Sabtu, 05 November 2011

Barangkali Cinta


BAB 1

            Malam itu tiba-tiba saja Daren muncul di depan rumah Lidya. Saking dongkolnya, Lidya langsung masuk ke dalam rumah lagi tanpa memperdulikan Daren.
            “Lidyaaaaaaa… Bukain pintunya dong. Dengerin dulu sebentar, aku mau ngomong sama kamu, Lid,” ucap Daren sambil memaksa masuk ke dalam rumah Lidya.
            “Ihh… Males banget gue ngomong sama dia”, gerutu Lidya dalam hati sambil mengunci pintu rumahnya. Lalu Lidya masuk ke dalam kamarnya sambil terus menggerutu, “Ngomong aja sana sama tembok”.
            “Anak mama kenapa, sih, ngedumel aja?” Mama Lidya muncul dari dapur, “Lagian itu pacarnya, kok, nggak disuruh masuk?”
            “Apaan, sih, ma… Aku udah nggak sama dia lagi tau. Udah ah, ma, Lidya mau tidur dulu, kan, besok sekolah.”
            Mama Lidya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak bungsunya. Tidak lama setelah itupun dia menyuruh Daren untuk pulang meninggalkan rumah Lidya. Tentunya dengan bicara baik-baik pada Daren. Daren pun pulang tanpa mengatakan apa-apa lagi pada mama Lidya.
            “Ahh… sebelllll!” Lidya melempar kalender di meja ruang tamunya sambil menghentakkan kaki. “Besok kan Senin. Ketemu lagi, deh, sama si kepala mangkok melamin itu”
            Ia lalu menyeret kaki menuju ranjangnya, lalu duduk sambil menopang dagu di pinggir ranjang. Memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya membuat Lidya kelelahan dan akhirnya tertidur pulas.

***

            Esok paginya, Lidya duduk di meja makan dengan wajah tak berselera. Membayangkan akan melihat wajah Daren dalam waktu kurang dari satu jam benar-benar membuat selera makannya berkurang. Enek malah.
            “Jelek banget muka lo tau nggak?”
            Lidya menengok ke asal suara. “Ih, kak Lintang apaan, sih?”
            Lintang adalah kakak tertua Lidya. Lidya masih punya satu kakak lagi. Namanya Lionel. Tapi Lidya lebih dekat pada kakaknya yang paling tua ini. Selain itu, Lintang adalah idola teman-teman sekolah Lidya. Tidak heran kalau rumah Lidya sering dikunjungi teman-temannya.
            “Itu liat tuh muka lo. Lecek banget! Ada masalah lo, ya, sama Daren?”
            “Udah putus kali gue sama dia”
            “Lah, kok bisa putus gitu sih? Lo putus gara-gara apa emang?”
            “Lo nanya mulu deh kak. Anterin gue cepetan!”
            Lidya berdiri dari kursinya. Lalu bersiap-siap pergi ke sekolah dengan tukang ojek setianya, Kak Lintang. Kak Lintang ini baru masuk kuliah tahun ini. Kebetulan tidak setiap hari masuk pagi, jadi bisa mengantar Lidya ke sekolah.

***

            Baru beberapa menit Lidya sampai di tempat duduknya, Daren datang ke arahnya. “Yaelah… Baru semenit gue napas, udah muncul aja ini orang”, ucapnya dalam hati.
            “Lid, kamu masih marah sama aku? Aku kan udah minta maaf sama kamu. Dan cewek yang namanya Nelly anak 10 F itu udah aku putusin.”
            “Ih… Bodo amat ah! Sana pergi, ih! Gue gerah!”
            “Lo tuh bisa nggak, sih, dengerin gue dulu sebentar?!!” Daren mulai marah pada sikap Lidya yang selalu mengacuhkannya. Tapi Lidya tetap saja tidak memperdulikannya. Daren pun menariknya keluar dari kelas. Semua teman-teman Lidya dan Daren melihat ke arah mereka. Lidya dongkol-sedongkolnya.
            “Dosa apa coba gue sampe bisa kenal sama dia dan sampe-sampe jadian sama dia?” Lidya menggerutu di dalam hatinya. Sambil terus mengikuti langkah Daren, Lidya melihat ada guru olahraga didepannya. “Yes… Gue bisa berlindung sama Pak Dedi”.
            Celakanya dia malah dibawa belok ke arah lapangan. Moodnya langsung berubah180 derajat. Kalau seperti ini Lidya mau berlindung pada siapa. Meringislah Lidya pada saat itu. Lidya tidak mengerti tujuan Daren sebenarnya apa.
            Betapa kagetnya Lidya begitu tiba di lapangan basket, karena dia pikir di lapangan yang ada di dalam ruangan itu banyak anak-anak sekolahnya. Ternyata tidak ada orang sama sekali disini. Lidya kontan bengong. Gila banget! Mau diapain coba deh ini sama Daren.
            “Kamu takut?” ucap Daren sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Lidya.
            “Tau, ah, gelap,” jawab Lidya.
            Dan yang terjadi selanjutnya adalah tiba-tiba Daren mencengkram bahu Lidya dengan keras dan menciumnya. Lalu dengan segera dia meninggalkan Lidya sendirian disana. Saking tidak percayanya Daren bisa sadis begitu, Lidya kontan beku di tempat.
            Dengan tenang, tanpa merasa sudah melakukan tindakan keterlaluan, dan entah sadar atau masa bodo, Daren pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa lagi pada Lidya.
            “Kamu nggak kenapa-kenapa, dek?”
            Lidya mencari-cari sumber suara. Dan… “Eh, kak Satria… Kaka… kaka sejak kapan ada disini?”
            “Dari sebelum kamu dan Daren masuk kesini dan…”
            Lidya buru-buru memotong pembicaraan Kak Satria, “Jadi kaka liat?”
            “Liat lah”, jawabnya sambil tersenyum jahil. Kak Satria itu kan ketua klub basket di sekolahnya. Selain itu, Kak Satria selalu juara kelas dan dia adalah senior yang top banget di mata adik-adik kelas seperti Lidya. Malu banget rasanya kejadian tadi dilihat orang seperfect Kak Satria.
            Muka Lidya seketika menjadi merah. Antara malu dengan tragedi yang terjadi tadi dan… Kak Satria itu ternyata memang ganteng banget. Kayaknya sesuatu banget bisa ngobrol sama Kak Satria.
            “Kamu nggak ke kelas? Udah bel dari 15 menit yang lalu, lho.”
            “Eh, iya, kak. Ini saya mau ke kelas.”
            “Mau dianter nggak?”
            Gila! Seorang Kak Satria yang cool banget itu, yang pinter banget itu, mau nganterin Lidya ke kelas. Ini tuh, wow banget! Tapi nanti dipikir yang nggak-nggak lagi sama anak-anak yang lain. Belum lagi kalau senior yang cewek-cewek lihat. Duh… Ogah deh. “Wah… Saya sendiri aja, kak. Udah, ya, kak, saya ke kelas dulu.”
            Kak Satria memang tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Dia hanya tersenyum lebar mendengar Lidya mengatakan penolakannya tadi. Sumpah! Manis banget senyumnya itu. Lidya jadi merasa ada sesuatu di otaknya itu. Buru-buru dia pergi meninggalkan lapangan basket itu.
           
***

            Semua mata menatap terkesima. Bukan menatap Lidya yang baru saja masuk ke kelas 10 A, tapi pada sosok yang berdiri di depan kelas. Dia berdiri seperti magnet yang kuat. Memukau dengan segala pesona yang dimilikinya. Dia tinggi, rambutnya agak panjang, dan wajahnya memancarkan keangkuhan yang sempurna.
            Lidya yang baru duduk di tempat duduknya, langsung bertanya pada teman di belakangnya, “Gita, cowok yang di depan itu siapa, sih?”
            “Oh itu anak baru. Pindahan dari Semarang. Denger-denger, sih, katanya dia pindah ke sekolah kita karena ada sepupunya disini”, jawab Gita. Lalu dia menambahkan lagi, “Eh, tapi dia ganteng, ya, Lid?! Liat deh tampangnya, gayanya, aaaaaa… cowok banget!!!”
            Si Gita ini… Paling tidak bisa diem kalau sudah lihat cowok keren di depannya. Pakai segala bicara panjang lebar begitu. Kayak belum pernah lihat cowok beneran saja.
            “Nama saya Gema Yorkie Marshekal. Tapi cukup panggil Gema saja,” ucapnya. Tegas tapi dingin Dan sama sekali tanpa senyum. Boro-boro senyum. Belagu banget mukanya.
            “Baik Gema. Silahkan, Gema, pilih tempat duduk untukmu.” Sambung Bu Elly, wali kelas 10 A.
            Gema pun langsung mengangguk hormat, lalu memandang sekeliling. Semua cewek di kelas Lidya langsung jadi overacting dan berusaha menarik perhatian Gema agar duduk tak jauh dari mereka.
            Pilihan Gema pun jatuh ke seraut wajah tak acuh yang sejak awal telah menarik perhatiannya. Wajah yang dia tahu persis betul-betul tidak peduli, yang sejak tadi Cuma menatapnya tanpa ekspresi.
            Gema memandang Lidya, si pemilik wajah, yang sedang menulis sesuatu di buku harian miliknya.
            “Gue duduk disini boleh?”
            Lidya menengadahkan kepalanya. Ditatapnya Gema. Dengan wajah bingung, Lidya lalu menatap bangku kosong yang ada di sebelahnya, “Duh, gimana, ya? Bangkunya ada yang nempatin.”
            “Orangnya dimana?”
            “Hmm..” Lidya pun jadi merasa bingung mau jawab apa karena Gema sekarang sudah duduk di bangku sebelahnya.. “Dia sakit dan kemungkinan masih agak lama masuknya”
            “Ooh…”
            Glekk! Ini orang kok bicaranya irit banget, ya? Mana maen duduk di tempat orang seenaknya. Biarin aja deh. Sakarepmu. Lidya ngedumel terus selama jam pelajaran pertama. Belum lagi Daren yang memperhatikan Lidya dari tempat duduknya yang terletak tidak jauh dari tempat duduk Lidya.
            “Nama lo?”
            Lidya mendadak kaget karena tiba-tiba Gema bertanya seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi perampok. Matanya menatap wajah Lidya tajam dan tanpa senyum.
            “Gue Lidya.”
            “Cuma segitu doang?”
            “Lidya Egisty. Lidya Egisty Hermanto”
            “Oh. Pasti Hermanto nama bokap lo, ya?”
            Ih! Mau tau banget, sih, ini orang. “Ya. Kenapa? Lucu, ya?” tanyanya jengkel.
            “Nggak. Marshekal juga nama bokap gue.”
            Gantian Lidya yang menatapnya tanpa senyum. Heloooo… Penting banget emang gue tau nama bokap lo? Gerutunya dalam hati.
           
***

            “Yuk?”
            Lidya melirik sebal ke arah suara yang pede banget bilang “yuk” itu. “Siapa, sih? Gue dijemput kakak gue.”
            Cowok bermotor hitam legam itu membuka helmnya, “Ini aku dek.”
            “Eh. Kak Satria?” Lidya yang semenjak tadi kesal karena kakak kesayangannya tidak kunjung menjemputnya, kini jadi senyum-senyum sendiri.
            “Mau bareng nggak?”
            “Tapi kakak aku mau jemput, kak.”
            “Yaudah. Kamu kirim SMS aja. Bilang kalo kamu udah nunggu kelamaan dan pulang duluan bareng temen. Gimana?”
            Meski terkesan agak memaksa, akhirnya Lidya menganggukkan kepalanya.

Cerita Selanjutnya (Klik untuk cerita selanjutnya)