Selasa, 15 November 2011

Barangkali Cinta #10


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)




            Gita berbisik pada Lidya. Histeris sekali dia begitu Gema membalas kecupan itu tepat di bibir Gerry. Gita mendadak shock karenanya. Ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Terlalu mengagetkan.
            Lidya melongo persis sapi ompong. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ini kenyataannya. Gema ternyata… “Ya Tuhan, ini beneran?” Lidya menutup mulutnya saking tak percaya.
            Gita dan Lidya terus menyaksikan adegan itu. Lama juga dua cowok itu berciuman. Mesra sekali kelihatannya. Tapi Gita jadi bergidik geli saat dilihatnya Gerry meremas dada Gema penuh nafsu. Gema ternyata tak diam saja, dia membuka seleting celana abu-abu milik Gerry, tapi Gerry buru-buru menutup seleting celananya. Dan lalu mencubit pipi Gema. Mereka tertawa bersamaan
            “Jijiiiiiiik!!!” Gita sangat ingin muntah melihatnya. Sedangkan Lidya, boro-boro mau muntah. Ia bahkan merasa tak punya mulut. Dia tak mampu berkata-kata.
            Masih lekat dalam pandangannya. Kenapa Gema begini? Sebelumnya dia yakin kalau Gema juga tertarik padanya. Tapi apa karena ini dia mulai menjauh darinya? Lidya jadi heran seheran-herannya.
            Setelah film hampir selesai, dua cowok itu merapikan cara duduk mereka. Lidya dan Gita juga harus bersiap-siap ‘ngumpet’ agar kehadiran mereka tak terlihat oleh Gema.

***

            “Ah sialan!” Berkali-kali cowok itu mondar-mandir di kamarnya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sejak kapan dirinya berubah haluan? Sejak kapan Gerry menarik perhatiannya? Sungguh! Ini aneh!
            Dulu, setahun yang lalu, Gema memang pernah menjalin hubungan sesama jenis. Pada saat itu ia iseng-iseng berpacaran dengan salah seorang mantan kakak kelasnya. Kakak kelasnya itu juga tidak serius memang. Tapi ternyata, ketidakseriusan itu membawakan dampak negatif pada dirinya. Hubungan mereka sudah terlampau jauh untuk sekedar cari sensasi. Tapi begitu Gema pindah ke Jakarta, mereka lost contact karena kesibukkan dua-duanya.
            Ponsel Gema berbunyi. Ada SMS dari Lidya.
           
            From: Lidya
            Gema, kamu lg ngapain?

            Gema menaikkan alis kanannya. Gema yang menjauhi Lidya, jadi merasa aneh. Dia mati-matian membunuh perasaannya terhadap cewek itu. Ia tak ingin memacari Lidya karena merasa tak pantas, terlebih lagi, dia sempat membuat Lidya menangis beberapa waktu lalu.
            To: Lidya
            Kamu? Tumben manggilnya “kamu”?

            From: Lidya
            Iya :D kamu. Gak suka yah?
           
            To: Lidya
            Gak kok J Eh kamu kok blm tidur? Udah malem bgt gini

            From: Lidya
            Aku gak bisa tidur. Tadi aku tabrakan tau.

            To: Lidya
            Serius?

            From: Lidya
            Iya. Tabrakan sm cinta kamu :$

            Senyum berkembang di bibir Gema. Dia sudah tahu kalau Lidya pasti menunjukkan rasa sukanya, entah pada saat kapan pun itu, ia tahu. Buktinya, ada di depannya.
            Tapi, jika cinta itu sudah memberikan sinyalnya, apa yang harus ia tunggu lagi?
           
            To: Lidya
            Cinta? :/
           
            Sudah hampir satu jam Gema menunggu balasan SMS itu. Tapi sepertinya Lidya ketiduran, pikirnya. Lalu ia pun mendengar ponselnya berdering. Gerry calling…
            “Sayang, kamu belum tidur?” Tanya cowok di seberang sana.
            “Belum. Kamu udah makan malem?”
            “Belum. Hehe…” Gerry tertawa. “Ini baru mau makan.”
            “Ya udah. Kamu makan dulu aja sana.”
            Sebelum telepon ditutup tiba-tiba Gerry berkata, “Eh tunggu! Masa tadi di Mall aku kayak ngeliat Lidya sama Gita deh. Mereka lagi asyik belanja gitu. Kira-kira dia liat kita nggak, ya?”
            Gema mendadak bangun dari tempat tidurnya. Kaget. “Terus? Aku nggak tahu. Dia liat ke arah kita nggak? Duh… Gawat, nih.”
            “Tapi se-nggaknya, dia nggak mergokin kita di bioskop.”
            Gema tidak yakin dengan perkataan Gerry. “Ya udahlah. Kamu makan sana. Aku mau tidur duluan.”
            “Oke… Daaaaaah…” telepon pun ditutup oleh Gerry.
           
***

            Lidya mondar-mandir di depan terasnya, menunggu Gema menjemput. Tapi ini udah jam 7!!!! Demi apa pun Lidya panik! Di teleponnya Gema, tapi tak diangkat. Sialan! Rutuknya.
            Baru saja ia ingin masuk ke dalam rumah, mobil Gema datang. Gema buru-buru turun dari mobilnya, dan menyambar tangan Lidya.
            “Lid, sorry gue bangun kesiangan.”
            “Oh… Terus?”
            “Yaudah ayo masuk ke mobil. Kita udah telat. Lima belas menit lagi masuk.” Gema langsung membuka pintu kanannya. Ia persilahkan Lidya untuk duduk. Tapi Lidya tetap diam di tempat. “Kok nggak naik?”
            “Gue nggak jadi masuk, deh. Perjalanan kita ke sekolah aja empat puluh lima menit. Mana keburu!” Lidya marah banget.
            “Duh…” Gema berpikir, dan… “Eh naik mobil gue aja deh dulu.” Gema memaksa Lidya untuk naik. Satu ide muncul di kepala Gema.
            “Mau kemana?”
            “Ke…” Gema pura-pura berpikir. “Pokoknya bukan ke sekolah, deh!”
            “Kita bolos?”
            “Yups… Hehe…”

***
           
            Dua jam-an perjalanan ke tempat yang dituju. Macetnya gila-gilaan! Penyebab dari semua ini adalah perbaikan jalan yang ternyata nggak kelar-kelar! Begitu sampai, perasaan Gema menjadi lega, karena jujur saja, nyetir nggak jalan-jalan itu nggak enak. Bete!
            Gema menepikan mobilnya di parkiran Ancol. Lidya tidak habis pikir. Kalau bolosnya kesini, mana enak pakai seragam sekolah!
            “Lid, ada baju di bagasi. Baju-baju main gue semua. Tapi masih bersih kok. Lo pake baju gue mau kan?” Gema berkata seakan tahu keinginan Lidya.
            “Celananya?” tanyanya singkat.
            Gema berpikir. Memang benar, sih. “Hmm… Yaudah… Kita beli aja. Di sekitar sini pasti ada toko baju gitu. Yukkk!”
            Meski stand-stand baju belum buka semua, setidaknya mereka dapat satu. Setelah itu, Gema mengantar Lidya untuk mengganti baju dan celananya.
            Begitu Lidya keluar dari toilet, Gema tertawa keras. Lidya cemberut begitu ditertawakan seperti ini. “Hahahaha… Kocak banget deh sumpah!”
            Lidya memperhatikan pakainannya. Baju Gema gedenya minta ampun! Terpaksa ia pakai itu. Daripada beli. Kan sayang uangnya. “Udah deh nggak usah ketawa. Ayo cepetan! Lo mau ngajak gue ke pantai kan?”
            Cowok bercelana abu-abu itu tertawa lagi. Sambil mengacak-ngacak rambut Lidya dia berkata, “Gue pengen ngajak lo main beberapa wahana di Dufan.”
            “Serius?” Lidya terlihat senang luar biasa. Sudah lama sekali ia ingin ke tempat ini. Tapi tak pernah sempat dan memang jarang ada uang. “Ayo cepetan!” Lidya menjadi begitu semangat pagi itu.
            “Yuk.” Dirangkulnya cewek itu. Dia berharap, hari ini menjadi hari bersejarah juga bagi dirinya dan cewek itu.

***

            “Nggaaaaaaaaaaaakk!!!” teriak Lidya saat Gema menariknya ke wahana Tornado. “Gue nggak mau naik itu!!!”
            “Kenapa? Kan seru tau! Ayoooo!” Gema menarik Lidya sekuat tenaga. Menyeret tepatnya.
            Setelah beberapa menit mereka bermain, akhirnya selesai juga. Fiuh… Lidya lega sekali. Sebelumnya memang dia takut sekali. Tapi begitu sudah selesai, ia malah pingin naik lagi. “Lagiiiiii!!!” Sekarang gantian Lidya yang menarik-narik Gema.
            Saat Lidya sedang membenarkan celana pendeknya, tiba-tiba Gema berlari meningggalkan Lidya yang masih berdiri sempoyongan. “Eh lo jangan lari dooooong! Tung…” Lidya tidak melanjutkan perkataannya saat melihat Gema jongkok di selokan mengeluarkan isi perutnya. “Hahahahaha… Karateka naik Tornado, kok, bisa muntah ya?!!” Lidya tertawa geli melihat cowok itu. Gema ingin sekali melotot dan mencubit Lidya, tapi perutnya belum bisa diajak kompromi.
            “Hoeeeek…”
            Setelah Gema mulai lega dan meneguk banyak air mineral yang Lidya beli, mereka pun jalan lagi. Lidya berjalan sambil cekikikan terus. Baru kali ini dia melihat teman laki-lakinya muntah saat naik wahana yang lumayan extreme.
            “Udah sih jangan ketawa lagi.” Persis anak kecil, bibir Gema membentuk kerucut. Kesal juga dia dipermalukan begini.
            “Hehe maaf, deh. Abisnya lo lucu. Masa…” Lidya tak melanjutkan kata-katanya, Gema langsung memotong secara tiba-tiba.
            “Oke cukup ya… Kita naik itu aja.” Gema berbicara sambil menunjuk wahana Kora-Kora.
            Lidya melirik Gema dengan tatapan aneh. “Lo kan tadi abis muntah! Nggak inget?! Udah kita ke Istana Boneka aja ya!?” Lidya kasihan juga pada Gema. Maka dari itu, lebih baik main di tempat anak-anak saja. Lagipula, disana lumayan seru juga.
            Seumur-umur Gema tidak pernah masuk ke tempat itu. Tapi Lidya tetap menikmati. Dia bahkan memeluk Gema selama di dalam Istana Boneka itu. Cewek itu terlihat begitu ceria saat melihat boneka-boneka di dalamnya menggoyang-goyangkan kepalanya. “Kocak banget ya, Gem! Haha…”
            Setelah naik beberapa wahana, Gema mengajak Lidya untuk pulang. Kebetulan, waktu juga sudah sangat sore. “Pulang, yuk.”
            Lidya menganggukkan kepalanya. “Tapi kapan-kapan main lagi, ya?”
            Sekarang gantian Gema yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Gema merangkul Lidya dengan mesra. Lidya bahagia menikmati kebersamaan ini. Tapi, Gema masih belum bisa ‘nembak’ cewek itu sekarang-sekarang ini. Dia belum siap.
            “Lid…”
            “Kenapa, Gem?”
            Gema mendekatkan mulutnya pada telinga Lidya. “Lo cantik.”
            “Ih…” Lidya menyubit pinggang Gema dengan keras.
            “Awww… Sakit, Lid.” Gema terus memegangi pinggangnya.
            Lidya tertawa kecil karenanya. “Hehe…” Dalam hati dia berharap, agar Daren mampu merelakan dirinya yang mulai menyukai sesorang selain Daren.
            “Ngomong-ngomong gue pengen ke kamar mandi dulu ya. Nitip ini. Tunggu disini ya!” Sebelum cowok itu berlari ketoilet, dia menitipkan tas dan ponselnya ke Lidya.
            Belum lama ia pegang ponselnya, ponsel itu berdering. Gerry? Untuk apa dia telepon Gema? Takut-takut diangkatnya telepon itu.
            Begitu diangkat, orang di seberang langsung berbicara. “Sayang. Kamu kok nggak bales SMS aku dari pagi?”
            Lidya terdiam. Ternyata benar. Mereka…
            “Halooooo?” Gerry mulai menyadarkan lamunan Lidya.
            “Eh halooo… Sorry Gema lagi di toilet.”
            Gerry jadi bingung kenapa yang menjawab suara cewek. “Emang ini siapa?”
            “Gue… Lidya.”
            “Haaahhh?”



Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)