Senin, 07 November 2011

Barangkali Cinta #3

Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)


 “Dia nggak cantik, kulitnya kuning, matanya sipit, hmm lumayan imut sih. Terus…menurut sepengetahuan gue, sih, dia jutek banget. Kenapa lo bisa cinta gitu sih sama dia?” Tanya Gema pada Daren secara tiba-tiba di kamar Daren.
            Daren terdiam sesaat. Lalu ia berhenti membaca dan kemudian menutup novelnya. Ditatapnya tajam mata Gema. Daren berkata, “Gue nggak tau”, jawabnya tanpa ekspresi dengan masih menatap mata Gema.
            “Terus keadaan lo gimana sekarang?”
            “Gue udah agak enakkan, sih.”
            “Eh, lo baca apa?” Gema merebut novel yang digenggam Darem. Dilihatnya cover depan novel itu. Ia baca judulnya. Ia lihat sinopsis pada cover belakang novel itu. “Surat Kecil Untuk Tuhan…??”
            “Kenapa?” Tanya Daren bingung.
            “Novel apaan sih? Beda deh sama novel-novel lo yang sebelumnya.”
            Perlu diketahui. Daren ini selain hobi membuat puisi, ia juga suka membaca novel. Novel yang ia miliki saat ini sudah banyak sekali. Lemari kaca di kamarnya juga sudah hampir penuh dengan novel-novel miliknya.
            “Namanya Keke. Dia sakit parah. Parah banget. Tapi gue salut banget sama perjuangan dia dan orang-orang sekitar dia supaya dia sembuh.” Mata Daren melemah. Tak ada air yang keluar dari sana. Tapi tanpa itu terjadi pun, orang sudah tahu bagaimana hati dan perasaan Daren saat ini.
            Gema menatapnya iba. Dipeluknya sepupunya itu. Siapa yang tahu, dibalik ketangguhannya, Daren menanggung beban yang sangat berat. Hanya dia dan Gema yang tahu bagaimana sulitnya mempertahankan hidup yang sudah sangat rentan untuk dipertanyakan kedepannya. Dari luar Daren memang baik-baik saja. Tapi kenyataannya, sakit yang ia derita sejak duduk dibangku SMP sudah semakin parah.
            Daren selalu merahasiakan hal ini dari Lidya. Karena ia pikir penyakitnya itu akan sembuh. Dan ia sebelumnya memang telah dinyatakan bersih dari kankernya. Karena dulu, penyakitnya tidak terlalu parah dan masih bisa disembuhkan.
            Penyakit mana ada yang tahu kapan datangnya. Sakitnya tiba-tiba muncul tepat setelah 2 hari dirinya berpisah dengan Lidya. Tapi ini tidak ada hubungannya dengan Lidya. Kini Daren hanya berharap agar Tuhan membiarkannya hidup lebih lama agar bisa melihat Lidya tersenyum setiap harinya. Daren hanya ingin melihat Lidya bahagia ketika melihat dirinya. Bukan seperti saat ini.
            “Tuhan… Jika aku menjadi Keke kedua, izinkan aku hidup lebih lama lagi. Lebih lama dari yang wanita itu lalui. Agar aku bisa membahagiakan semua orang di sekitarku.” Pintanya dalam hati. Daren menangis dalam diamnya.

***

            Untuk pertama kalinya, Lidya merasa gelisah yang amat sangat saat ini. Ia pun membuka pintu balkon yang ada di kamarnya. Daren pernah membuatkannya puisi berjudul “Separuh Bintang” saat mereka baru pacaran 3 bulan.
            Sampai saat ini Lidya tidak pernah mengerti makna separuh bintang itu. Karena sejujurnya pada saat itu Lidya sama sekali tidak tertarik dengan puisi manapun. Entah dimana ia menaruh lembar puisi “Separuh Bintang” milik Daren.
            Lidya segera masuk lagi ke kamarnya. Dicari-carinya lembaran itu. Ia dulu hanya membacanya sekali. Sekarang, pada saat ia ingin membacanya lagi, lembaran itu tidak ada.
            “Ya Tuhan… Dimana kutaruh puisi pertama dari Daren?” Lidya hampir frustasi mencari puisi itu. Ia agak sedikit menyesal karena dari semua puisi Daren tak ada satupun yang ia simpan, hanya karena ia “tuli” pada kalimat-kalimat tinggi milik Daren. Bukan tak ingin mengerti, ia hanya belum bisa mengerti.
            Wish you were here milik Avril Lavigne berbunyi dari ponsel Lidya. Ia buru-buru mengangkat teleponnya seperti orang yang kesetanan.
            “Dareeeeeeen… Daren kamu dimana? Tadi kamu kok nggak masuk? Aku…” Lidya tak sanggup lagi menahan luapan air matanya.
            “Haha… Kamu jangan panik dulu dong. Aku di bawah nih. Bukain pintu dong...”
            Masih seperti orang kesetanan. Lidya berlari turun ke lantai bawah dari kamarnya. Cepat-cepat ia keluar rumah.
            Dilihatnya pacar pertamanya itu. Lalu Lidya mendekati Daren. Kemudian ia memeluknya penuh dengan rasa cinta. Bodoh sekali jika dia melepaskan Daren dari dirinya. Lidya menangis dalam pelukan Daren.
            “Daren, maaf…” ucapnya pada Daren. Seakan tak ingin kehilangan, Lidya memeluk Daren erat dan benar-benar tak ingin melepaskannya.
            Diusap-usapkannya rambut ikal milik Lidya. Ia tahu Lidya akan kembali dalam pelukannya lagi. “Maaf untuk apa?” kemudian dia mengangkat wajah Lidya perlahan dengan jarinya.
            “Semuanya… Juga maaf karena aku nggak menyimpan semua puisi dari kamu.”
            “Kamu liat keatas, deh. Indah ya?”
            Lidya menengadahkan kepalanya. Tak ada yang berubah pada langitnya. Gelap dan ada bintang-bintang juga bulan yang terlihat di kejauhan. “Hmm…”
            “Kamu masih ingat pertama kali kita malam mingguan?”
            “Iya…” Lidya membayangkan lagi bagaimana lucunya kisah cinta dirinya dengan Daren. Saat itu pertama kalinya dia meminta izin pada orang tuanya untuk jalan dengan seorang teman laki-lakinya. Dia jalan-jalan, nonton, makan malam bersama dan entahlah… terlalu banyak kenangan indah bersamanya sampai-sampai ia lupa apa saja yang terjadi saat itu.
            “Lid…”
            “Ya?”
            “Would you be my fairy?”
            Lidya tidak langsung menjawab pertanyaan Daren. Tapi ia memeluk cowok itu lagi. Lalu ia berkata, “Basi tau nembaknya!” lalu ia tertawa sendiri.
            “Lho? Siapa yang nembak? Barusan aku ngajak balikkan sama kamu.”
            “Ren…”
            Belum sempat Lidya melanjutkan kalimatnya, bibir Daren mendarat mulus tepat di pipi kanan Lidya. Dirinya bisa merasakan ketulusan pada diri Daren ketika cowok ini menciumnya.
            “Aku ingin semuanya selamanya…”
            “Aku juga.”
            Gantian sekarang Lidya yang mencium pipi Daren. Ia ingin agar Daren tahu kalau dirinya juga menyayangi Daren sepenuh hati.

***

            Malam ini adalah malam minggu. Tapi bukan ini alasan Lidya mesem-mesem sendiri di ruang tamu. Lidya tidak tahu bagaimana menggambarkan kebahagiaan dirinya bersama Daren. Lidya tidak mengizinkan Daren untuk pulang padahal jam sudah menunjukkan angka 10 malam lewat 20 menit.
            “Udah sih kamu nginep aja.” Ajak Lidya pada Daren.
            “Kamu ngaco deh!” jawab Daren sambil menjitak kepala gadis mungilnya itu.
            “Sayang… Aku kepengen kamu nyanyiin satu lagu untuk aku.”
            “Kamu mau aku nyanyiin lagu apa?”
            “Apa pun.” Jawabnya singkat dengan nada manja seperti biasanya.
            Daren pun mulai bernyanyi. Satu lagu yang sekarang menjadi lagu favoritnya. Lagu Kita-nya Vidi Aldiano memang pas untuk dinyanyikan saat ini di depan Lidya. Lidya terus mendengarkan sambil terus memandangi wajah Daren.

“Meskipun aku bukan siapa-siapa
Bukan yang ssmpurna
Namun percayalah hatiku milikmu
Meski seringku mengecewakanmu
Maafkalanh aku
Janjiku kan setia padamu
Hanyalah dirimu

Aku milikmu kau milikku
Tak akan ada yang pisahkan kita
Ini lagu kita tuk selamanya
Janjiku untukmu takkan tinggalkan dirimu

            Udah, ya…”
            “Yeaaaaaah… Keren banget suara kamu sayang.” Lidya memberikan tepuk tangan untuk Daren sambil terus memujinya. “Udah ganteng, jago olahraga, pinter bikin puisi, suaranya juga bagus, lagi.”
            “Ah kamu bisa aja, sih.” Daren jadi agak-agak malu gimana gitu. Tak lama setelah itu, ia meminta izin pada pacar tercintanya ini untuk pulang.
            Daren diantar Lidya sampai depan gerbang. Tak lupa Dareb mencium kening Lidya. Juga tak lupa menitipkan pesan sebelum pacarnya itu tidur.
            “Jangan lupa berdo’a ya sayang.”
            “Iya, sayang. Kamu hati-hati, ya.”
            “Daaaaahh…” Daren pun pergi meninggalkan Lidya. Motor milik Daren pun perlahan menghilang di kejauhan. Tak ada deru motor yang terdengar lagi. Lidya pun masuk lagi ke dalam. Dan ia pun ingin segera tidur.
            Malam itu tiba-tiba hujan. Udara terasa dingin. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Lampu kamar pun sudah dimatikan. Tapi entah kenapa malam ini mata Lidya tidak mau terpejam. Lalu ia memilih untuk membaca buku yang terpajang di atas meja belajarnya. Dinyalakan kembali lampu kamarnya.
            Dilihatnya satu per satu buku yang ia miliki. Pilihannya jatuh pada sebuah komik Jepang tebal yang seingatnya adalah pemberian Daren dua tahun yang lalu. Judulnya “Kiss Me With Mint”.
            Begitu lembar pertama terbuka, ada secarik kertas terjatuh. Lidya tak ingat pernah menaruh kertas-kertas pada semua buku miliknya. Atau sepertinya memang dirinya yang pelupa. Lalu ia baca perlahan.
           
Ribuan kata memahat cerita di wajah bumi
Tak ada hilang cerita tentangmu
Menjadikan kamu sebagai yang terindah dalam hidupku

140210
Daren Dermawan

“Ah… ini pernah gue baca dulu”. Dia baca berulang-ulang kali 3 baris kalimat itu. Baru ia sadari betapa indah kata-kata yang ia terima dari kekasihnya sejak dulu. Tak ada yang berubah dari Daren. Tetap Daren miliknya, tetap Daren yang ia kenal.


BAB 2



            Tiga bulan kemudian…
Rabu, jam enam tepat, Lidya berjalan santai menyusuri trotoar menuju sekolahnya. Hari ini Lidya tidak dijemput Daren dikarenakan dia ada pertandingan basket di sekolah lain. Dirinya juga tidak diantar Kak Lintang karena semalaman suntuk kakak keduanya itu mengerjakan tugas. Terakhir ia lihat tadi pagi, Kak Lintang tertidur pulas di ruang tengah. Ia tak tega untuk membangunkan kakak kesayangannya itu. Hari ini Lidya juga menolak tawaran Gema untuk berangkat sekolah bersama dengan dirinya.
            Begitu Lidya sampai di kelasnya yang masih sepi, kaget sekali dia saat melihat setangkai mawar putih tergeletak di atas mejanya. Lalu tidak ketinggalan juga boneka kucing lucu bisa nongkrong di tempat duduknya tanpa ada yang tahu kapan kedua benda itu diletakkan. Di pita boneka kucing itu terselip kertas ungu yg tergulung kecil. Dia buka gulungan kertas itu.

Seperti mentari
Aku tak pernah bosan tuk kembali
Mengulang setip detik
Bersama anginmu yang setia

            Lidya membayangkan lagi kemesraannya bersama Daren. Bergelayut manja di lengan cowok itu, menyambut setiap uluran tangannya, larut dalam setiap dekap peluknya, dan sejuta kejutan Daren yang semakin membuatnya bermimpi indah setiap malam.
            “Eheeeem…”
            Lidya jadi mendadak kaget karena ada yang berdeham di belakang dirinya. “Ih lo tuh ngageti gue aja, deh!”
            “Gue iri, deh, sama lo Lid. Punya cowok romantis banget gitu. Gue juga pengeeeeeeen…” ucap Gita manja sambil lalu duduk di bangku sebelah Lidya, tempat duduk Gema.
            “Yee… Emangnya cowok lo nggak romantis? Ka…”
            “Eh minggir dong. Gue mau duduk.” Entah sejak kapan Gema berdiri di sebelah Gita. Datang-datang langsung main potong omongan orang. Nggak sopan! Gita pun jadi berdiri seketika. Daripada dibentak kayak anak yang kemarin itu, pikirnya.
            “Yang sopan kan bisa, Gem.” Tandas Lidya.
            Bukannya menjawab ucapan Lidya, Gema malah cuek dan asyik dengan ponselnya. Gema duduk di bangkunya lalu mengeluarkan buku-bukunya. Ia sama sekali tidak memperdulikan apa yang telah dikatakan Lidya kepadanya.
            Sumpah! Ini orang bikin kesel aja. Lidya bete banget duduk berdua sama Gema. Tapi harus ditahan-tahanin. Pertama, karena sekarang Lidya sudah tahu kalau Gema adalah sepupu Daren. Kedua, karena Gema itu otaknya encer banget. Jadi kalau lagi kesusahan mengerjakan soal-soal latihan, dia bisa mencontek jawaban Gema.
           
***

            Lewat sepupunya, Daren, Gema mengenal Lidya. Warna kesukaannya, binatang kesukaannya, semua hal yang dia sukai juga semua hal yang dia benci. Gema selalu mendengarkan apa yang dikatakan Daren padanya. Segala tentang Lidya berkali-kali, bahkan ia sendiri sudah bosan mendengarnya. Daren begitu memujanya. Seperti memuja Dewa-Dewi. Sampai-sampai Gema penasaran dan ingin bertemu langsung dengan bidadari pujaan sepupunya itu.
Sialan! Rutuk Gema. Untuk kesekian kali. Resah dan bingung sendiri. Meski malu, ia harus mengakui pada dirinya sendiri. Gema menyukai Lidya. Entah sejak kapan hatinya mulai tumbuh kuncup. Gema sangat tidak menginginkan ini terjadi. Ia tak ingin kuncup itu perlahan menjadi bunga, apalagi sampai berubah warna. Biru ataupun warna lainnya.
“Kenapa harus Lidya? Kenapa harus ceweknya Daren?” desis Gema dalam hatinya.

Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)