Jumat, 11 November 2011

Barangkali Cinta #7


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)



            Lidya memuntuskan untuk masuk sekolah hari ini. Sudah seminggu sejak dia tidak masuk sekolah, dan orangtuanya merasa itu sudah melewati jangka waktu toleransi bagi Lidya membolos.
            “Sedih kelamaan kan nggak baik juga, Lidya. Kamu masuk sekolah hari ini?” Tanya Mama Lidya sesaat setelah dia mencoba memaksa anak bungsunya untuk bangun.
            Lidya yang dipaksa Mamanya untuk bangun, mencoba untuk menjatuhkan tubuhnya kembali tapi buru-buru dihalangi Mama Lidya. “Ah… Mama!” Bibir Lidya membentuk kerucut. Kesal juga dia. Tapi ya sudahlah.
            Akhirnya dia mau juga untuk bangun dan mandi. Dan… apa maksud Mama dengan mengatakan “Sedih kelamaan kan nggak baik juga, Lidya”? pikirnya. Buat Lidya, Daren itu sudah lebih dari bayangannya sendiri. Sementara bayangan hanya ada di tempat terang, bagi Lidya, proyeksi Daren selalu ada di mana pun dia berada, tidak peduli tempat itu gelap ataupun terang.
            Setelah pamit pada Mamanya, Lidya pun pamit berangkat sekolah. Hari ini Kak Lintang tidak bisa mengantarnya, begitu juga dengan Kak Lionel. Kedua kakaknya itu harus berangkat pagi-pagi sekali ke kampus mereka yang jauhnya luar binasa. Ini juga kali pertama bagi Kak Lionel berangkat pagi. Aneh, batinnya. Begitu pintu depan terbuka, dilihatnya mobil keluaran terbaru berwarna hitam bertengger di depan pagar rumahnya. Lidya melongo melihatnya. Begitu jendela mobil itu terbuka…
            “Dih?”
            “Eh buruan dong. Kita nanti terlambat! Kan kita mau upacara.” Ucap Gema dari dalam mobil. Gaya banget, pikir Lidya. Tapi sepertinya sudah lama dia menunggu disini.
            Kalau dipikir-pikir, memang naik mobil pribadi lebih enak daripada naik bus. Lebih menghemat waktu, tenaga plus uang juga. “Iya, sebentar.” Ditutupnya pintu pagar rumahnya, lalu ia cepat-cepat masuk
            “Siap?” Tanya Gema tiba-tiba. Seperti biasa, bikin orang kaget.
            “Siap? Buat?” Lidya malah balik nanya.
            Gema tak langsung menjawab pertanyaan Lidya. Gema lalu menyalakan mesin mobilnya. Lalu berangkat menuju sekolah mereka. “Mulai hari ini gue yang akan gantiin Daren. Gue bakal jadi supir pribadi lo, ojek pribadi lo, bodyguard lo, jadi…” Gema terdiam. Sok-sok sedang berpikir.
            “Iyaaaaa…” Lidya langsung membuka suara.
            “Udah seminggu sejak Daren nggak ada, keadaan lo gi…”
            Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Lidya malah memotong kata-kata Gema, “Gue nggak tau. Sejak dia nggak ada, gue kayak nggak punya semangat hidup, Gem! Kalo lo jadi gue, apa lo bisa kuat?” Lidya masih terlihat sedih. Bicaranya juga ngawur. Pertanyaan itu tak disangka Gema sebelumnya, karena ia lebih dulu merasakannya.
            Lidya lalu mendongak. Gema tertegun melihat mata itu. Menatapnya sayu. Mata itu terluka, begitu jelas. Dan tampak kabur di balik lapisan bening yang berkaca. Lidya menangis!!
            Dihentikannya mobil ke tepi jalan. Dipeluknya gadis itu. Ia biarkan Lidya menangis di atas dadanya. Gema membiarkan Lidya menangis sampai ia merasa lega. Dan…
            “Iuuuuuhhh… Lo nangis pake ingusan segala!” Gema tak terima ketika Lidya mengeluarkan cairan dalam hidungnya ke seragam Gema. Sebelumnya Gema merasa kejadian tadi tuh romantis banget. Tapi kenapa harus ada parade hingus? Pikir Gema. Dan buru-buru ia membersihkannya dengan tissue yang sudah nangkring di dasbor.
            Lidya menghentikan tangisnya. Dia melirik Gema dengan kesal. “Sini gue bersihin, deh!” Lidya juga menarik dua lembar tissue di atas dasbor. Buru-buru dia membersihkan benda itu dari seragam sekolah Gema.
            Gema jadi tertawa geli melihat gadis yang disukainya itu membersihkan noda di seragam miliknya. Lidya hanya mendengus sebal pada Gema. “Udah deh udah! Hahaha…”
            Lidya membuang tissue-tissue itu ke tempat sampah kecil di mobil Gema. Lalu ia membenarkan duduknya. Dan Lidya memberikan satu perintah dengan nada tegas. “Oke, jalan! Tapi pelan-pelan! Kalo lo ngebut, mending gue naik ojek ke sekolah.”
            “Baik, tuan putri, hehe…”

***


            Lidya meluruskan diri dengan barisan di depannya, lalu berdiri dengan tertib. Setelah kedatangan dirinya, ia yakin, habis ini selesai, dia pasti bakal mati, mati diteror pertanyaan dari teman-temannya.
            Suara gemerisik semak membuat siswi-siswi yang berada di barisan belakang menoleh. Mereka tercengang mendapati seorang cowok sedang menarik salah satu jeruji pagar dengan paksa, kemudian menyelinap masuk halaman.
            “Apa liat-liat?” Tanya cowok itu galak.
            Cewek-cewek itu tersentak dan seketika memalingkan kembali wajah mereka ke depan. Cowok itu menahan senyum. Setelah mengembalikan jeruji itu ke tempatnya, ia menyembunyikan tasnya, lalu masuk ke barisan, tepat di belakang Lidya berdiri.
            Satu jam kurang sedikit, akhirnya upacara selesai. Semua siswa-siswi masuk ke kelasnya masing-masing, ada yang sebagian ke kantin untuk membeli minum, termasuk Lidya.
            Begitu kembali…
            “Lho?” Lidya agak kaget melihat bangkunya disambar orang. Tumben banget ini cowok. Cowok itu kan anak tenaga kuli tadi pagi, pikirnya. Tadi baris nyasar, sekarang kelas juga nyasar kayaknya.
            “Eh, Ger, temen sebangku gue udah dating, tuh.” Gema menunjuk ke arah Lidya sambil berbicara pada cowok itu.
            “Oke, gue pindah dulu, ya.” Cowok itu berdiri dan pindah ke tempat duduk lain. Tak lama pun Bu Elly datang.
            “Selamat pagi semuanya.” Bu Elly memberikan salam pada anak-anak muridnya, dan kemudian secara serempak.
            “Pagi juga, bu.”
            “Udah kenalan belum sama teman barunya?” Tanya Bu Elly sambil memandang seluruh isi kelas.
            Semua anak-anak langsung mencari-cari si anak baru itu dalam kelas. Semua mata tertuju pada cowok asing berambut sedikit gondrong, berkulit coklat, tinggi besar, dan ganteng pastinya. Cowok itu berinisiatif untuk memperkenalkan diri di depan kelas.
            “Nama saya Muhammad Gerry Septian Wijaya. Kalian bisa panggil saya Gerry.” Ucapnya dengan gaya santai. Tak terkesan dingin. Gerry termasuk dalam kategori anak baru yang terlihat menyenangkan.
            Bu Elly lalu mengizinkan anak-anak muridnya untuk bertanya-tanya pada Gerry. Pertanyaannya bermacam-macam. Mulai dari alasan dia pindah ke sekolah ini, lalu tinggal dimana, malah ada siswi yang bertanya, “Udah punya pacar belum?”. Dan Gerry hanya tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Lalu Gerry disuruhnya untuk duduk di bangkunya dan dimulailah pelajaran itu.
           
***

            Saat istirahat tiba, Lidya makan siang bersama Gema di kantin. Dari jauh terlihat Gerry mendekati mereka. Mau apa dia? Pikir Gema.
            “Boleh ikutan makan disini?” tanyanya.
            Gema yang baru menyuapkan sendok berisi tumpukan puluh-puluhan butir nasi goreng, jadi terpending tepat di depan mulutnya. Ia turunkan lagi tangannya, dan menjawab pertanyaan Gerry. “Boleh.”
            Lidya menyenggol paha kiri Gema, sambil menggoyang-goyangkan alisnya alias memberi isyarat pada Gema untuk tidak berlaku dingin. Lidya memulai pembicaraan dengan Gerry. “Ger, lo sama Gema udah pernah kenal ya sebelumnya?”
            Belum pertanyaan itu dijawab, Gema melototinya. Gerry hanya menjawab, “Gue kenal. Tapi kayaknya dia lupa gue dan…”
            “Lah, lo gue tanya siapa, tapi malah nyuruh gue nginget-nginget sendiri!” Gema yang ternyata jutek sama cowok malah memotong kalimat Gerry.
            Cowok itu menaruh tas selempang kecilnya di atas meja makan. Lalu ia mengeluarkan benda yang tak pernah Lidya lihat selama ini.
            “Medali?”



Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)