Selasa, 08 November 2011

Barangkali Cinta #4

Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)


Kembali lagi diingatnya setahun yang lalu. Pertemuan dan perkenalan dirinya dengan seorang cewek di Semarang. Awalnya kedekatan mereka hanya sebatas teman. Lalu tanpa disangka, rasa itu hadir. Membawanya berada dalam dunia kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Dia telah mengenal dari belasan cewek manis, juga cantik. Tapi untuk yang satu ini, tak hanya cantik secara fisik, Eveline, cewek itu memiliki sifat dan kepribadian yang baik.
Setelah beberapa minggu menjadi teman dekatnya, Gema berpikir tak ada salahnya untuk mencoba “nembak” Eveline. Gema sama sekali tak menduga cewek yang ia kenal sebagai cewek alim itu mau menerima dirinya yang sejujurnya badung pada saat SMP dulu.
Tapi hubungan dirinya dengan Eveline tak berjalan lama. Karena penyakit keras menimpa cewek itu. Segala upaya telah ia kerahkan untuk membantu pacarnya. Tapi memang takdir itu tidak ada yang tahu akan seperti apa. Eveline sudah tak sanggup menahan beban hidupnya. Hingga akhirnya dia meninggal. Dia meninggal tepat sehari setelah ulang tahun dirinya.
Taman bunga adalah hadiah terakhir yang Gema tunjukkan pada Eveline. Eveline sangat suka pada bunga. Bagi Gema, Eveline adalah bunga terindah miliknya. Untuk saat itu, kini, esok dan seterusnya.
Sejak kepergian Eveline, Gema terus bersedih sepanjang hari. Semangat serta dorongan-dorongan positif telah diterimanya lewat teman-teman juga keluarganya. Dirinya pun sadar dan yakin, bahwa Eveline pasti juga akan sedih jika melihat pacarnya terus menangisinya.
Tetapi, belum pernah bagi dirinya untuk memulai suatu hubungan lagi dengan cewek manapun sejak Eveline meninggal. Bukannya apa-apa, ia masih belum ingin ada yang menggantikan posisi Eveline di hatinya. Namun janjinya di masa lalu kini sedikit terlupakan. Dirinya menemukan sosok lain dalam hatinya.
“Nggak. Nggak boleh dia. Dia milik Daren. Bukan milik gue.”

***

            “Lid, liat ke langit, deh. Bintang-bintang yang di atas itu adalah separuh bintang yang mau aku kasih liat ke kamu.”
            “Kenapa cuma separuh? Sebagiannya lagi dimana?”
            “Disini.” Daren menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk kanannya. “Aku adalah separuh bintang itu. Bukan dari keindahan. Tapi jauh lebih berarti dari itu, ketulusanlah yang aku ingin berikan sama kamu.”
            Lidya yang gemas pada Daren lalu mencubit pinggang Daren hingga dia kesakitan. “Kamu tuh sok puitis banget sih!” Lidya lalu tertawa bahagia bersama Daren. “Ren…”
            “Ya…?”
            “Janji ya jangan tinggalin aku lagi.”
            Daren melepaskan rangkulannya pada bahu Lidya. Daren terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya menatap Lidya. Tubuh Lidya mendadak lemas sewaktu dia melihat Daren menggeleng.
            “Maaf,Lid. Aku nggak bisa. Aku harus pergi… Maafin aku.”
            Daren berbalik menghadap pintu gerbang rumah Lidya yang mendadak berubah jadi lorong hitam panjang yang entah di mana ujungnys.
            “Kenapa, Ren? Apa maksud kamu? Kamu mau kemana? Aku sayang banget sama kamu! Kamu nggak boleh kemana-mana, Ren!”
            “Aku juga sayang kamu, Lid! Tapi…” Daren tidak meneruskan kalimatnya, dan tiba-tiba Lidya serasa ditarik dari mulut lorong gelap itu dan dijatuhkan di atas tempat tidurnya.
            Mimpi.
            Lidya mengucek matanya, dan melihat jam dinding. Jam dua malam. Dadanya sesak akibat mimpi tadi.

***

            Masih teringat jelas mimpinya tadi malam. Semua itu terasa benar-benar nyata. Memangnya dia mau kemana? Jangan-jangan…
            Plukkk! Boneka kucing miliknya dilempar Kak Lionel tepat di bagian belakang kepalanya.
            “Kak Lionel ngapain tau pake lempar-lempar Pricill.”
            “Lagi ngelamun jorok, lo, ya?” Kak Lionel ini memang orangnya selalu usil. Dia juga terkenal badung di kampusnya. Mengaku dirinya aktivis dan lebih sering terlihat di jalan daripada di dalam kampus. Oleh karenanya, kuliahnya pun sedikit terabaikan.
            “Nggak usah ngurusin urusan gue, deh, Kak.” Tandas Lidya.
            “Udah jam setengah tujuh tuh. Berangkat sana. Lintang nganter nggak?”
            “Nggak. Dia udah berangkat dari tadi. Jemput cewek barunya.”
            “Gue anter, deh.”
            “Nggak perlu. Daren nanti yang jemput. Kita mau berangkat bareng.”
            “Lah? Lo balikkan sama Daren? Hahahaha…” Kak Lionel tertawa keras. Dia ingat betapa kesal Lidya pada saat adik kecilnya itu ngamuk-ngamuk sendiri seharian penuh.
            Lidya melirik kakak tertuanya itu. Cih! Resek banget, deh, demi!
           
***

            Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan karena padatnya lalu lintas di Jakarta, akhirnya sampai juga. Parkiran di sekolah pun sepertinya sudah nyaris penuh setelah kedatangan Lidya dan Daren. Begitu sampai di kelas, Lidya ingin menceritakan mimpinya itu pada Daren.
“Arrghh…” Daren mengaduh kesakitan sambil memegangi kepalanya.
“Lho? Kamu kenapa Daren? Pusing, ya?” Lidya mendadak panik. Ini kedua kalinya Daren memperlihatkan wajah pucatnya.
“Aku nggak apa-apa, kok. Cepet-cepet ke kelas, yuk.”
“Ayo, sayang. Nanti aku beliin kamu obat sakit kepala, deh.”
Setelah membantunya duduk di bangkunya, Lidya berlarian ke UKS untuk meminta obat sakit kepala. Semoga Daren hanya sakit kepala biasa, batinnya.

***

Daren membuka kedua matanya secara perlahan. Ia tidak tahu sejak kapan dirinya berada di tempat ini. Seingat dia, dia masih ada di kelas tadi. Kejadian berikutnya ia tak ingat lagi.
“Daren kamu udah enakkan?” Tanya Lidya pada Daren di UKS.
Daren melirik lemah Lidya. Memegang tangan Lidya. Ia bertanya, “Lid, kok aku disini?”
            “Kamu tadi pingsan pas pelajaran Bu Henny. Kamu sakit, ya? Kok kamu nggak cerita ke aku, sih?”
            Daren termenung. Ia sedih. Ia telah memperlihatkan kelemahannya pada Lidya. Ia tak ingin Lidya bersedih karenanya. Tapi bagaimana pun caranya, Lidya nggak boleh tau bahwa dirinya sakit parah.
            “Kok kamu diem aja, sih?” Lidya bertanya dengan nada yang sedih. Ia tak tahu sepenuhnya keadaan pacarnya.
            “Aku… Aku tadi belum sempat sarapan, Lid.” Daren terpaksa berbohong. Ia lebih memilih merahasiakan hal ini dari Lidya, daripada Lidya harus mengetahui pacarnya tak lama alagi akan pergi meninggalkannya.
            “Iiiiihhhhh!! Pantesan aja kamu begini! Kamu jangan nggak makan gitu dong!” Lidya ternyata mempercayainya. Lidya membuka tasnya. Diambilnya tempat makan yang ia bawa dari rumah. “Sayang, aku tadi bawa bekal. Kamu makan, ya…?”
            Daren tersenyum kecil pada Lidya. Betapa beruntungnya dia bisa mengenal Lidya. Ia lalu menganggukkan kepalanya.

***

            Pintu depan terbuka lebar begitu menerima SMS dari Lidya.

            From: Mungilku
            Sayang, aku otw ke rumah kamu, nih. Jangan kemana-mana, yah.

            To: Mungilku
            Iya :D Buruan yah. Aku tunggu di depan.

            Tidak sampai sepuluh menit Lidya sampai di rumah Daren. Setelah pamit pada Kak Lionel yang telah mengantarnya, ia pun masuk ke dalam rumah Daren. Sebenarnya Lidya dan Daren masih bisa dibilang tetangga. Karena rumah mereka hanya selisih tiga gang.
            Daren menyambut kedatangan Lidya dengan hangat. Dipeluknya pacar tercintanya itu. Lalu digandenganya masuk ke ruang tamu di rumahnya.
            “Sayang, tadi aku habis nulis.”
            “Puisi?” tebak Lidya.
            “Nih…” Daren memberikan kertas putih tersapu warna-warna pelangi. Tertulis tetap dengan tinta warna biru, warna kesukaan Daren.
           
Barangkali Cinta

Barangkali cinta
Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap oleh darahmu
Dan engkau beriak karenanya
Darahku dan darahmu
Terkunci dalam nadi yang berbeda
Namun berpadu dalam badai yang sama

Barangkali cinta
Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke paru-paruku
Dan aku terbakar karenanya
Napasmu dan napasku
Bangkit dari rongga dada yang berbeda
Namun lebur dalam bara yang satu

Barangkali cinta
Jika ujung jemariku mengantar pesan yang menyebar ke seluruh sel kulitmu
Dan engkau memahamiku seketika
Kulitmu dan kulitku
Membalut dua tubuh yang berbeda
Namun berbagi bahasa yang serupa

Barangkali cinta
Jika tatap matamu membuka pintu menuju jiwa
Dan aku dapati rumah yang kucari
Matamu dan mataku
Tersimpan dalam kelopak yang terpisah
Namun bertemu di jalan setapak yang searah

Barangkali cinta
Karena darahku, napasku, kulitku, dan tatap mataku
Kehilangan semua makna dan gunanya
Jika tak ada engkau di seberang sana

Barangkali cinta
Karena darahmu, napasmu, kulitmu, dan tatap matamu
Kehilangan semua perjalanan dan tujuan
Jika tak ada aku di seberang sini

Pastilah cinta
Yang punya cukup daya, hasrat, kelihaian, kecerdasan, dan kebijksanaan
Untuk menghadirkan  engkau, aku, ruang, waktu
Dan menjembatani semuanya
Demi memahami dirinya sendiri*

            “Udah?” Tanya Daren sambil menatap wajah Lidya yang duduk di sebelahnya, di atas sofa yang sama.   
            “Kapan nulis ini?”
            “Tadi pas pulang sekolah. Jangan hilang, ya, sayang.”
            Lidya mengecup kening cowoknya itu. “Iya sayang. Selamanya bakalan aku simpan, kok.”
            “Uhukkk uhhuuuukkkk…” Tiba-tiba Daren batuk. Daren menutup mulut dengan tangannya. Dan… darah segar keluar dari mulut, juga hidungnya. Cepat-cepat ia berlari ke kamar mandi.
            “Reeeeeeeeen…? Kamu kenapa…?” Lidya mengejar Daren. Suaranya yang secara tiba-tiba mengagetkan itu, menarik perhatian orang-orang di rumah Daren, Gema juga dua pembantunya. Gema yang sejak tadi mengetik tugas dengan laptopnya, jadi ikut panik.
            “Ada apa, Lid?” Tanya Gema pada Lidya yang sedang menangis di depan pintu kamar mandi yang tertutup.
            “Daren, Gem. Daren… Tiba-tiba Daren batuk-batuk dan ngeluarin darah dari mulut dan hidungnya.”
            Sunguhkah ini yang terjadi? Gema, yang sudah tahu bagaimana keadaan Daren sebenarnya, tak tahu harus berbuat apa. Tubuh Gema mendadak lemas. Ia jatuh terduduk sambil menutupi wajahnya.
            Jangan hari ini Tuhan, kumohon! Pinta Daren dalam hati.





*) Barangkali Cinta, Dewi Lestari
 




 Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)