Sabtu, 12 November 2011

Barangkali Cinta #8


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)



            Lidya terus memperhatikan medali itu. Lidya baru kali ini melihat medali besar bergambar dua orang yang sedang adu karate. Sedangkan Gema sedang mengingat-ingat dimana dia pernah melihat medali seperti itu. Karena ia tak asing dengan benda itu.
            Gema menarik medali yang ada di tangan Lidya. “Dimana lo dapet medali ini?” tanyanya pada Gerry.
            Gerry lalu menarik napas, dan membuangnya perlahan. Tak habis pikir kenapa Gema bisa sepikun ini. “Enam tahun lal…” Belum selesai meneruskan kata-katanya, ponsel milik Gerry berdering. “Ya? Oh… Iya… Mamas kesana sekarang.” Lalu Gerry menutup teleponnya. “Gem, Lid, maaf ya gue mesti balik ke rumah. Adik gue yang kecil jatuh dari sepeda, dahinya sobek, harus dijahit. Duluan, ya…”
            “Eh, iya, Ger. Cepet sembuh deh ya…” Lidya lalu melambaikan tangannya pada Gerry. Sebelum pergi, Gerry juga membalas lambaian tangan Lidya.

***

            UTS sebentar lagi. Gema harus mempersiapkan semuanya dari sekarang. Begitu dia mencari-cari buku catatan Fisikanya, Gema mendapati satu kotak bingkisan di samping lemari bajunya. Ia tak ingat apa saja yang ada di dalamnya. Tapi ia ingat bahwa disanalah ia meletakkan beberapa mainannya sejak enam tahun lalu.
            Enam tahun lalu?!
            Cepat-cepat ia buka kotak itu. Dan…
            “Gue inget sekarang!” ujarnya, ketika dia menemukan medali yang ia dapatkan pada pertandingan karate enam tahun lalu. Medali itu sama persis dengan yang dimiliki Gerry, hanya saja yang ini lebih besar.
            Tapi kenapa dia kesini? Ada urusan apa? Pikir Gema yang sedikit bingung. Dia terus mengingat-ingat kenangan masa kecilnya. Ia tak ingat pernah berteman dengan Gerry. Yang ia ingat, ia bertemu lawannya itu pertama kali di pertandingan. Dia juga tak pernah berkenalan dengan cowok itu. Tiba-tiba lagu Bonamana – SuJu terdengar di telinganya. Baru kali ini Lidya meneleponnya.
            “Kenapa, Lid?”
            “Ada PR, nggak?” tanya orang di seberang.
            Gema tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha…”
            “Kok lo malah ketawa, sih? Ngeselin banget.”
            “Hehe, nggak apa-apa. Lagian masih jaman gitu ya, nelepon orang malem-malem buat nanya PR? To the point, aja. Ada perlu apa?”
            “Ih lo tuh, ya.” Lidya jadi malu karena ia ketahuan pura-puranya. “Gue sebenernya cuma mau tanya sesuatu.”
            “Mau tanya apa emang?”
            “Nggak jadi, deh. Besok aja. Udah, ya. Daaaaah…”
            Telepon yang berdurasi empat menit itu langsung terputus. Gema jadi tertawa lagi, dengan tingkah cewek itu. Lidya mau menanyakan apa ya malem-malem begini?
            Gema mengambil ponselnya lagi, ia lalu mengirim SMS ke nomor Lidya.

            To: Lidya
            Lo mau nanya apa td? Gue kalo penasaran, bisa susah tidur ntar.

            Setelah pesan itu terkirim, Gema membuka-buka buku pelajarannya. Sambil menunggu SMS dari Lidya, dia bisa membaca-baca buku. Begitu membuka buku tebal berwarna merah bertuliskan Fisika yang tulisannya segede gajah itu, dia melihat coretan-coretan disana. Tulisan rapi, tinta biru, itu ciri Daren banget.

            Saat kau mencintai seseorang
            seperti cintanya padamu,
            maka kaupun akan bertambah dewasa

            Gema berdecak kesal. Sepupunya itu saking senangnya menulis, sampai-sampai menulis dimana saja, di tempat manapun yang orang lain tak mengira. Tapi haruskah di buku Fisika miliknya? Di halaman pertama pula!?
            Gema memaklumi kebiasaan almarhum Daren. Mungkin dia menulis ini sebagai pesan dari dirinya untuk Gema. “Apa gue nggak dewasa di mata lo, Ren?” Gema bertanya sambil menatap bingkai foto Daren. “Ren, gue bingung. Kalo gue suka dan ngerebut dia dari lo, lo rela nggak?” Seperti orang gila, Gema berbicara sendiri.
            Lidya akhirnya pun membalas SMS Gema.
           
            From: Lidya
            Gue kangen Daren, Gem. Terkadang gue suka ngerasa dia ada di deket gue tiap gue kangen dia. Gue jadi pengen ikut dia aja, Gem :”

            To: Lidya
            Lo jangan ngaco, deh! Lid, lo tau nggak?

            From: Lidya
            Tau apa?
           
            To: Lidya
            Lo cantik :D

            From: Lidya
            Gombal!!

            Gema jadi tertawa-tertawa sendiri SMS-an dengan pujaannya itu. Terkadang dia tak bisa menahan diri untuk memuji cewek itu. Selain manis, cewek itu ternyata lucu. Pantas Daren memilihnya, batin Gema.
           
            To: Lidya
            Besok nonton sama gue mau nggak?

            Itu SMS terakhir yang Gema kirimkan ke Lidya. Setelahnya, Lidya tak membalas lagi. Sepertinya Lidya ketiduran, tapi kemungkinan besar dia malas menjawabnya.
            Gema menarik bantal dan guling miliknya, lalu tidur dengan nyenyak.

***

            Keesokan paginya, tepat jam enam pagi Lidya sudah siap untuk pergi ke sekolah. Kebetulan malam ini tidurnya nyenyak sekali. Ditambah, dia bermimpi indah. Dia memimpikan Daren.
            Suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah Lidya. Lidya buru-buru ke dapur, mencari Mamanya.
            “Ma, Lidya berangkat, ya.”
            “Iya. Dijemput siapa?” Mama Lidya ternyata penasaran juga dengan cowok yang menjadi supir pribadinya sejak kematian Daren. Dan ini pertama kalinya Lidya jalan sama cowok bermobil.
            “Temen sekelas, Ma. Dia sepupunya Daren. Lidya pergi, ya, Ma.” Lidya lalu mencium tangan Mamanya dan menghambur keluar.
            Lidya langsung masuk ke mobil Gema. Gema metanapnya dengan seksama.
            “Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu? Kayak tampang gue nggak mirip manusia aja!”
            “Hehehe… Maaf. Tapi hari ini lo keliatan semangat. Nggak lesu kayak kemaren. Dan itu bikin lo tambah… cantik.”
            Lidya mengernyit. Entah mengapa, Gema jadi seperti Daren disaat mereka baru jadian. Gombalnya persis seperti ini. Dan ini membuat Lidya jadi merasa mual. “Udah deh. Cepetan berangkat!”
            Begitu sampai di kelas dan duduk di bangkunya.
            “Lid, ini…” Gema memberikan kertas kepada Lidya. Terlihat seperti puisi. Gema itu ganteng, tapi tulisannya jauh dari kata rapi. Persis ceker ayam! “Sorry kalo tulisan gue jelek. Tapi gue lagi belajar bikin puisi. Baca ya.”
            Lidya menerima kertas itu. Meski menahan tawa, akhirnya ia baca isi puisi itu.

Perempuan dan Rahasia

Burung tak sempat bertanya
Apakah dirinya merdu
Apa itu yang bernyanyi menembus awan
Dan mengantar hujan
Ia hanya terbang, merajut cinta dengan daun dan musim
Hingga semua telinga terjaga oleh kebenaran suaranya

Kupu-kupu tak dapat bertanya
Apakah dirinya indah
Apa itu yang membentang megah
Menggoda hutan untuk menawan cahaya bintang
Ia hanya hinggap, merajut cinta dengan embun dan bunga
Hingga semua mata terpesona akan kecantikan sayapnya

Bunga tak sanggup bertanya
Apakah dirinya wangi
Apa itu yang meruap, memenuhi udara dan melahirkan kehidupan
Ia hanya tumbuh, merajut cinta dengan liur dan madu
Hingga alam raya terselimuti harum dan warna yang tak pernah diduganya

Seorang laki-laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa-apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya

            Lidya tak pernah menyangka sebelumnya kalau Gema bisa membuat puisi seperti ini. Lidya jadi melongo menatap Gema. Seakan tak percaya, ia bertanya, “Lo yang bikin sendiri?”
            “Iya dong. Gue emang nggak gila nulis puisi. Tapi gue sebenernya sama kayak Daren, suka baca.”
            “Siapa penulis kesukaan lo?”
            Gema berpikir sejenak. Dia lalu menjawab, “Dari semua yang gue suka, gue paling suka banget banget sama Dewi Lestari.”
            Ngek! Siapa tuh? Lidya sama sekali tidak tahu. Karena dia memang tidak hobi membaca, apalagi sampai tahu penulis-penulis di Indonesia.
            “Lo pasti nggak tau, kan? Hehe…” Gema sudah tahu ini dari Daren. Daren memberitahunya bahwa Lidya tidak suka membaca. Dia tak mengerti bahasa-bahasa yang nyastra begitu. Jangankan untuk mengerti sastra, pelajaran Bahasa Indonesia saja dia jarang bisa mengikuti.
            “Hehe… Nanti gue belajar, deh.” Lidya tertawa. Dari cara bicaranya, Gema tahu, serpihan kenangan akan Daren perlahan menghilang.
            “Oh iya, gue beli minum dulu, ya.” Gema lalu pergi keluar kelas, meninggalkan Lidya duduk sendirian di kelas yang sudah lumayan ramai.
            Lidya hanya mengangguk. Begitu dilihatnya dompet hitam di lantai tempat duduk Gema, Lidya langsung memanggil Gema lagi. Tapi telat, cowok itu sudah meninggalkan kelas.
            Begitu Lidya mengambil dompet itu, satu foto terjatuh dari dalamnya. Sepertinya, Gema habis melihat foto itu, tapi lupa menyelipkannnya kembali di tempat foto pada dompetnya. Dilihatnya foto yang terjatuh itu. Di foto itu terdapat foto dirinya bersama cewek manis, berkulit putih. Rambutnya pendek, model bob. Imut banget! Kayaknya foto itu diambil sudah lama. Karena di foto itu Gema masih terlihat kekanak-kanakkan. Rambut Gema dulu cepak berponi ternyata. Manisnya.
            “Gue nggak lama ka… Eh siniin dompet gue!” Gema yang tiba-tiba datang, langsung terkejut ketika melihat tangan kiri Lidya memegang dompetnya, dan foto Eveline di tangan kanannya.
            Lidya yang kaget, jadi merasa tak enak hati. “Duh maaf . Tadi dompet lo jatuh. Pas gue ambil, fotonya…” Belum selesai dia bicara, Gema memotongnya.
            “Ya tapi nggak harus liat-liat foto gue, kan?!!!” Gema membentaknya.
            Lidya terkejut dibentak seperti itu oleh Gema. Bentakan Gema, membuatnya menangis.
            “Lid…?”




Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)