Senin, 14 November 2011

Barangkali Cinta #9


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)


            Lidya menghapus sendiri air matanya.. Lalu ia berdiri dari bangkunya, dan berlari meninggalkan kelas. Gema memanggilnya tapi Lidya tak mau menoleh. Suara Gema membuat teman-teman sekelasnya jadi melihat ke arahnya. Gema pun menyusulnya.
            Lidya menuju tempat yang dia sukai sejak masuk di sekolah ini, taman bunga belakang gedung sekolah, tempat dimana dia dan Daren menghabiskan waktu senggangnya. Lidya langsung duduk di bangku dekat kolam ikan. Wajahnya mendadak cemberut dan dia juga melipat tangannya.
            Gema jadi merasa bersalah atas perlakuannya tadi.
            “Ngapain ngikutin gue, sih?!” Lidya menatap Gema sinis.
            “Maaf… Gue Cuma kaget. Soalnya lo megang-megang foto Eveline. Maaf ya?” Gema tulus meminta maaf pada cewek ini.
            Lidya menatap Gema. “Iya, deh. Gue maafin. Tapi… Eveline itu siapa?” Penasaran juga dia sama cewek yang ada di foto Daren itu.
            Gema terdiam sesaat. Lalu ia duduk di sebelah Lidya. Wajahnya tertunduk. “Dia… cewek gue… pas di Semarang…” jawabnya dengan wajah yang masih tertunduk.
            “Oh…” Lidya sudah bisa menebak sebelumnya memang. “Terus, lo masih sama dia?”
            Gema malah menatapnya sedih. Dia menjawab, “Udah nggak, Lid.”
            “Lho? Kenapa? Nggak kuat LDR, ya?” Lidya jadi tak mengerti kenapa dia jadi banyak nanya begini.
            “Bukan… Dia udah nggak di Semarang.” Gema menjawab lirih pertanyaan Lidya.
            “Terus dia dimana?” Lidya jadi makin penasaran sama Eveline itu. Bisa-bisanya dia putus sama Gema. Meski ngeselin, Gema kan baik. Dan berdasarkan pengamatannya, Gema itu orangnya sabar banget.
            Bukannya langsung menjawab, Gema malah terdiam. Terlalu sulit untuk dijawab. Mulutnya tak sanggup berucap. “Dia… Dia ada di tempat Daren berada sekarang, Lid.” Akhirnya terucap juga, meski berat.
            Mendengar pengakuan itu, Lidya jadi ikut sedih. Ternyata dirinya memiliki takdir yang sama dengan Gema, kehilangan orang disayanginya. Lidya juga jadi tak bisa berkata apa-apa. Dia juga tidak bisa bertanya apapun lagi. Bukannya tidak mau, tapi seseorang yang sudah tidak ada, tidak perlu dipertanyakan lagi segala tentangnya.
            Tak lama setelah itu, mereka kembali ke kelas. Untunglah jam pertama sampai kedua guru yang mengajar tidak masuk. Begitu sampai di kelas, Gita langsung menghampirinya. Gita berbicara setengah berbisik.
            “Lid, Gerry SMS-an sama gue loh tadi malem.” Gita terdengar senang sekali. Dari pertama kali Lidya mengenalnya memang. “Gue nggak tau kenapa jadi seneng mikirin dia dari semalem. Hehe.”
            “Cieee… Terus cowok lo mau dikemanain?” tanyanya spontan
            Gita mengangkat bahu. Lalu ia cekikikan sendiri. “Nggak dikemana-kemanain kok. Hehe.”
            Dasar si Gita sableng! Lidya jadi tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah sohibnya ini. “Emang Gerry kirim SMS apa, sih?”
            Gita mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Dengan cepat, dibukanya SMS dari Gerry. “Nih…” katanya sambil menunjukkan pesan di ponselnya pada Lidya.
           
            From: Gerry
            Git, gw besok gak masuk. Tlng izinin yah.

            Lidya berdecak. “Ck! SMS kayak begini kok bikin lo seneng? Perasaan lo sering deh dapet SMS kayak gini dari anak-anak sekelas, secara lo sekretaris kelas!”
            “Abis dari pertama gue liat dia, gue udah tertarik aja.” Gita begitu terlihat semangat menjawab pertanyaan-pertanyaan Lidya. “Pokoknya, gue harus bisa menarik perhatiannya juga! Hihi…” Setelah bicara begitu, dia meloyor keluar kelas. Entah mau kemana anak itu. Lidya hanya geleng-geleng kepala.

***




BAB 4




            Hari demi hari berlalu, dan tanpa terasa tahun berganti. Desember terlewatkan dalam hujan deras yang mengguyursepanjang hari. Tak ada ucapan “Selamat Tahun Baru” yang ia terima. Gadis itu bahkan tak ikut pergi bersama teman-temannya yang kebetulan merencanakan merayakan malam tahun baru dengan membakar jagung di sekolah, dan acara lainnya.
            “Coba Gema disuruh kesini tadi… Eh?” Lidya yang bingung dengan ucapannya, mengetuk-ngetuk jidatnya. Lidya jadi tidak mengerti kenapa dia berbicara seperti itu. Tanpa sadar, ia ternyata mengharapkan kehadiran Gema. Cowok itu selalu menemaninya setiap hari. Dia memberinya tawa, keceriaan, semuanya yang memang ia harapkan sejak Daren tidak ada.
            “Lid, gue tadi makan keripik gaul. Perut gue mules banget sumpah.” ucap Gema beberapa minggu lalu di sekolah. Wajahnya pucat asli.
            “Keripik gaul?” Mata Lidya berputar ke kanan dan ke kiri. Ia baru engeh. “Maicih ya?!!” Yap, makanan itu memang menjadi makanan wajib bagi anak-anak yang mengaku dirinya gaul.
            “Iya.” Jawab Gema lirih sambil memegangi perutnya. Tiba-tiba suara letupan bom terdengar dari bangku tempat Gema duduk. Broottttttt!!!
            Ya ampun, ganteng-ganteng, kentutnya bau banget. Untung kelas sedang ramai, berisik sekali. Jadi hanya Lidya yang mendengar. Lidya maenahan tawa sambil menutup hidungnya.
            “Sorry… Hehe… Gue kelepasan!” Gema yang sadar akan aromanya langsung meminta maaf pada cewek di sebelahnya. Dan teman-teman lain yang menyadari aroma busuk itu langsung mencari dimana bau itu berasal. Tapi tetap tidak ketahuan kalau pelakunya adalah Gema, si Pangeran 10 A.
            Lidya juga hampir salting waktu suatu hari Gema membawanya ke acara tunangan  temannya. Digandenganya terus Lidya kemanapun Gema pergi. Hingga semua mata yang melihat jadi tak bisa membedakan, mana yang sedang bertunangan, mana tamu yang diundang.
            Dulu, beberapa bulan lalu setelah Daren meninggal, dia sempat berjanji untuk tidak membuka hati pada siapapun yang mendekatinya. Tapi kenyataan kemudian berbicara lain. Gema memberinya tawa dari hari ke hari. Dan tawa adalah jalan lapang menuju hati.
            Kini Lidya sadar, warna hatinya mulai berubah. Tiba-tiba Lidya tersadar dari lamunannya. Lidya menghela napas panjang, heran kenapa dia jadi menyukai kebersamaan ini. Dan jadi berharap lebih.

***
           
            Sejak Lidya sadar bahwa dirinya menyukai Gema, ada satu hal yang berubah pada cowok itu. Ia tak seperti Gema yang ia kenal belakangan ini.Gema jadi seperti Gema yang dulu pertama ia kenal. Pendiam, dingin dan acuh tak acuh. Lidya jadi takut cintanya bertepuk sebelah tangan.
            Saking takutnya Gema terbang dari sisinya, Lidya mulai menunjukkan rasa sukanya pada Gema. Tapi Gema tak begitu menghiraukannya lagi. Lidya jadi merasa perasaan sukanya diremehkan. Nggak mungkin banget Gema nggak sadar!
            Sehari, dua hari,…
            Sebulan! Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini sudah datang bulan Februari. Teman-teman sekelasnya mulai sibuk mempersiapkan Valentine mereka.
            “Lid, nanti pas hari Valentine gue mau beli dua cokelat, ah.” Gita berkata tiba-tiba pada Lidya yang sedang melamun di taman belakang gedung sekolah.
            Lidya langsung menoleh ke arah Gita. “Banyak amat ampe dua?”
            “Kan selain buat cowok gue, gue juga mau ngasih ke Gerry satu. Hehe.” Jawab Gita penuh semangat. Seperti itulah Gita dimata Lidya, selalu penuh semangat. “Lo nggak beli satu buat Gema?”
            “Gema?” tanyanya sok-sok kurang mendengar. “Ah, nggak deh. Gema kan bukan cowok gue.”
            “Ya, kan gebetan… Hehe…Lho?” Gita yang tertawa tiba-tiba langsung terdiam begitu melihat Gema dan Gerry melintas tak jauh dari mereka. “Si Gerry mau kemana ya sama Gema? Akhir-akhir ini mereka sering keliatan jalan bareng. Jangan-jangan lagi curhat tentang tentang gue dan lo. Hehe…”
            “Duh… Gita! Lo PD amat, sih?” Lidya jadi heran pada cewek satu ini. “Nggak mungkin banget lah ngomongin kita. Dan…” Lidya mendadak bisu begitu satu pikiran menyelimuti bayang-bayangnya. Kenapa Gema dan Gerry jadi dekat? Setahunya, Gema suka jengkel kalau berada didekatnya. Atau mungkinkah mereka jadi dekat karena karate di masa lalu telah mereka menyatukan mereka? Lidya terus berpikir.

***

            Lidya berjalan sempoyongan mengikuti Gita yang berada semeter di depannya. Di tangannya bertumpuk tujuh kantong belanjaan yang membuat kakinya hampir tidak terlihat.
            Dari berjam-jam yang lalu mereka berputar-putar memasuki toko untuk membeli berbagai baju-baju lucu dan saudara-saudaranya. Tapi semua itu milik Gita. Lidya tak habis pikir. Buat apa barang sebanyak ini? Papanya nggak jantungan ya? Dalam dua jam, anaknya menghabiskan tiga juta buat semua barang ini. Emang beda kalo jadi anak orang kaya. Cukup gesek-gesek kartu, barang langsung berpindah tangan.
            “Berat ya?” Gita dengan polosnya bertanya seperti itu. “Gue Bantu deh.”
            “Dasar sarap!” Lidya jadi tidak melanjutkan kejengkelannya saat melihat Gema dan Gerry melintas agak jauh dari dirinya. Dua cowok itu sepertinya mau nonton, deh, pikir Lidya. Lidya yang penasaran jadi mengikuti mereka.
            “Lid. Lo mau kemana?”
            “Gue tiba-tiba pengen nonton, nih.”
            “Ah gue juga! Yuk nonton. Tapi gue nitipin ini di penitipan barang dulu ya. Lo tunggu disini, jangan kemana-mana!”
           
***

            Film itu telah diputar. Sejak masuk ke dalam ruangan, Gita ngedumel tak ada habisnya. Dari awal dia tak ingin menonton film horror. Lalu tiba-tiba Gita menyadari sesuatu.
            “Lho?” Gita agak bingung begitu melihat dua cowok yang tak asing baginya ada di depan mereka, tapi agak serong ke kiri, sih. “Itu kan si Ge…”
            Lidya buru-buru membungkam mulut Gita. Suaranya bisa membuat semua mata tertuju padanya, termasuk Gema dan Gerry. “Sssst!!! Diem dong, Git! Ntar dianya nengok ke kita!”
            “Jangan bilang lo nonton cuma mau ngintilin mereka!?” Gita menaikkan sebelah alisnya.
            “Diem dulu! Ntar gue ceritain. Gue tuh sekarang pengen liat sejauh apa pertemanan mereka. Gue punya feeling nggak enak. Kayaknya ada sesuatu diantara mereka.”
            “Sesuatu?” Gita bertanya antusias sekali.
            Tak hanya Lidya yang terus memperhatikan Gema dan Gerry, Gita juga ternyata seperti itu. Dua cowok itu tak begitu memperhatikan filmnya. Mereka justru asyik mengobrol. Mereka terlihat akrab sekali, persis adik-kakak. Lucu.
            Tapi kok jadi mesra gitu? Lidya jadi merasa ada yang janggal. Ditambah dia melihat Gerry merangkul Gema, dan Gema langsung menaruh kepalanya di bahu kanan Gerry.
            “Ya ampun! Gerry nyium pipi Gema!!!”





Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)