eh, lo kelompok jeruk, ya?" Tanya Sandy.
Cewek berkulit putih itu memonyongkan bibirnya. "Nggak. Strawberry. Ya jeruk, lah!" Cewek itu sepertinya sedang terburu-buru. Dia berlari begitu saja meninggalkan Sandy.
Sandy baru sekali ini bertemu cewek judes yang lucu kayak dia. Sepertinya orangnya galak. Tapi lucu. Mungkin bisa diajak berteman, pikirnya.

***

Upacara pembukaan MOS pun berlangsung. Sandy mulai mendapatkan teman-teman barunya. Saat berbaris, para senior memeriksa atribut yang dipakai peserta MOS. Mulai dari topi sihir, tas kresek, tali sepatu, nametag dan atribut tak penting lainnya yang warnanya sudah ditentukan sesuai kelompok.
"Yang nggak lengkap, silahkan maju ke depan!" Kata senior yang memegang toak di depan barisan kelompok jeruk. Beberapa peserta yang atributnya tidak lengkap dari berbagai barisan, sudah berdiri di depan.
"Ahelah..." Terdengar suara cewek yang ogah-ogahan diseret senior.
Sandy menoleh ke belakang. Seketika dia tertawa kecil. Cewek yang tadi menabraknya itu ternyata benar-benar asal memakai atributnya. Apalagi ketika melihat nametagnya. Meski dari jauh dan tak terlihat namanya, Sandy tahu, cewek itu menempelkan 3 foto berukuran 4x6 di nametagnya.

***

Kelas begitu sepi saat peserta MOS dikerjai para senior. Tidak cowok, tidak cewek. Semua mendapat perlakuan sama. Disuruh menyanyi, joget-joget dan lainnya. Tanpa disadari, Sandy terus memperhatikan gerakan-gerakan cewek tadi di kelas. Cewek itu duduk tepat di depannya.
"Ya... Untuk acara hari ini, selesai dulu. Besok kita berkumpul lagi disini. Jangan ada yang telat ya, adik-adik! Atributnya juga jangan lupa, ya!"
Meski pelan, Sandy bisa mendengar cewek di depannya ngedumel. "Cih! Bossy banget!"

***

Selama 3 hari MOS, peserta dilarang membawa kendaraan pribadi, alat komunikasi berupa handphone, dan jam tangan. Akhirnya, Sandy minta agar supirnya menunggu sejam lebih awal sesuai jadwal yang diberikan padanya saat pra-MOS sabtu lalu.
Baru saja Sandy ingin naik ke mobilnya, dia melihat cewek unik tadi. Cewek itu berdiri di depan gerbang sekolah sendirian. Mungkin dia sedang menunggu seseorang untuk menjemputnya.
"Hei..." Sandy menyapanya. "Lo kok masih disini?"
Cewek itu menoleh. Dia terlihat kelelahan. "Gue lagi nunggu supir. Eh nama lo siapa?" Cewek itu kali ini tidak terlihat galak seperti tadi pagi. Atributnya juga sudah disimpannya. Sekarang lebih terlihat... cantik.
Sandy mengulurkan tangannya. "Gue Sandy. Sandy Monroe. Lo?"
"Vero..."
Sandy melepaskan tangannya begitu mendengar jawaban cewek itu. "Apa?" Kaget. Terkejut.
"Vero! Gue Vero. Veronica." Vero malah melongo. Apa namanya aneh? Kayaknya biasa aja, deh, pikirnya. "Kenapa?"
"Nggak. Nggak apa-apa." Sandy menatapnya sejenak. "Oh iya, gue duluan, ya?"
Saat Sandy meninggalkannya, tinggal Vero yang terbengong-bengong. "Dasar aneh..."

***

Pukul delapan malam, Sandy berjalan gontai masuk ke kamarnya. Kakaknya, Billy yang baru pulang ke rumah langsung mencegatnya.
"Sandy! Lo kenapa?"
Sandy menatap kakaknya dengan mata yang sayu. "Nggak apa-apa." Sandy pun menutup pintu kamarnya.
Dia raih dompet kulitnya. Dilihatnya foto dirinya dan foto cewek berambut bob dan bermata sipit itu. Tak bicara apa-apa lagi. Dia meletakkan kembali dompet itu di atas meja belajarnya. Lalu beranjak untuk tidur.

***

Hari kedua MOS, berjalan begitu cepat karena diisi dengan games sepanjang hari. Sedangkan hari ketiga, MOS terasa begitu lama. Lama di acara pertunjukkan semua ekskul. Sandy sudah pasti akan memilih basket.
"Kak, saya mau daftar." Sandy pun meminta formulir pendaftaran di ruangan ekskul basket.
Tak lama pun Vero datang. Dia berdiri tepat di samping Sandy. "Saya juga, kak." Kemudian dia menoleh ke arah Sandy. Vero tersenyum meski Sandy diam menatapnya tanpa ekspresi. Vero cuek saja.
Setelah menerima formulir itu, Sandy beranjak pergi. Diikuti oleh Vero. Hari ini Vero agak berbeda. Dan lebih wangi dari kemarin.
"Dek!! Adek!! Woy oren!" Tiba-tiba Vero dan Sandy merasa terpanggil. Tapi Sandy berjalan terus tanpa memperdulikan panggilan senior yang anak basket itu. Sedangkan dengan malas-malasan, Vero kembali ke ruangan itu.

***

Langit sudah berubah menjadi oranye ketika Sandy sampai di rumah. Mamanya sudah tiba lebih dulu. Rumah Sandy bisa dikategorikan rumah mewah, rumah khas seorang Bapak DPR. Ya, Papa Sandy memang kerja seperti itu. Belum lagi Mamanya yang sibuk di bisnis designnya. Keduanya jarang memperhatikan Sandy dan kakaknya, Billy.
"Tumben, Ma, udah sampe duluan?"
"Iya nih, sayang. Tapi Mama mau pergi lagi sekarang."
Sandy melihat model rambut Mamanya. Pantesan, sanggulnya tinggi, jambulnya kebentuk gitu, nggak mungkin nggak pergi, pikirnya. "Ya, Ma..." Tanpa memberi salam atau apapun, Sandy langsung naik ke kamarnya. Sudah ada Billy di ruang tengah lantai 2.
Billy yang sedang main PS, bertanya pada Sandy, "San, lo tadi pulang sekolah kemana dulu?"
Sandy menghentikan langkahnya menuju kamar. "Gue nganter temen gue pulang sebentar. Kenapa?" Sandy menaikkan sebelah alisnya.
Billy melempar dompet kulit milik Sandy. "Tuh!" Sandy langsung menangkapnya.
"Lho? Kok bisa ada di lo?" Sandy jadi kebingungan.
"Dompet lo jatoh di sekolah! Tadi ada cewek kesini, nganterin itu dompet. Bilang makasih, sana!"
"Eh? Siapa?"
Nama yang tidak asing di telinga Billy. Billy langsung hafal begitu cewek pengantar dompet itu mengatakan namanya. "Namanya Vero!"

***

Sudah seminggu setelah kejadian dompet itu. Tapi Sandy belum pernah mengatakan terima kasih pada Vero. Bahkan hanya untuk mengobrol pun, benar-benar ala kadarnya. Sekedar pinjam properti atau menertawai Vero yang tingkahnya suka aneh-aneh dan memancing tawa.
Selama seminggu ini pula, Sandy terus memperhatikan gerak-gerik Vero yang duduk di depannya. Vero cantik dan sedikit kelihatan indo, berkulit putih bersih, berambut panjang lurus hitam berkilau, matanya bulat dan coklat. Alis Vero tebal, manis. Giginya juga lucu, seperti gigi kelinci. Bibir tipisnya selalu lucu ketika Vero memonyongkan bibirnya. Atau ketika cewek itu nyengir, lesung pipinya pasti kelihatan sekali.
"Heh! Lo ngeliatin gue, ya?" Tanya Vero yang mirip bentakkan pada Sandy saat suasana kelas sedang sepi. Membuat anak-anak sekelas jadi kaget karena serius mencatat.
Sandy langsung gelagapan. "Ih, nggak lah. Lagian gue liat ke papan tulis kali. GR!!" Jadi malu dirinya ketahuan melirik-lirik Vero.
Saat Vero sudah konsentrasi menulis kembali, Sandy memperhatikan lagi gerak-geriknya cewek itu. Judes, galak, tidak terlihat manja atau cengeng. Vero benar-benar berbeda.
"Nah, kan!" Vero menoleh ke belakang tiba-tiba. Membuat kaget Sandy dan teman-temannya di kelas.
"Eh sumpah ya! Elo ngagetin tau, nggak?!"
"Siapa suruh ngeliatin gue!"
"Gue nggak ngeliatin elo, Ver!"
"Nggak! Lo bo..." Belum selesai dengan kata-katanya, Helen sang ketua kelas memotongnya.
"VEROOOO!!!" Teriak Helen. "Berisiknya nanti aja, pas istirahat. Kalo berisik, Pak Andri masuk!"
"Bodo..." Vero malah menjulurkan lidah dan menjulingkan matanya pada Helen. "Wleeee..."
Tingkah Vero benar-benar membuat Sandy ingin tertawa. Wajah Vero yang lucu itu, membuat perutnya sakit.

***

Bel sekolah berbunyi pukul 3 sore. Hari ini Sandy membawa motor Thunder 125 biru miliknya. Begitu Sandy sedang memakai masker Tazmania miliknya di parkiran motor, Sandy bertemu lagi dengan Vero. Ternyata Vero bawa motor juga. Dan dia udah ganti celana sebelumnya. Cewek itu bawa Satria.
"Keren amat itu cewek." Ucap Sandy tanpa sadar. Entah karena suara Sandy terdengar oleh Vero, atau Vero yang ke-GR-an, Vero menatapnya sinis di balik helm berwarna merahnya. Lalu dia melesat pergi.

***

Dalam perjalanan pulang, Sandy dicegat dua berandalan yang seperti orang mabuk. Sandy benar-benar ketakutan. Ini pertama kalinya dia dipalak preman. Padahal itu jalan besar, tapi lagi sepi-sepinya. Tak ada orang yang lewat sana.
Dengan tubuh yang gemetaran, Sandy memberikan orang-orang itu dompetnya. Tapi belum sampai tersentuh, suara bising motor terdengar dari kejauhan berhenti tepat di samping motor Sandy. Satria! Helm itu terbuka. Benar dugaannya, itu Vero.
"Berhenti lo semua!!" Bentak cewek itu.
Dua berandalan itu malah ketawa terbahak-bahak. "Waduh... Mau apa non? Haha..."
"Karena gue nggak suka basa-basi. Jadi..." BUGGGHH!!! Tonjokkan Vero pun melayang. Satu diantaranya sudah jatuh terjengkang. Bibir berandalan itu berdarah dan terlihat giginya copot. Vero menatap satu berandal lainnya. "Lo mau gue hajar juga? Mau hah??!"
Akhirnya dua berandalan itu pergi dari Sandy dan Vero. Sandy yang sepertinya masih gemetaran. Vero pun menatap Sandy bingung.
Sandy membuka suaranya, "Gila! Lo, kok, berani banget, sih?"
"Hahaha... Lo kocak, deh! Lo tuh cowok, woy! Tapi cemen!" Vero pun langsung memakai helmnya yang sempat dilepasnya. "Udah, ya, gue duluan! Hati-hati lo ntar dipalak lagi!"

***

Malam minggu kedua sejak Sandy resmi menjadi siswa SMU, pertama kalinya Sandy mengajak seorang cewek makan malam bersamanya. "Inget, ya, lo gue ajak makan sebagai ucapan terima kasih! Nggak lebih!" Kurang lebih begitu kata Sandy pada Vero Sabtu pagi ini lewat telepon.
Dalam hati, Sandy menaruh harapan pada Vero. Sejak pertemuannya pertama kali di depan gerbang sebelum MOS, Sandy sudah tahu, dialah orangnya. Tinggal berpikir bagaimana caranya menyukai Vero. Saat ini, Sandy merasa cukup tertarik pada Vero.
Sandy sudah sampai di depan rumah Vero pukul 7 malam. Tapi Vero belum siap sama sekali. Bukannya cepat-cepat, malah cengengesan sengaja membiarkan Sandy menunggu lama di ruang tamu.
"Hei, gue udah rapi." Kata Vero yang tiba-tiba mengagetkan lamunan Sandy. Vero memakai tanktop warna putih polos, dan membawa jaket kulitnya yang berwarna coklat. "Lo kok bengong?"
"Nggak. Gue heran aja. Rumah lo gede banget, tapi dari tadi gue celingak-celinguk nggak ada siapa-siapa. Lo sendirian?"
"Pembantu gue lagi belanja kebutuhan dapur bulanan, supir gue dua-duanya nganter bokap sama nyokap kerja ke luar kota. Dan gue anak tunggal. Gue sendiri."
"Oh..."
"Lo juga suka sendirian, kan?"
"Lo tau?"
"Waktu gue nganter dompet, gue liat kayaknya kakak lo lagi sendirian gitu."

***

Karena Sandy yang mentraktir, jadi Vero menurut saja ketika Sandy mengajaknya makan di Bonchon Chicken, Grand Indonesia. Bonchon ini merupakan fast food dari Korea. Biarpun judulnya fast food tetap saja kalau kita pesan makanannya ditunggu dulu selama 15-20 menit.
"Lo..."
Seakan sudah tahu Sandy mau bertanya apa, Vero langsung nyerocos, "Gue mau Chicken Salad medium, French Fries, Mochi Ice Cream sama Lemon Tea yang medium!"
"Baik Tuan Putri yang terhormat..." Sandy tak menyangka cewek yang diajaknya makan malam ini begitu rakus. Tapi badannya kurus banget. Setelah memesan pada pelayan, mereka berdua pun duduk diam menunggu. "Eh elo! Mulut lo ngapain megap-megap gitu? Kayak ikan mas koki tau!"
"Ih gue kan iseng! Abis gue bete! Ajak gue ngobrol kek, gitu. Biar gue berasa jadi manusia disini!"
"Haha... Emang dari tadi lo ngerasa kayak apa?"
"Alien!!!"
Tawa Sandy pun pecah. Dia tertawa geli sampai-sampai kedua matanya yang sipit itu tidak terlihat lagi. Benar-benar lucu si Vero ini, pikirnya.
"Ini Mas, pesanannya..." Mbak-Mbak pelayan ini akhirnya datang juga. Setelah meletakkan semua pesanan, pelayan ini dan temannya yang membantu membawa pesanan, pergi meninggalkan Sandy dan Vero.
Vero melahap semua makannya seakan belum makan sebulan. "Eh iya, mestinya tadi mesen nasi juga, San!"
"Mau gue pesenin lagi?"
"Nggak! Udah cukup. Haha."

***

Bisik-bisik dan tatapan tidak suka, begitu terasa ketika Vero dan Sandy melintasi kantin. Siang itu mereka berdua baru selesai latihan basket. Vero yang merasa dirinya diperhatikan, menatap balik orang-orang yang menatapnya. "Liat apa?!" Vero yang terkenal punya hobi jotosin anak orang itu, ditakuti satu sekolah sampai akhirnya dia duduk di kelas 2. Mereka berdua sekelas lagi, bersama dengan Helen, dan separuh anak di kelas sebelumnya.
"Emang gue kenapa, sih, San? Gue aneh? Gue jelek banget, ya, emang?" Tanyanya pada Sandy yang sedang mengunyah baksonya. "Gue kayak anak idiot tau diliatin gitu..."
"Mereka iri lagi sama lo."
"Iri gimana?"
"Lo budek apa gimana, sih? Mereka tuh bilang gini, 'Kak Vero cantik-cantik galak, ya? Tapi punya cowok macem Kak Sandy. Envy, deh'. Gitu, Ver."
"Cowok? Pacar maksudnya? Haha."
"Eh! Jangan GR dulu. Itu kan hipotesis mereka aja, Ver."
Sejak makan malam di Bonchon Chichen yang hampir setahun lalu itu, Sandy dan Vero semakin dekat. Vero sebenarnya diam-diam mulai tertarik pada Sandy, dan membuatnya jadi berharap lebih dari sekedar teman.
"Kalo misalnya nggak cuma hipotesis gimana?" Vero sengaja berbicara seperti ini untuk memancing-mancing Sandy.
Sandy menaikkan alis kanannya. "Maksudnya?"
"Nggak. Nggak tau. Gue lupa. Haha... Gue lupa bene..."
"Lo mau nggak jadi cewek gue?"
"Ap-apaan?"
"Nggak jadi, deh."
"Ah, Sandy, coba ulang..."
"Nggak! Gue bercanda, kok."
Jleb! Hatinya seperti tertusuk jarum, Vero menahan rasa sesak. Ternyata yang barusan itu cuma bercanda. Jelas-jelas Vero menunggu Sandy mengatakan itu sejak masih kelas 1.
Sandy menatap mata Vero. Vero membalas tatapan itu dengan menjulingkan matanya sesaat. Membuat Sandy tersenyum lagi.
"Syukur deh. Gue pikir lo nangis."
"Nangis? Nggak! Gue belum gila! Lagian nangis kenapa coba?"
Benar-benar Vero ini. Sandy pikir kini Vero sedang sedih karena baru saja dia membuat Vero terlanjur senang. "Oh iya, Ver." Sandy mengambil dompet yang dia taruh di kantong celana olahraganya.
"Lo mau ngasih gue duit?" Vero menatap dompet milik Sandy.
"Nggaklah. Ngapain juga. Lo kan udah kaya." Sandy mengambil sebuah foto dari dompetnya. "Nih. Liat deh."
Foto gaya 'jelek' dengan mata juling dan bibir ala serangan stroke, cewek cantik yang seperti chinese ini pasti lucu. Seketika Vero merasa dadanya sesak. "Cewek lo?"
"Mantan."
Terasa lega mendengarnya. "Dia masih SMP?"
"Itu foto lama. Waktu gue kelas 2 SMP, dia kelas 1 SMA."
"Oh... Kalian masih suka berhubungan?"
"Udah meninggal. Dan lo tau siapa namanya?"
Vero berhenti mengaduk-ngaduk kuah baksonya dan diam sesaat. "Siapa?"
"Vero. Veronica. Sama kayak lo."
"Ooh..."
"Lo nggak kaget?"
"Kaget, sih." Vero memandang wajah Sandy sebentar, lalu memasukkan handphone yang digenggamnya ke dalam saku baju putihnya dan berdiri dari bangku kantin.
"Lo mau kemana?"
"Kelas! Oh iya, Vero lo sama gue itu beda. Udah yaa..."
Sandy tidak mencegatnya. Dia membiarkan Vero meninggalkannya sendiri. Sandy tahu, Vero suka padanya. Tapi dia juga belum bisa benar-benar menyukai Vero secara 'lebih'. Bayangan Vero yang lain, masih terus mengganggu pikirannya.
Tapi lalu Sandy menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti orang linglung, dia mengambil handphone dalam saku celananya, mencari kontak Vero, lalu menekan tombol Call.
"Apaan?" Tanyanya galak.
"Hehe... Nggak, Ver. Eh nanti malem gue boleh main, nggak, ke rumah lo?"
"Yaaaaa..." Orang diseberang seperti sedang menimbang-nimbang keputusan. "Boleh, sih, tapi lo bawain gue martabak, ya?"
“Oke... Hehe... Eh lo lagi ngapain?"
"Sandy, please, ini gue lagi di kelas dan lo di kantin. Kebanyakan pulsa, ya?"
"Nggak. Eh ini gue udah sampe di depan lo."
Vero mengangkat kepalanya. Sandy sudah berdiri di depan meja paling depan dekat pintu, tempat duduk Vero. Seperti anak hilang. Berdiri diam di dekat pintu memandagi Vero yang sedang meminum es teh manis di plastik.
"Ish!" Vero memandang Sandy dengan sinis. "Jangan kayak anak tolol deh, lo! Lo aus emang? Bilang kalo aus! Ntar gue bagi es gue, deh!"
Tiba-tiba si mulut ember, Helen, masuk ke dalam kelas. Berteriak-teriak. "Eh dikit lagi ada yang mau jadian lhooo..! Sik asik sik asik~ kenal dirimu~ sik asik sik asik dekat denganmu~" Kemudian dia berjoget-joget menirukan gaya komedian Sule. Kecantikannya dijamin hilang 50 persen.
"Helen gila! Lo ngeledek gue?"
"Nggak kok." Tandas Helen sambil menjulingkan matanya mempraktekan karakteristik seorang Vero. "Wleeee..."
Sandy yang masih berdiri di depan ikut bersuara. "Helen nggak gila, Ver. Emang dia bener."
"Bener apanya?"
"Lo sama gue... Eh, maksudnya... ngg..." Sandy mendadak salah tingkah. "Eh tiga hari lagi kan tanggal 21 Februari 2012. Tanggal cantik, tuh. Lo mau gak gue tembak tanggal segitu?"
Pluk!! Vero melempar es batu bulat berdiamter 6 cm ke dada Sandy, sambil tersenyum malu. "Dasar gila!" Lalu dia berjalan keluar kelas. Berlari sambil tertawa-tawa dan memegangi mulutnya.
Sandy berlari mengejar Vero. Dia menarik tangan cewek itu dan memandanginya. Tak peduli dengan orang-orang yang sedang berlalu-lalang, Sandy berkata, "Vero. Lo emang beda sama Vero-nya gue yang dulu. Vero yang dulu anaknya pendiem, cengeng dan cantik. Sedangkan lo, petakilan, jagoan, tomboy... Makanya..."
"Nggak bisa to the point aja?"
Mampus, kan, gue! Gumam Sandy. "Hmm... Lo mau... Pacaran sama gue nggak?"
Orang-orang yang lihat langsung berkomentar. "Cieeeee!"-"Terima aja terimaaaa!"-"Akhirnya Vero jadian juga sama Sandy!"-"So sweet, deh!" dan komentar seputar itu.
Tanpa babibu, Vero langsung berkata, "Jawabannya tanggal 21, ya!" Sambil menutupi mukanya yang merah karena malu dengan menunduk, Vero berjalan masuk lagi ke dalam kelas, diikuti dengan Sandy di belakangnya.
Saat pelajaran Biologi, Sandy menulis sesuatu di kertas. Lalu dia mencolek-colek pundak Vero dari belakang.
Vero pun menoleh ke belakang. "Apan sih towel-towel!?"
"Nih. Baca ya..."
Vero pun membuka kertas itu. Tulisan Sandy begitu rapi. Disana tertulis...
"Gue suka lo sebagai Vero yang bener-bener Vero. Bukan Vero yang anggun tapi Vero yang tomboy. Bukan sebagai Vero yang cengeng tapi sebagai Vero yang jagoan. Gue suka lo sebagai Veronica Inggrit, bukan Veronica Christie-nya gue yang udah nggak ada. Ver, lo mau janji kan sama gue bakalan terima gue tanggal 21 nanti?"
Vero pun menulis sesuatu di kertas yang dia sobek. Menuliskan sesuatu dengan tulisan yang bisa membuat seseorang yang membacanya mendadak katarak. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang rapi, dan ada yang seperti cakar ayam.
Tukkkkk!!! Kertas balasan Vero yang diremukin hingga berbetuk bola salju itu mendarat di dahi Sandy. Isinya benar-benar membuat sakit mata, tapi Sandy merasa bahagia.
"Gue juga suka lo! Gue janji. Sekali lagi lo banyak cingcong, lo bakalan gue tonjok! Dan kalo mau nembak, jangan pake kata suka, tapi SAYANG! Gue maunya lo bilang 'gue sayang lo!' Gitu."
Karena takut kelas ribut, Sandy memanggil Vero dengan bisik-bisik sambil mencolek pundaknya lagi. "Ver..."
Vero pun menoleh sambil memonyongkan bibirnya. "Gue udah bilang jangan towel-towel! Lo mau ap..."
"Gue sayang sama lo."




-Another Vero Selesai-