Sabtu, 05 November 2011

Barangkali Cinta #2

Cerita Sebelumnya (Klik untuk cerita sebelumnya)




            Di dalam kamarnya yang sengaja dibiarkan hening, tanpa alunan musik seperti biasanya, Daren terduduk diam di depan meja belajarnya. Cowok itu menatap selembar foto yang ada di depannya.
            “Seandainya lo tau apa yang terjadi sama gue sekarang, Lid. Gue butuh lo banget. Untuk sekarang ini… dan untuk beberapa saat lagi sampai pada akhirnya gue udah nggak ada di dunia ini lagi.”
            Tanpa sadar Daren menjatuhkan air matanya. Daren menangis tanpa suara. Segera dihapuskannya air mata pada kedua pipinya. Lalu dibalikkannya lembar foto itu. Disana tertulis “Daren Dermawan & Lidya Egisty – 23 Desember 2009”
            Pada pertengahan tahun 2009, lebih tepatnya pada saat kenaikkan kelas ke kelas 8 SMP, Daren bertemu dengan Lidya di kelas yang sama. Daren sekelas dengan cewek berambut ikal panjang berponi itu sampai mereka kelas 9. Sebenarnya Daren sudah menyukai Lidya sejak mereka baru masuk SMP atau pada saat mereka sedang MOS. Terlebih lagi, merekalah Raja dan Ratu MOS pada saat itu. Makin senanglah hati Daren. Tapi Daren tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya sampai mereka kelas 8. Itu pun hasil kerja keras teman-teman sekelas yang “tidak tahan” melihat pasangan kocak itu.
            Di SMP tempat mereka bersekolah, Daren dan Lidya cukup berprestasi. Sehingga saat ini mereka pun masuk di SMA negeri favorit. Masuk di sekolah yang sama ini memang keinginan mereka dan atas kerja keras mereka sendiri juga.
            Setelah hampir satu semester menjadi siswa SMA, Daren mengenal siswi di kelas lain bernama Nelly. Nelly adalah cewek cantik berparas indo. Kulitnya putih, rambutnya panjang lurus dan sedikit pirang terang. Entah kenapa Daren bisa sebodoh ini untuk menduakan Lidya. Daren tidak benar-benar ingin melakukan ini. Semua ini berawal dari perkenalan mereka di pemilihan osis beberapa waktu lalu.
            Daren berpacaran dengan Nelly hanya sampai beberapa hari saja. Lidya marah sekali pada saat mengetahui prakara itu. Baru sekali ini dia mengenal yang namanya pacaran, dan kali ini juga dia merasakan yang disakiti pacarnya.
            Tiba-tiba ponsel Daren berbunyi. Satu SMS masuk ke nomornya. Ditariknya napas panjang-panjang. Disandarkannya punggungnya ke sandaran sofa dalam kamarnya. Kedua matanya menerawang langit-langit kamar. Memikirkan apa yang akan terjadi besok, dirinya benar-benar tidak tahu lagi.
***
            “Idih… lo kenapa senyum-senyum sendiri? Kemaren tampang lo nggak enak diliat, sekarang tampang lo bikin enek kalo diliat.” Kak Lintang terus memperhatikan adik kesayangannya sambil menahan tawa.
            “Apaan, sih, kakak!” seru Lidya yang masih menghabiskan roti di meja makan.
            “Lagian lo aneh, sih! Balikan, ya, sama Daren?”
            “Balikan? Ish… Kurang kerjaan banget balikan sama dia.
            “Mau dianter nggak?”
            “Nggak kak. Hari ini ada yang jemput Lidya.” Wajah Lidya langsung bersemu merah.
            “Ck!” Kak Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini jelas pasti ada apa-apanya.
            Deru motor yang dipacu kencang terdengar di kejauhan. Lama-lama semakin dekat dan semakin menusuk kuping. Dan akhirnya berhenti di depan rumah. Alis Lidya bertaut. Ia pun segera berlari keluar. Buru-buru dia loncat dari kursi. Tuh kan…
            “Udah siap?”
            Lidya menatapnya dingin. Sejujurnya, dia sudah tidak mau pusing lagi sama urusannya Daren. Lidya tidak mau peduli lagi padanya. “Gue udah ada yang mau jemput.”
            “Oh, ya?” Daren mengangkat kedua alisnya. Sedikit menebak. “Siapa? Kak Satria?”
            Tidak sampai 2 menit, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tanpa disadari, bibir Lidya membentuk senyum merekah saat kedatangan Kak Satria.
            “Eh, Daren bareng kita juga, Lid?” Tanya Kak Satria sekilas menatap Daren.
            Tanpa menunggu jawaban dari Lidya, Daren menjawab, “Saya tadinya mau jemput Lidya. Tapi dia kayaknya lebih seneng kalo kakak yang jemput. Saya duluan deh.” Daren pun pergi meninggalkan mereka berdua.
            Sesaat Lidya dan Kak Satria terdiam setelah Daren pergi meninggalkan mereka.
            “Daren nggak apa-apa?”
            “Nggak tau”, jawabnya tanpa ekspresi. “Berangkat sekarang aja, yuk, kak.”
***
            Betapa kagetnya Lidya begitu sampai di kelasnya, karena dia pikir dia bakalan jadi orang pertama yang menginjakkan kakinya di kelas. Tapi ternyata! Ihhhhh… Konyol banget! Keki sekali dia begitu melihat bangkunya keburu disambar orang. Anak-anak ceweknya juga pada duduk disana pula. Terpaksa Lidya ngungsi di tempat lain.
            Lidya baru ingat sesuatu. Anak baru yang katanya ganteng itu kan duduk berdua sama dia. Pantes cewek-cewek pada bertengger disana. Kelas pun menjadi gaduh ketika bel berbunyi. Anak-anak cowoknya hampir semua sudah masuk ke kelas.
            “Minggir!”
            Semua tersentak kaget dan menoleh ke sumber suara. Hoh… Si Ganteng yang bersuara tadi. Setelah kedatangan tuh cowok, cewek-cewek yang sepertinya ketakutan kena bentak Gema dan langsung duduk di tempatnya masing-masing. Tidak ada yang menyangka kalau ternyata selain dingin, Gema bisa galak juga.
            Lidya duduk di tempat duduknya. Dikeluarkannya buku-buku pelajaran dan alat tulis miliknya. Sedikit ditatapnya Gema. Entah sadar karena telah diperhatikan, atau sedang tidak sengaja menoleh kearah Lidya, Gema pun gantian menatap Lidya.
            “Kenapa liat-liat gue?”
Glekkk! “Ih… Siapa yang liat-liat lo?!” Lidya langsung membuang mukanya. Dia tidak tahu kalau dia ketahuan melirik-lirik Gema.
Tanpa disengaja, matanya melihat tempat duduk Daren. Hari ini dia tidak masuk sekolah. Padahal jelas-jelas tadi Daren mau menjemput Lidya. Ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Lidya merasa khawatir. Sejak putus darinya, Lidya tidak pernah tahu lagi keadaan Daren. Inginnya sih tidak peduli. Tapi Lidya ternyata tidak bisa untuk tidak peduli pada Daren. Mungkin ini dikarenakan hubungan mereka yang sudah terlalu dekat dan sudah sejak lama bersama.
Kalau dipikir-pikir, ternyata selama beberapa hari ini Lidya sudah egois. Padahal bisa saja dia memaafkan Daren. Lalu balikan. Atau jika memang sudah tidak ingin melanjutkan lagi, Lidya bisa saja berteman biasa dengannya.
“Lo galau, ya?”
Lidya menoleh dan menatap sinis pada si penanya. Sambil menyipitkan matanya yang memang sudah sipit itu, dia berkata pada Gema “Siapa? Gue? Nggak!”
“Daren nggak akan masuk.”
“Kenapa?”
“Dia sakit.”
“Sakit apa? Tadi kayaknya dia nggak apa-apa, deh.”
“Kayaknya, kan? Emangnya lo tau keadaan dia kayak gimana?”
“Hmm…” waktu Daren datang ke rumah Lidya, memang dia kelihatan sehat. Tapi wajahnya agak pucat. “Dia… sakit apa?”
“Lo kan mantannya, masa nggak tau.”
Lidya pun termenung sesaat. Masa iya sih Daren frustasi gara-gara putus dari Lidya, terus nggak mau makan, nggak mau mandi, nggak mau ngapa-ngapain,… ih… berlebihan banget! Nggak mungkin begitu, pikirnya.
Diingatnya lagi masa-masa disaat mereka masih duduk di bangku SMP. Pertama kali Lidya melihat Daren sakit yaitu ketika Daren mengeluh sakit sambil memegangi dahinya. Tapi dia hanya mengatakan bahwa kepalanya sedikit pusing karena belum tidur semalaman untuk mengerjakan tugas.
“Ngomong-ngomong kok lo tau kalo dia sakit dan nggak akan masuk?”
Daren hanya menatap Lidya sambil tersenyum kecil tanpa bicara apa-apa. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya, kemudian keluar kelas.
“Sialan… Gue dikacangin…” Lidya mendesis kesal. Tapi dilain sisi dia menjadi bingung. Hatinya sedih ketika mengetahui kalau Daren sakit. Ditambah lagi dia sudah jahat terhadap Daren. Lidya duduk terdiam di bangkunya.
Entah sudah berapa hari dia enggan bicara pada Daren.
“Lid, lo kenapa? Lo mau nangis, ya?”
Lidya menengadahkan kepalanya. Ditatapnya Gita, “Git, gue khawatir deh sama Daren. Nggak mungkin banget kan dia bolos?! Gue takut dia kenapa-kenapa.”
“Cie… Katanya udah nggak mau peduli lagi.”
“Gue emang kesel banget. Tapi, yang namanya udah pacaran lama, Git, gue tetep aja nggak bisa lupain dia.”
“Masih sayang kan lo sama dia?!”
Jlebbbb! Pertanyaan Gita bikin Lidya menegakkan duduknya. Lidya tidak sanggup untuk menjawab. Terlalu banyak yang ingin ia katakan pada sohibnya ini. Air matanya sudah tidak bisa ia tahan lagi.
Untunglah pelajaran jam pertama sampai jam keempat tidak ada guru yang masuk. Jadi Lidya bisa menenangkan pikirannya. Gita juga terus memberikannya semangat seharian ini di sekolah. Gita juga tidak lupa untuk mengirim pesan ke Kak Lintang untuk menjemput sohibnya.
***
“Lid, tadi kakak nemu kertas ini di depan teras. Kayak surat gitu, deh. Cieee… dapet surat cinta nih yee…”
“Ada nama si pengirim nggak, kak?” Tanya Lidya yang sedang tidur-tiduran di ruang tamu rumahnya.
“Nggak ada. Nih…”
Dibuka oleh Lidya lipatan kertas pink itu pelan-pelan. Dilihatnya ada banyak kalimat disini. Semua ditulis dengan tinta biru. Ia hapal tulisan tangan ini. Dibacanya bait demi bait isi surat ini. Sebuah puisi terangkai untuk dirinya. Perlu pemahaman yang ekstra untuk bisa mengerti maksud yang tertulis.
Baru sampai dibaris keempat, Lidya pindah ke kamarnya. Mungkin memang harus konsentrasi membaca tulisan-tulisan ini. Ditutup rapat-rapat dan ia kunci pintu kamarnya. Diulanginya membaca puisi itu.
Wajah Telaga
Wajah telaga tidak pernah berdusta
Ia bergetar saat udara halus menyapu mukanya
Ia beriak saat angin lincah mengajaknya menari
Ia tak menghindar dari undangan alam tempatnya menghampar
Menghadap awan yang menunggu sabar dini hari datang
Untuk keduanya bersentuhan
Wajah telaga tidak pernah menyangkal
Ia membeku saat langit memecah menjadi miliaran kristal putih
Ia mencair saat matahari kembali di angkasa tanpa serpih
Ia tak bersembunyi dari perubahan dan gejolak hati
Menanti awan yang berubah tak pasti hingga pagi hari datang
Dan keduanya berpulang pada kejujuran
Izinkan wajahku menjadi wajah telaga
Merona saat disulut cinta
Menangis saat batin kehilangan kata
Memerah saat dihinggapi amarah
Menggurat saat digores waktu
Izinkan wajahku bersuara apa adanya
Bagai telaga yang tak menolak lumut juga lumpur
Namun tetap teguh dan ikhlasnya
Kepada udara, kepada surya, kepada alam raya
Menanti engkau yang melayang mencari arti hingga dini hari datang
Lalu kau luruh menjadi embun yang mengecupi halus wajahku
Saat engkau mencair menjadi aku dan aku hidup oleh sentuhanmu
Bersua tanpa samaran apa-apa
Saat semua cuma cinta
Cinta semua saat
Dan bukan lagi saat demi saat*
Dibacanya kembali semua tulisan ini. Sedikit demi sedikit Lidya mulai paham maksud dari kalimat ini. Diambilnya ponsel di atas meja belajarnya.
To: Darendut
Daren… Aku kangen kamu, aku rindu kamu… Kamu dimana? Kamu baik-baik aja kan? Aku khawatir sama kamu…
           
*) Wajah Telaga, Dewi Lestari  




Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)