Sabtu, 10 Maret 2012

Sand Tiara

Sand Tiara (Diangkat dari sebuah komik Jepang dengan judul yang sama)

"Ibunda, kapan kita sampai di Eden?" Kataku seraya memainkan pedang baruku.
"Tiara! Kau ini seorang putri, jangan bermain dengan pedang!"
"Habis aku kan bosan!" Kataku lagi.
Ibunda merebut pedang itu dari tanganku, lalu dia berkata, "Kita masih lama sampai Eden."
Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Tiara. Aku bersama keluargaku berasal dari kota Sauru. Sauru sudah tertimbun pasir. Kami akan mencari kota lain. Tujuan kami adalah kota Eden, sangat jauh dari tempat kami berasal.
Aku merasa ngantuk sekali. Aku pun mulai membaringkan tubuh lalu membayangkan sesuatu. "Moga-moga ada cowok ganteng disana. Nggak usah muluk-muluk. Asalkan cakep, gagah, baik, pintar dan jangkung, aku sudah puas." Kataku yang tidak menyadari ayahanda ada di dekatku.
"Wah, Tiara sudah remaja, ya." Laki-laki tua itu tersenyum mendengar perkataanku. Ah, aku jadi malu perkataanku didengar ayah. "Kita sudah sampai di tempat beristirahat, nih."
Karena perjalanan sangat jauh, kami beberapa kali berhenti untuk istirahat. Tempat istirahat kali ini indah sekali. Oasis ini entah seberapa luasnya. Aku pun berjalan-jalan melihat sekeliling. Saat aku ingin mencuci muka di danau, aku melihat seorang anak kecil yang tenggelam. Aku pun langsung menolongnya.
"Tenang, kau sudah selamat. Kau anak kota Saura, kan? Siapa namamu?" Tanyaku pada anak itu.
"Eda... Ah, baju tuan putri jadi basah begini..." Jawabnya. Ah, anak ini lucu sekali. Aku jadi merasa ingin punya adik.
"Biar saja. Yang penting kan kamu selamat." Kataku sambil tersenyum.
Saat aku sedang merapikan bajuku, seorang laki-laki berkulit hitam muncul. Dia menusuk Eda dari belakang dengan pedangku yang tidak sengaja aku letakkan di sisi danau. "Edaaa!!!?" Aku sangat kaget. Kejam sekali laki-laki ini. Pedangku penuh darah, darah Eda. Eda sudah tidak bernyawa.
Aku ingin berteriak. Tetapi laki-laki itu seketika mendekapku. Dia melakukan hal yang sama sekali tidak aku inginkan. "Aku mohon. Jangan..." Kataku sambil menangis. Aku sudah memintanya untuk tidak menyentuhku. Tapi percuma. Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya bisa diam dan menangis.
"Ketua, kita sudah ambil semua barang berharga." Teriak seseorang pada laki-laki biadap ini. "Hari ini kita bawa banyak barang bagus ke Pauro."
Laki-laki kurang ajar ini lalu menarik kalung yang kupakai. "Yang ini juga harus kuambil. Terserah kalau kau mau mati bunuh diri mengkuti teman-temanmu." Lalu laki-laki itu pergi meninggalkanku begitu saja.
Begitu aku kembali ke peristirahatan sambil menggendong Eda, semua rakyat Sauru sudah mati, termasuk kedua orangtuaku. "Aaaaaaarrrgghhh!" Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku menangis. Aku tidak tahan melihat ini semua. Kejam! Apa yang mereka lakukan pada kami?!
Aku tak akan pernah memaafkan laki-laki itu. Dia telah membantai seluruh anggota keluargaku. "Aku harus menumbangkannya." Kataku sambil memotong rambut panjangku hingga seperti laki-laki dengan pedangku. Agar bisa mencapai tujuan itu, aku harus membuang kodratku sebagai wanita!
Tidak lama setelah itu, ada laki-laki berkulit gelap berkacamata yang menutup semua tubuhnya dengan jubah. Mirip laki-laki kejam tadi. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Aku berlari menuju laki-laki itu dan siap dengan pedangku. Hiaaaaaaattt!
Trangg! Laki-laki itu memiliki alat canggih di tangannya. Seperti pedang yang dibuat sedemikian rupa menjadi pelindung berbentuk kuku panjang. Aku dan pedangku terlempar. Aku jatuh terduduk.
Laki-laki itu membuka jubahnya. "Aku tidak tahu kau dari suku mana. Tapi sepertinya kau rakyat jelata." Kata laki-laki itu. Dia bukan orang yang tadi.
"Ah bukan..." Kataku yang masih tersungkur. "Bukan laki-laki yang tadi.
"Laki-laki yang mana, sih?" Tanya laki-laki itu sambil berjongkok di hadapanku. Wajahnya yang terlihat polos menatapku bingung.
Brukkk! Aku pun pingsan setelah itu karena kelelahan.
"Bu, dia malah ketiduran." Laki-laki itu berkata pada ibunya.
Ibu itu langsung mendekat. "Bukan! Dia pingsan!"

***

Bintang bermunculuan. Malam terasa sangat dingin begitu aku membuka mataku. Saat ini aku harus meminta maaf pada mereka.
"Maaf... Aku salah orang." Kataku malam pada laki-laki siang tadi bersama ibunya.
Ibu laki-laki itu menjawab, "Tidak apa-apa. Putraku memang sering disangka penjahat."
"Ibu kok menjelekkan anak sendiri?" Anak itu protes.
Laki-laki itu dan ibunya ternyata sedang dalam perjalanan menuju Eden. Tempat yang juga aku ingin kunjungi. Tapi aku harus ke Pauro lebih dulu. Kami bercerita tentang diri kami masing-masing.
"Kau mau mengalahkan musuh kuat, ya? Kenalkan aku Yuuza." Laki-laki bernama Yuuza itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. "Lebih baik kalau kita ke Pauro sama-sama. Ya kan?"
Ya sudah kalau begitu. Mungkin mereka ini memang baik. "Terima kasih. Hehe." Kataku sambul menyentuh tangan Yuuza dengan telunjuk kananku. Aku tak ingin bersalaman. Yuuza pun menatapku bingung. Tapi ia hanya tertawa.
"Siapa namamu, nak?" Tanya Ibu Yuuza padaku
"Namaku Ti.. Till... Aku Till dari Sauru." Aku akan mempercayai mereka sementara waktu. Begitu aku menoleh, Yuuza sudah membuka semua pakaiannya. Dia telanjang. Ah, bukan telanjang. Dia masih memakai celana pendeknya.
"Kenapa?" Tanya Yuuza membuyarkan lamunanku. "Kita tidur bareng."
Dia pasti bercanda. Aku langsung berkeringat. "Be... Begini... Di sukuku, sesama laki-laki nggak boleh saling bersentuhan..."
"Seperti ini?" Dia langsung mendekapku.
"Kyaaaaaaa!" Aku memukul kepalanya dengan tanganku.
Kalau sampai mereka sampai tahu aku perempuan, bisa gawat nanti. Lagipula, aku tak ingin disentuh lagi oleh laki-laki. Aku yakin, Yuuza tak berbeda dengan laki-laki waktu itu. Aku harus waspada.

***

Setelah sudah beberapa hari bersama Yuuza dan Bibi Hauna, aku merasa semakin bersemangat dalam mencari musuhku. Yuuza... Seandainya aku lebih dulu bertemu denganmu, sebelum bertemu lelaki bercodet itu.
Begitu sampai Pauro, aku berterima kasih pada mereka. Tapi Yuuza ingin menemaniku. Entah mengapa, aku merasa ada yang berbeda padanya. Aku dan Yuuza pun pergi. Bibi Hauna berpisah dengan kami. Dia akan menunggu kami sampai kami kembali.
"Hei, Till. Tunggu." Yuuza memanggil-manggil aku yang sudah berlari duluan. Dia langsung menarik tanganku.
Aku berusaha melepaskan tangannya. "Lepaskan..!" Tapi tenaga Yuuza begitu kuat.
"Kau disini saja. Awasi keadaan. Biar aku yang maju."
"Kau ini bicara apa? Lepaskan..." Pintaku sambil terus mencoba melepaskan tangan Yuuza. Tiba-tiba Yuuza mencium bibirku dengan lembut. "Apa yang....."
Yuuza langsung memotong kata-kataku, "Jangan paksakan dirimu! Kau ini seorang perempuan. Biar aku yang kalahkan musuh itu untukmu."
Aku kaget sekali karena ternyata Yuuza sudah tahu aku ini perempuan. Aku juga tak menyangka Yuuza akan berbuat dan mengatakan itu barusan. Aku ingin menangis rasanya. Mataku sudah berkaca-kaca.
"Aku mengerti kau sangat dendam pada musuhmu..."
"Ternyata kau sudah tahu, Yuuza... Tapi aku sudah melepas takdirku sebagai perempuan!" Kataku seraya membuang muka. Aku malu. Aku tak sanggup menatap matanya.
Yuuza meneriaki aku, "Apa kau ingin melepas nyawamu juga?! Aku tak akan membiarkanmu mati. Biar aku yang mengalahkan musuh itu untukmu. Kau tunggu disini saja. Mengerti?" Tanyanya sambil memelukku.
"Hei, hei!" Tiba-tiba seorang pria berkulit hitam duduk tak jauh dari kami, membuat kamu kaget. "Bikin keributan dan bermesraan di kediaman orang. Anak muda jaman sekarang memang tak tahu sopan santun."
Ah, dia orangnya! Dia laki-laki kurang ajar waktu itu... Akan ku hajar dia sekarang juga!
"Siapa kau, berani sekali menghunus pedang di depanku?" Tanya laki-laki bercodet itu dengan gaya santainya.
Sudah tak dapat berkata apa-apa. Aku begitu terbakar emosi. "Aku Tiara dari suku Sauru, datang untuk membalas dendam!!!"
"Oh Putri Sauru... Pantas rasanya aku pernah melihatmu. Kenapa? Kau datang untuk minta kudekap lagi? Aku tak pernah melupakanmu. Kaulah gadis suku Sauru pertama yang kusentuh."
Aku tertunduk malu. Yuuza langsung menoleh padaku. Tatapan matanya seakan mengisyaratkan tanda tanya. Aku tak sanggup membalas tatapan itu.
Yuuza terlihat marah sekali. "Biadap!!!" Yuuza pun berlari menyerang laki-laki itu. Aku juga harus membantunya. Tapi sayang. Lantai yang kupijak seketika terbuka dan menjatuhkanku.

***

Gelap... Aku tak bisa melihat apa-apa. Yuuza tahu apa yang terjadi pada diriku. Padahal dia adalah orang terakhir yang kuinginkan untuk mengetahuinya. Lebih baik aku mati saja! Tapi... Aku tak boleh mati sekarang. Aku harus mencari Yuuza. Aku harus mengalahkan musuhku!
Begitu aku berjalan menyusuri lorong itu, aku melihat sebuah cahaya. Pasti itu musuh. Aku sudah bersiap-siap dengan pedangku.
TRAAAANG!! Pedangku menghantam sebuah lampu yang dipegang seorang wanita. Dan wanita itu adalah... "Bibi Hauna?" Ah... Aku kaget. Aku jatuh lemas terduduk.
"Till, kau terluka! Dimana putraku? Kita harus cepat mencarinya. Dia dalam bahaya!"
"Apa yang terjadi?"
Disana pun aku menanyakan apakah Bibi Hauna tahu tentang diriku. Dan, ya... Dia tahu. Dia sudah tahu sejak pertama kali bertemu. Aku pun bercerita tentang pertemuanku dengan musuhku. Aku panik. Semua kata-kata terlontar dari mulutku begitu saja tanpa bisa direm.
"Entah apa yang aku alami... Aku cuma bisa berkata seperti ini untuk menenangkanmu. Yang membuat orang malu adalah "hati" yang ternoda. Apapun yang kau alami di masa lalu, kau bersih tak ternoda. Justru akulah yang kotor." Bibi Hauna pun menangis.
"Bibi Hauna, kuatkan dirimu." Tiba-tiba terjadi guncangan. "Apa ini?"
"Tiara, ada tangga di sisi kanan depan sana! Cepat pergi mencari Yuuza! Kota ini akan ditelan pasir dalam waktu 20 menit."
"Tapi kenapa?!" Tanyaku panik.
"Nanti akan kuceritakan padamu dan Yuuza. Aku akan menyusul."

***

Meski aku tak tahu apa yang sedang disimpan Bibi Hauna, tapi begitu guncangan semakin besar, aku harus cepat mencari pintu keluar.
"Ketemu!!" Sebuah cela. Aku bisa melihat kaki-kaki dua orang yang sedang berkelahi. Aku tahu itu mereka. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Bagaimana anak muda? Sudah menyerah?"
"Apa betul kau telah menyakitinya?"
"Kenapa harus marah? Itu bukan masalah besar kan?"
"Bukan masalah besar?!! Apa kau tahu seberapa dalam luka hatinya?!! Kau memang tak punya hati!"
"Aku sudah tak punya hati sejak masih kecil."
Akhirnya celah itu bisa kubuka. Akupun keluar dari bawah tanah. "Hentikan!!!" Tak kusangka, kini tubuh Yuuza terjerat rantai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya.
Aku berbisik pada Yuuza, "Selamatkan dirimu. Sebentar lagi tempat ini akan ditenggelamkan pasir. Bini Hauna ada di bawah tanah. Cepat selamatkan dia."
"Baiklah." Yuuza mencoba melepaskan rantai itu. "Arrrggghhh!!!"
"Semakin meronta, rantai itu semakin kuat membelit tubuh. Dia tak akan lepas." Ucap lelaki itu. Lalu dia diam sejenak. Merasakan apa yang telah terjadi. "Tunggu, kenapa pintu gerbang bisa terbuka? Tak ada orang yang tahu dimana kunci itu berada selain aku. Sepertinya kalian masih punya teman. Siapa dia? Dimana dia sekarang?"
Aku terdiam. Sepertinya laki-laki itu semakin geram. "Jawab! Kalau tidak..." Dia menusuk dada Yuuza. Yuuza berteriak kesakitan.
"Aaarrgghh!!"
"Hentikan!" Meski aku tahu aku tak akan menang, tapi Yuuza dan Bibi Hauna tak boleh mati. Biar aku yang ditelan pasir bersama laki-laki ini. Ayah, Bunda, semua warga suku Sauru... Maaf telah lama menunggu. Akan akan segera bergabung dengan kalian.
Saat aku beradu pedang dengan lelaki biadap itu, tiba-tiba Yuuza sudah ada di belakangnya. Rantai itu terlepas dengan kekuatannya sendiri. Dan Yuuza menjerat leher laki-laki itu dengan rantai yang sebelumnya menjerat tubuhnya dari langit-langit ruangan itu.
"Kau... Menjeratku dengan rantai yang membelit tubuhmu?" Ucapnya susah payah sambil menarik rantai itu di lehernya.
"Sudah kubilang jangan pandang remeh lawan! Saat ingin melindungi seseorang, kekuatan macam apapun bisa keluar!"
"Cukup Yuuza! Tak perlu berkorban demi aku!" Pintaku.
"Jangan pernah rendahkan dirimu! Hargai dirimu sendiri! Mungkin aku tak sanggup mengobati luka hatimu. Tapi... Aku sungguh ingin melakukan sesuatu untukmu. Aku ingin melindungimu, menjagamu... Karena aku sayang padamu." Yuuza menatapku. Wajah itu. Teduh. Penuh makna.
Aku sudah tidak tahan dengan yang terjadi saat ini. "Kenapa kau tega melakukan semua ini?!!!!" Tanyaku pada laki-laki bercodet itu.
"Ini semua karena aku, Tiara." Bibi Hauna muncul dari celah pintu tempat aku keluar tadi. "Semua akibat dosa yang kuperbuat 16 tahun yang lalu. Gyle... Ternyata memang kau... Kau masih ingat aku?"
"I... Ibunda?!"
"Dengarlah, Tiara. Paoro adalah kota kelahiran Yuuza. Inilah istanaku 16 tahun yang lalu. Saat itu satu persatu kota di dunia mulai ditelan pasir. Suatu hari kebetulan suamiku menemukan sebuah negeri subur nan jauh disana. Mulai meluaslah kabar tentang Eden."
Aku, Yuuza dan laki-laki bernama Gyle itu jatuh terduduk. Tanpa diduga inilah yang terjadi. Bibi Hauna masih bercerita.
"Tapi karena suamiku ingin memonopoli Eden, dia membunuh semua orang yang mendekati tempat itu. Aku tak sudi terus tinggal dengan suami seperti dia dan minggat dari istana. Tapi kami bertiga, aku, Gyle dan Yuuza tertangkap oleh anak buahnya. Tangan Gyle terlepas dari genggamanku. Aku meninggalkannya. Dan aku tidak kembali. Aku sudah cukup kewalahan hanya dengan melindungi Yuuza."
Aku terus menatap Bibi Hauna. Dia belum selesai dengan kata-katanya. "Sekarang kau mengerti, Tiara? Aku adalah perempuan hina. Hidup dengan mengorbankan anaknya sendiri."
Laki-laki bernama Gyle itu menyambung kalimat Bibi Hauna. "Benar! Akhirnya kau pergi berlari. Meski aku menangis menjerit-jerit, kau tak pernah kembali. Kau lempar aku ke neraka dalam keadaan mandi darah! Kau bayangkan bagaimana perasaanku selama 16 tahun ini! Ternyata... Kini kau datang untuk menguburku dalam pasir, lalu pergi."
"Aku tak akan pergi! Bunuh saja aku bila memang itu maumu!" Tandas Bibi Hauna.
Begitu pedang Gyle maju, aku menghadangnya. Dan aku tertusuk olehnya. Tidak parah. Hanya tertusuk sedikit. Tak sebanding dengan luka Gyle. "Kumohon, hentikanlah... Kau menangis... Apa kau ingin mengulangi dosa-dosamu lagi?"
"Aku tak menangis. Tak pernah menangis!"
"Bohong! Aku bisa melihatmu menangis! Sebetulnya kau menderita hidup sendirian, bukan?"
"Tidak!"
"Selama ini kau selalu menunggu ibumu, kan?"
"Tidak!!!"
"Apa kau pikir selama 16 tahun ini Bibi Hauna tidak menderita? Ternyata luka hatimu lebih dalam dari lukaku.." Aku merasa tubuhku semakin lemah. Aku mulai terjatuh di pangkuan Yuuza. Aku pun menoleh pada Bibi Hauna. "Bibi Hauna, tak ada orang yang hina sampai ke lubuk hatinya. Aku tak mengerti kesedihan dan penderitaanmu. Tapi apapun yang terjadi, manusia harus tetap mencintai manusia lainnya."
"Gyle, kalau kau tak bisa memaafkan ibu, bunuh saja aku. Waktu itu ibu tak kembali demi melindungiku yang masih bayi." Yuuza menatap mata Gyle seakan penuh arti.
Gretek! Gretek!! Guncangan semakin kencang. Pasir sudah mulai mencoba masuk ke dalam istana. Tak lama lagi tempat itu akan ditenggelamkan pasir. Dan begitu pasir yang sedikit demi sedikit menerobos pintu, Gyle berteriak. "Yuuza! Bawa ibu dan gadis ini masuk ke pintu kiri! Cepat! Disana ada tangga menuju luar."
Yuuza yang menggendongku, menarik Bibi Hauna keluar pintu. Tapi Gyle tak ikut bersama kami. Gyle malah mencoba menutup pintu itu. "Biar aku yang menahan pintu ini agar banjir pasir ini bisa terhalang untuk sementara waktu!"
"Kenapa Gyle? Biarkan aku bersamamu!" Bibi Hauna terlampau kalut. "Aku membuka gerbang kota supaya aku bisa menebus dosa! Aku tak ingin lari dari dosa-dosaku!"
Sebelum Gyle menutup pintu, dia memberikan sesuatu pada Bibi Hauna. "Aku tahu, suatu saat nanti hari ini pasti tiba. Hanya hukuman ini yang pantas untukku. Dan Yuuza... Jaga ibu baik-baik, juga gadis itu." Itulah kalimat Gyle yang terakhir.
"Lepaskan aku, Yuuza! Gyle! Gyle!!!" Yuuza terus menarik Bibi Hauna menjauh dari tempat itu.
"Ikut aku, Ibu!"

***

Dalam gelap aku termenung, memikirkan apa yang telah terjadi. Gyle... Ternyata kau juga memendam luka yang dalam. Aku bisa merasakan kepedihanmu. Hatimu lumat dalam dinginnya kota ini. Dan cuma bisa hidup dengan bersikap kejam. Kau betul-betul kesepian.
Akupun membuka mataku. "Yuuza..?"
"Kau sudah siuman? Syukurlah..."
Terdengar tak jauh kami suara Bibi Hauna yang sedang menangis. "Aku... lagi-lagi melepas tangan putraku itu."
Aku yang masih berbaring, mencoba untuk duduk. "Bibi Hauna... Menurutku, dia mencintaimu dengan segenap hatinya. Pada akhirnya dia bisa menunjukkan ketulusannya padamu. Tak harus mati untuk menebus dosa. Tetaplah hidup sambil tetap mengenang dirinya."
Yuuza memeluk Bibi Hauna dengan tulus. "Ibu... Apa ini?" Tanyanya pada Bibi Hauna yang terus memegangi sebuah kalung.
"Gyle memberikannya padaku sebelum dia menutup pintu."
Aku mendekat dan melihat benda itu. Kalung bandul yang ketika dibuka, terdapat foto di dalamnya. Foto keluarga. Bibi Hauna, suaminya, Gyle yang masih anak-anak dan Yuuza yang masih bayi dalam gendongan Gyle. Aku terharu melihatnya. Ternyata Gyle menyimpan bandul kalung itu selama 16 tahun.
Tak lama setelah itu, kami bertiga melanjutkan perjalanan. Perjalanan panjang menuju Eden.
"Tiara..."
"Ya?"
"Tugas kita adalah membuat dunia baru bagi anak-anak kita."
Ini adalah awal dari segalanya. Sampai manusia yang penuh dengan cinta, kesedihan dan dosa... Kembali ke "Eden" yang sesungguhnya.


-Sand Tiara Selesai-