Rabu, 09 November 2011

Barangkali Cinta #5


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)


            BRAKKKKKKK! Pintu kamar mandi ia dobrak dengan sekuat tenaga ketika tak ada suara yang terdengar lagi, selain suara air yang terus keluar dari shower. Gema terkejut melihat keadaan sepupunya. Daren sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Segera ia bawa sepupunya itu ke rumah sakit terdekat. Lidya juga ikut mengantar.

***

            Lidya duduk menekuk lutut di sebelah ranjang tempat Daren tertidur. Dokter hanya mengatakan bahwa keadaan Daren baik-baik saja. Daren begitu karena terlalu banyak beban pikiran.
            “Tapi kenapa sampai keluar darah?” Tanya Lidya saat itu, saat Daren melakukan pemeriksaan terhadap tubuhnya.
            “Bukan hanya itu, dia bahkan akan mengalami kebotakan karena mulai sekarang dia harus menjalani kemoterapi. Seharusnya sudah sejak lama ia menjalani proses ini. Tapi sepertinya dia belum ingin melakukannya.”Begitulah Dokter itu menjawabnya.
            “Da… Daren sakit apa?” tanyanya lagi sedikit terbata-bata.
            “Leukimia.”
            Lidya kemudian berdiri mematung setelahnya. Kalau tidak diseret Gema, dia akan jadi patung hidup berjam-jam disana. Dadanya terasa sakit dan hampa. Ia tak tahu lagi apa yang harus ditangisi. Air matanya sudah mongering.
            Terdengar suara pintu diketuk. Lidya tidak menyahut. Pintu itu terbuka dan Gema masuk menghampiri.
            “Lid, kamu pulang aja. Biar aku yang jagain Daren. Nanti kamu dicariin keluarga kamu, lho.”
            Lidya masih diam dan memandangi tubuh Daren. Ia tak ingin meninggalkan Daren disini, meskipun ada Gema menemaninya.
            “Lid, sekarang udah malem banget. Aku telepon Kak Lintang, ya? Biar dia jemput kamu disini.”
            Pikiran Lidya menjadi kosong. Panik, takut, khawatir, sedih, semuanya… Ia tak mampu menerima kenyataan yang terlalu mengejutkan ini. Penyakit yang selama ini ia lihat di film-film di televisi, kini menimpa pacarnya. Terlebih lagi, sudah sangat parah.
            Kalau seperti ini, ia hanya bisa mendo’akan kekasihnya itu. Ia ingin melihat Daren sembuh. Dan hanya itu keinginannya. Lidya tak mau Daren pergi dari sisinya. Tapi, dengan fisiknya yang cukup kelelahan, pulang ke rumah mungkin bagus untuknya saat ini. Daren juga pasti tak ingin melihatnya sakit.
            Satu jam kemudian, Kak Lintang menjemput Lidya tepat di pintu gerbang salah satu rumah sakit ternama di Jakarta itu. Gema saat ini juga mengkhawatirkan keadaan Lidya yang terlihat shock berat.
            “Kak, jagain Lidya, ya.” Gema menitip pesan pada Lidya. Kak Lintang yang tidak mengerti apa-apa, jadi bingung sendiri karenanya.
            “Lidya nggak sakit kan?” Tanya Kak Lintang pada Gema. Ia tak mungkin bertanya pada Lidya. Melihatnya saja sudah seperti mayat hidup. Harus cepat-cepat dibawa ke tempat tidur.
            Gema hanya menggeleng. Lalu kemudian dia berkata, “Kalau keadaannya memungkinkan, Lidya pasti cerita semuanya ke kakak.”
            Kak Lintang masih agak bingung dengan pernyataan Gema. Tapi, ia rasa, Lidya ataupun Gema sedang menjalani masa-masa yang sulit. Ia pun teringat pada Daren. Oh mungkin dia, pikir Kak Lintang.
            Tak lama setelah itu pun, Lidya dan kakaknya pergi dari sana. Kalau biasanya Kak Lintang membawa motor dengan kecepatan diatas rata-rata, saat ini ia membawanya dengan santai.

***

            Lidya masih berbaring di tempat tidurnya. Sejam yang lalu kedua kakaknya sudah keluar dari kamarnya setelah menanyainya mati-matian, karena Lidya tak mau menjawab satu pun pertanyaan dari Kak Lintang, maupun Kak Lionel.
            Keadaan Lidya jadi begitu memprihatinkan. Sayang, di rumahnya hanya ada kedua kakaknya. Orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya. Lidya masih shock dan sulit menerima kenyataan pahit ini.
            Lidya mencoba memejamkan mata, berusaha tidur, tapi rasa kantuknya hilang entah ke mana. Hatinya masih perih. Dadanya  terasa penuh, seakan ingin meledak. Otaknya belum bisa diajak berpikir jernih. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Daren, Daren, dan Daren.
           
***

            Keesokannya, Lidya yang sempat tertidur selama empat jam itu, langsung terbangun dan langsung berkemas-kemas. Cepat-cepat mandi, cepat-cepat makan. Lalu membangunkan salah satu kakaknya.
            “Arrrghhh… Kamu mau kemana, sih, Lid?” Tanya Kak Lintang yang terbangun setelah Lidya mencabut sehelai bulu di kaki Kak Lintang.
            “Rumah sakit. Cepet! Anter aku!” Lidya memaksa kakaknya itu untuk cepat-cepat mengantarnya.

***

            Senyum di wajah Lidya mulai berkembang. Ia melihat Daren sedang disuapi sarapan oleh Gema, saat ia membuka pintu kamar tempat Daren dirawat. Setidaknya Daren terlihat agak segar pagi ini.
            “Kamu udah sehat?” Lidya selalu berharap pacarnya sehat kembali.
            “Iya, sayang. Kamu bawa apa?” Suara Daren masih terdengar lemah. Tapi syukurlah, tatapan wajahnya cerah, secerah langit pagi ini. Ia pun bertanya saat melihat buket tulip kuning di tangan Lidya.
            “Nih…” Lidya menjulurkan tangannya yang menggenggam buket bunga. “Khusus untuk kamu. Arti dari bunga ini adalah harapan cinta. Aku berharap cinta aku ke kamu dan cinta kamu ke aku bakalan abadi. Nggak akan terlupakan untuk selamanya.”
            “Makasih, ya, sayang.” Daren memeluk mesra pacarnya itu. Dia mengacak-ngacak rambut Lidya. Lalu Daren menemukan kertas kecil yang terselip di sela-sela  buket bunga itu. “Lho…? Ini kertas apa?”
            Daren yang sering melakukan ini, kini pacarnya juga melakukan hal yang sama. Daren pun segera membaca tulisan di kertas itu.

Terlunta jiwa melawan masa
Kukikis rasa sepi, melawan gentar di sini
Aku akan setia untukmu

            “Maaf, kata-katanya itu aku nemu dari buku.”
            Daren pun tertawa mendengar pengakuan dari Lidya. Ia memang sudah tahu. Pacarnya tak akan bisa merangkai kalimat-kalimat indah seperti ini. Tapi ia tahu, Lidya menuliskan ini, karena tulus dan sesuai dengan isi hatinya saat ini. “Nggak masalah. Aku suka kok. Aku juga nggak nyangka kamu bakal ngasih tulisan ini. Pake diselipin di buket, lagi.” Lalu dia tertawa lagi.
            “Oh iya sayang. Ini Pricill aku bawa buat nemenin kamu.” Lidya memberikan boneka kucing kesayangannya pada Daren.
            “Jadi boneka yang aku kasih ini kamu namain Pricill? Hehe…”
            Gema ikut menambahkan, “Boneka aja pake dinamain segala.”
            “Kenapa? Lo mau ikut-ikutan ngetawain gue? Ketawa aja sana. Tapi mulai Senin jangan harap bisa duduk sama gue!” Tandas Lidya dengan nada yang judes.
            Tawa Daren dan Gema pecah seketika. Kamar itu jadi ramai karena mereka. Keadaan ini yang selalu Daren harapkan. Canda, tawa, kebahagiaan. Tak ada penderitaan, tak ada kesedihan, tak ada air mata.

***
           
            Dua minggu telah berlalu. Daren sudah kembali sehat. Ia menjalani pengobatan kemo dengan berobat jalan. Tak perlulah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Ia masih mampu menjalani aktivitasnya sebagai siswa SMA yang normal.
            “Cieee yang tiga hari lagi ulang tahun…” ucap Daren di kantin saat makan siang di sekolah.
            “Wahhhh… Traktir dimana, ya, enaknya?” sambung Gita.
            “Ih… Nggak usah heboh gitu, sih.” Lidya berkata sambil mengerucutkan bibirnya.
            “Pokoknya gue maunya makanan berat!” Gema ternyata juga tak mau kalah untuk buka suara.
            “Nggak ada traktir-traktiran. Kita jalan-jalan aja, yuk, ke Lembang. Ada vila punya Papa aku disana. Nanti kita kesana, ajak Kak Lintang dan dan Kak Lionel.” Ucap Lidya.
            “Boleh juga tuh. Apalagi ulang tahunnya pas hari Sabtu, ya. Kita bisa balik Minggu deh.” Kata Gita.

***

            Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ucapan ulang tahun telah diterima Lidya dari semua teman-teman sekolahnya lewat SMS juga ucapan lewat telepon pertama kali oleh Daren. Dan hari ini adalah hari terpenting bagi Lidya. Orang tuanya hadir di pesta kecil-kecilan itu. Hari ini terasa lengkap dengan kehadiran dua kakaknya, kehadiran Daren, juga Gema dan Gita.
            “Lid…” Daren tiba-tiba mendekati Lidya yang sedang menuangkan minum untuk Mamanya. “Keluar sebentar yuk.”
           
***

            “Ini untuk kamu, sayang.” Daren memberikan kotak cantik ukuran besar yang warnanya beraneka ragam. Lalu diatasnya ada pita birunya.
            “Kadonya kok besar, ya? Isinya apa?” Lidya menjadi penasaran dengan isi kadonya. Baru kali ini Daren memberikannya hadiah sebesar ini. Ini, sih, anjing cihahua juga bisa masuk, pikirnya.
            “Aku mau dibukanya kalo udah di Jakarta. Nggak apa-apa, kan?”
            “Ih. Aku kan penasaran tauuuuu.”
            “Lidyaaaaaaaaaa…” Tiba-tiba Mama memanggil Lidya dari dalam ruangan.
            “Sebentar, Maaaaaaaaa…” Lidya menyahuti panggilan Mamanya. Lalu berbicara pada Daren. “Ren, aku masuk dulu, ya…”
            “Jangan lama-lama, ya.”
            “Oke sayang…”
            “Eh tunggu! Kita kan belum foto berdua beberapa waktu ini.” Daren pun mengeluarkan ponselnya. “Senyum…”
            Lidya yang memang dari sananya narsis dan senang foto-foto, langsung mengikuti ajakan Daren untuk foto berdua.
            “Thanks, ya sayang.” Setelah puas melihat fotonya bersama Lidya, diapun mencium pipi cewek itu.
            “Hehe… Dasar… Sebentar, ya. Aku masuk dulu.”

***
            Ketika acara makan-makan telah selesai, semuanya pun berkumpul di ruang tengah. Orang tua Lidya yang sudah kelelahan tak ikut anak-anak muda ini berkumpul. Orang tua langsung masuk ke kamar mereka.
            Ketika asyik menggosip, tiba-tiba Daren mimisan. Darah itu langsung jatuh tepat di pipi Lidya yang sedang tiduran di pangkuan Daren.
            “Daren…?” Lidya langsung terloncat saking kagetnya.
            Daren langsung berlari ke arah kamar mandi. Tapi tak sampai kamar mandi, Daren terjatuh. Kakinya lemas. Lalu dia memegangi kepalanya. Tak lama setelah itu dirinya pingsan tak sadarkan diri.
            Daren pun segera dibawa ke rumah sakit daerah sini. Semuanya panik. Karena mereka bukan berada di Jakarta.

***

            Gema berusaha menghubungi nomor orang tua Daren, Gita sedari tadi membaca doa, dan orang tua Lidya sedang mengurus administrasi di lantai bawah. Semuanya turut kelimpungan. Kakak-kakak Lidya duduk bersebelahan di bangku depan kamar sambil menenangkan Lidya yang menangis tak henti-henti.
            Satu hari Daren koma.
            Dua, tiga… Tak terasa Daren koma selama tiga hari ini.
            Saat Lidya dan Gema menemani Daren, perlahan Daren membuka matanya. Ia mencari-cari Mama dan Papanya. Betapa senang hati Lidya ketika itu. Sayangnya, hari ini Mama dan Papa Daren sedang kembali lagi ke Semarang, dan baru akan kembali lagi besok.
            “Lid… Hadiah dariku udah kamu buka?”
            “Belum…” jawab Lidya dengan pelan. “Kita masih di Bandung. Kata kamu kan, aku boleh buka kadonya kalo udah di Jakarta.”
            Daren prihatin melihat mata panda Lidya. “Aku pengen kamu buka kadonya hari ini, ya?”
            “Ren… Lo masih kuat, kan?” Gema ikut cemas.
            “Gu…” Daren tak mampu meneruskan kata-katanya. Suara Daren mulai hilang dari mulutnya. Lalu Daren menangis. Ia lalu tetap mencoba berbicara. “Gue minta lo jaga Lidya buat gue.”
            “Tenang aja, Ren. Dia akan baik-baik aja. Gue bakalan ngejagain dia.”
            Lidya hanya menangis melihat dua saudara itu berbicara. Lidya pun membuka kado yang memang sudah ia bawa dari hari pertama Daren dibawa ke rumah sakit.
            Perlahan, ia mulai melepaskan pita biru di atasnya. Lalu secara pelan-pelan, ia buka kotak itu. Berbagai macam benda ada disana. Tapi ada satu kertas putih di atasnya, menutupi benda-benda di dalamnya. Kertas itu bertuliskan kalimat-kalimat dengan tinta biru, kesukaan Daren.

Di hari ini tak ada kata-kata yang indah ku rangkai
Ataupun hal istimewa yang mampu kuurai
Dan mungkin tak berarti apa-apa bagimu
Aku menyadari kita pasti akan berpisah
Aku tak bisa membohongi perasaanku bahwa hatiku masih untukmu
Bukannya sok puitis, tapi memang itu lah kenyataannya
Terima kasih atas warna yang pernah kau lukis dalam hidupku
Dan izinkan aku untuk menyimpannya
Walau mungkin sebenarnya aku tak berhak memilikinya lagi
Semua ini karena kau yang terindah
Selamat ulang tahun yang ke 15 Lidyaku
Semoga aku selalu menjadi yang terbaik

08-10-11
Daren Dermawan

            Lidya meneteskan air matanya lagi. Kali ini lebih deras dari yang sebelumnya. Daren, cowok itu, kini menghembuskan napas terakhirnya. Lidya menangis dan histeris melihat kepergian Daren.
            “Nggak boleeeeeeeeeeeh!!” Lidya terus menangis sambil mencoba menggerak-gerakkan tubuh Daren. “Daren kamu udah janji nggak akan tinggalin aku!!! Dareeeeeeen!! Bangun Dareeen!!!!!!!”





Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)