Rabu, 16 November 2011

Barangkali Cinta #11


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)



            Gerry yang terdengar kaget langsung menutup teleponnya. Lidya jadi ingat lagi kejadian kemarin di bioskop itu. Rasanya dia ingin muntah. Tak lama kemudian, Gema datang.
            “Lid? Kok lo bengong?”
            Lidya masih belum sadar Gema memanggilnya. Akhirnya Gema menyentil jidat Lidya. “Ah! Sakit tau!”
            “Hehe… Lagian lo bengong aja sih!” Gema langsung merangkulnya, dan mengajak pergi dari situ.
            “Gema, aku mau ngomong, deh.”
            Gema mendadak menghentikan langkahnya. “Penting?”
            “Penting banget. Tapi…” Lidya tiba-tiba berpikir sejenak. Kalau dibicarakan disini, kalau tiba-tiba Gema marah, dia bisa ditinggal sendirian. “Kita ngomongnya di rumah aku aja gimana?”
            Senyum kecil mengembang di bibir Gema. Dia tak tahu kalau sedikit lagi dia pasti akan malu sekali. “Duileee… Ada apa sih tumben-tumbenan ngajak ke rumah?”
            Lidya tertawa, tertawa yang dibuat-dibuat.

***

            Begitu sampai di rumah, Lidya dimarahi Mamanya karena pulang agak malam. Gema membantunya mencari alasan. Ternyata Mamanya adalah tipe orang yang mampu dipengaruhi orang lain.
            Gema dibiarkan duduk menunggu Lidya di ruang tamu. Lidya jadi maju mundur mau membicarakan masalah kemarin itu, masalah antara cowok itu dan Gerry. Tapi sudah terlanjur membawanya kesini. Setelah berganti baju, Lidya menemui Gema.
            “Maaf lama.” Lidya langsung duduk di sebelah Gema.
            Gema agak menggeser duduknya. Ditatapnya Lidya lekat-lekat. “Nggak apa-apa. Emang lo mau ngomong apa, sih? Kok, mukanya serius banget gitu?”
            Mampus, batinnya. Lidya jadi salah tingkah. Gema pasti malu banget kalau pernah dipergokinya lagi berduaan sama Gerry di bioskop. “Ng… Kemarin lo main di Semanggi ya?” Glek! Kenapa langsung ngomong itu ya?! Lidya menatap Gema takut-takut.
            “Hah?” Gema sepertinya shock begitu Lidya bicara. “Kok lo tau sih?”
            “Kemarin gue bahkan nggak senngaja ngeliat lo di bioskop pas gue sama Gita mau nonton… Ups…” Lidya jadi ketularan bawelnya Gita. Lidya buru-buru menutup mulut.
            Gema yang terlalu kaget, hanya bisa diam saja tanpa bisa bergerak. Tubuhnya kaku. Wajahnya masih menatap Lidya.
            “Gem, kok lo…”
            Tanpa menunggu Lidya menyelesaikan kalimatnya, Gema langsung berkata, “Gue tuh iseng, Lid. Apa yang lo liat, itu nggak ada apa-apanya. Gue sama Gerry nggak ada apa-apa! Suer!”
            “Ada apa-apa juga nggak masalah kok, Gem. Jujur gue geli sebelumnya. Tapi kenapa lo bisa kayak gitu?” tanya Lidya penuh arti.
            Gema tiba-tiba memegang tangan Lidya. Menaruh kedua telapak tangan Lidya di atas pangkuannya. Gema mulai membuka suara, “Aku telah bernyanyi untukmu, tapi kau tidak juga menari. Aku telah menangis di depanmu, tapi kau tidak jugaa menari. Haruskah aku menangis sambil bernyanyi?”
            Lidya agak bingung, tapi ia mengerti benar maksud dari perkataan Gema. Lidya menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia senang. Tapi Gema belum mengatakan perasaannya.
            Gema menambahkan, “Lid, dari pertama kali Daren cerita tentang lo, gue udah tertarik sama lo. Tertarik dalam artian gue pengen banget ketemu dan kenal lo secara langsung, nggak hanya denger cerita dari Daren. Daren terlalu detail menceritakan segalanya tentang lo.”
            “Terus?” Lidya bertanya hati-hati.
            “Dulu, pertama kali gue jadi temen sekelas lo, gue yakin perasaan gue nggak akan berubah. Tapi begitu gue mengenal lo, ada yang berubah, Lid. Gue juga suka iri liat lo sama Daren, betapa lo sayang banget sama Daren, betapa lo perhatian sama Dia. Dan sekarang Daren nggak ada.”
            Lidya geregetan banget sama Gema. Mau nembak aja lama banget! “Jadi?”
            “Gue kangen pacar gue, Lid.”
            “Hah?” Lidya keburu terkejut.
            “Tapi gue nggak punya pacar.”
            Alis Lidya bertatut.
            “Lo mau nggak gue kangenin?” Gema bertanya pada Lidya yang masih kebingungan. Tapi ia yakin, Lidya mengerti maksudnya. Dia bisa melihat itu di wajah Lidya yang bersemu merah.
            Lidya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gue mau.”
            “Serius?” Gema yang terlihat senang langsung berdiri dari tempat duduknya. “Kalo gitu sekarang manggilnya aku-kamu dong?” Gema tertawa senang. Baru saja ia ingin mencium kening Lidya, tiba-tiba Lidya dipanggil Mama.
            “Disuruh ngapain, yang?” tanya Gema begitu Lidya keluar dari dapur. Mukanya cemberut.
            “Disuruh Mama ke warung beli beras. Huh!” Lidya lalu keluar rumah.
            Gema langsung ikut keluar. “Aku ikut!”

***
           

            “Ren, gue jadian sama cewek lo.” Ucap Gema begitu saja sambil menatap foto Daren yang ada di kamarnya. “Dan dia mau jadi cewek gue. Lo rela kan?”
            Gema yang kini sedang duduk di meja belajarnya, langsung ingat sesuatu. Ia harus mengatakan ini pada Gerry. Gema memutuskan untuk memberitahu Gerry lewat SMS.

            To: Gerry
            Ger…

            From: Gerry
            Knp sayang?

            To: Gerry
            Kita udahan yah

            From: Gerry
            Kok? Knp emang?

            To: Gerry
            Cewek yg gue suka udah jadian sama gue td

            From: Gerry
            Lidya? Oh. Oke. Gue terima

            To: Gerry
            Maaf ya. Lo jg cari cewek dong! Hehe

            Pesan terakhir Gema, belum sempat dibalas Gerry. Gema memutuskan untuk tidur. Sebelum ia memejamkan mata, ia mengirim pesan selamat tidur dulu untuk Lidya.

To: Lidya
Seribu jejak kupijak
Seribu garis kugores
Membawaku ke dalam negerimu,
Mengais mimpimu mlm ini.
Met bobo, sayang :*

***

Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)