Kamis, 10 November 2011

Barangkali Cinta #6


Cerita Sebelumnya  (Klik untuk cerita sebelumnya)



BAB 3
           


Siang ini, 11 Oktober 2011, Lidya berdiri lemas di samping makam Daren yang baru saja ditutup. Dia sudah tak bisa meneteskan air mata lagi. Air matanya sudah terkuras habis sejak Daren ‘pergi’.
            “Pulang, yuk, Lid.” Untuk yang kesekian kalinya Gema membujuk Lidya untuk pulang.
            “Ayo, Lid. Disini dingin. Nanti lo bisa sakit.” Gita ikut menambahkan. Dia benar-benar takut Lidya kenapa-napa.
            Lidya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tetap pada posisinya, duduk sambil terus memandangi dan memegangi nisan pacarnya itu. Wajahnya pucat, tubuhnya letih, hatinya hancur tak karuan. Mana bisa dirinya membiarkan kekasih tercintanya pergi meninggalkan dia untuk selamanya. Dia berharap ini hanya sebuah mimpi.
            Lebih dari tiga tahun Lidya mengenal Daren. Dan hampir tiga tahun juga Lidya dan Daren menjalani hubungan. Bagi Lidya, Daren sangat berarti untuknya. Lebih berharga dari dirinya sendiri.
            “Gu… gue bener-bener nggak nyangka. Gue nggak tau harus gimana. Gue nggak percaya kalo gue nggak akan bisa ngeliat Daren lagi.” Kata Lidya tiba-tiba. Kemudian air matanya menetes lagi. “Gue sayang banget sama Daren...”
            Gita terdiam. Dia tidak tahu harus bicara apa lagi. Di mata Gita, Lidya terlihat seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup
            “Gue juga sama kayak lo, Lid. Gue sedih, gue kehilangan! Tapi kita harus tabah.” Gema mencoba menenangkan Lidya. “Tuhan pasti punya rencana di balik ini semua, rencana yang kita nggak tau.”
            Sekali lagi, Gita mengajak Lidya pulang ke rumah, “Pulang aja yuk, Lid. Lagian kalo lo sedih terus kayak gini, Daren mana bisa istirahat dengan tenang. Dia juga bakaln sedih kalo lo nangisin kepergian dia terus-terusan.”
            Benar juga apa kata Gita. Daren pasti akan sedih melihatnya seperti ini. Lalu Lidya perlahan berdiri. Dia menatap makam Daren sekali lagi. Dia masih ragu apakah dia memang benar-benar akan kuat melalui ini semua. Kepergian Daren seperti merenggut setengah hidupnya.
            Apakah manusia bisa bertahan hidup hanya dengan setengah jiwa tersisa?

***

            Jarum jam sudah menujukkan pukul sepuluh malam. Bintang-bintang mulai memunculkan sinarnya setelah hujan mulai berganti dengan gerimis kecil. Tapi jendela balkon itu masih terbuka.
            Dibukanya kotak cantik berukuran sedang yang pernah dihadiahkan Daren pada saat hari ulang tahunnya. Dilihatnya lagi semua isi dari kotak ini. Di dalamnya terdapat sepasang boneka beruang berukuran besar, beruang betina memakai gaun putih, dang beruang jantannya memakai jas warna hitam. Cantik sekali. Lalu ia menemukan bingkai foto dirinya dan Daren. Bingkai itu bernuansa biru.
            Dilihatnya lagi isi kotak itu, ada beberapa tiket nonton bioskop disana, tersusun rapi dengan gulungan pita biru di sisi-sisinya. Lidya selalu ingat film apa saja yang ia lihat bersama Daren. Tiket-tiket itu kembali mengingatkannya di masa-masa SMP dulu.
            Selain itu, Lidya lalu menemukan secarik kertas yang tertempel pada bagian bawah kotak itu. Kertas itu bertuliskan tinta warna biru. Pasti.

Aku sayang kamu Lidya…
Kamu harus tetap bahagia ya tanpa aku…

            Mata Lidya berkaca-kaca. Ia tahan air matanya agar tidak keluar lagi. Daren berpesan untuknya agar berbahagia.
            Ponsel Lidya berdering. Tangan Lidya menggapai ke pinggir tempat tidurnya. Dia terheran-heran menatap nama incoming call yang tertera di LCD ponselnya. Kak Satria calling…
            “Ya, kak?” Lidya menyembunyikan suara pilunya di telepon.
            “Kakak turut berduka cita, ya. Kakak baru dengar kabarnya tadi dari anak-anak basket. Kamu yang sabar, ya, Lid.”
            Lidya tak menyangka kalau Kak Satria perhatian juga pada dirinya. Ah, tapi kan Kak Satria itu senior Daren di klub basket. Pasti beginilah, batinnya.
            “Iya, kak. Makasih, ya.”
            “Sama-sama, Lid. Oh iya besok kamu masuk sekolah?”
            “Kayaknya aku nggak masuk dulu, deh, kak.” Lidya sedang tak ingin diberondong pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. Makanya, dia belum ingin masuk sekolah besok.
            “Oh. Yaudah. Tapi liburnya jangan lama-lama. Kan mau UTS. Patah hatinya dipending dulu kan bisa. Hehe…” Kak Satria mencoba menghiburnya.
            “Hehe…” Lidya pun ikut tertawa, tertawa terpaksa.
            “Hmm… Kamu tidur sana. Istirahat. Daaaaah…”
            “Dadaaaah…”
            Belum sampai lima menit telepon itu ditutup, Gema meneleponnya. Sebenarnya Lidya malas untuk mengangkatnya. Dari sore tadi, beberapa temannya menyatakan keprihatinannya lewat telepon dan tak lupa untuk menanyakan kabar Lidya. Tapi…
            “Malem, Lid…” Begitu telepon diangkat, Gema bicara lebih dulu.
            “Ada apa, Gem? Kalo lo mau nanya keadaan gue, gue baik-baik aja, kok.”
            “Ih lo PD banget, sih. Haha…”         
            “Iiiiiiiiiihhh…” Sudah sejak lama memang Lidya agak dendan pada Gema. Orang lagi sedih begini, masih bisa bikin kesal. “Mau apa lo telepon-telepon gue?”
            Bukannya menjawab, Gema malah bertanya balik, “Besok masuk kan?”
            “Nggak, deh. Belum pengen masuk.”
            “Lho? Kenapa? Masa gue duduk sendirian, sih?”
            “Nggak. Pokoknya gue belum mau masuk. Paham?” Lidya mulai gerah.
            “Duileee… Iya deh, iya. Nggak maksa. Yaudah, deh, lo tidur, gih. Mimpiin gue ya. Hehe…”
            “Mendingan gue mimpiin anak monyet daripada mimpiin lo!”
            Klikkk!! Telepon pun dimatikan.
            Fiuh… Lidya mulai kelelahan. Lalu dia tidur sambil menaruh dua boneka beruangnya juga Pricill di sisi-sisinya.

***

            Tak terasa sudah tiga hari Daren meninggal. Hari ini malam Minggu. Dan Lidya hanya diam saja di rumah bersama kedua kakaknya. Lidya hanya menghabiskan waktu dengan menonton tv. Lebih tepatnya Lidya yang ditonton tv, karena Lidya tak benar-benar memperhatikan layer televisi itu. Pandangannnya kosong.
            Dari kamar Kak Lintang terdengar suara ribut-ribut. Biasalah, Kak Lintang dan Kak Lionel dari kecil memang hobi berantem. Entah karena apa gara-garanya.
            “Ada apa, si… Aduhhhh…” Lidya yang baru menyembulkan kepalanya di kamar Kak Lintang, terkena lemparan bantal Kak Lintang. Nyebelin…
            “Ah, maaf, Lid.” Ucap Kak Lintang.
            “Eh, lo apa-apaan, sih! Cepet ke teras! Minta maaf!” Kak Lionel masih marah-marah pada Kak Lintang.
            “Sebenernya ada apa, sih?” Lidya tak habis pikir dengan kedua kakaknya ini. Sudah tua-tua tapi masih saja suka bertengkar.
            “Ah, ini si Lionel. Ceweknya diluar, gue becandain. Eh, dia malah ngambek.” Jawab Kak Lintang sambil cengengesan.
            “Malesin banget, ih.” Lidya langsung meninggalkan mereka di kamar. Selalu saja seperti itu. Mempermasalahkan yang tidak penting.Lidya jadi ingat sesuatu. Selama Kak Lionel jadian sama cewek yang hari datang ke rumahnya, Lidya belum berkenalan. Ia pun ke teras rumahnya dan menemui pacar Kak Lionel.
            Pintu depan terbuka dan… Ya ampun… Kak Lionel yang badung kayak gitu bisa dapet cewek secantik ini, pikirnya. Mana dibiarkan sendirian diluar lagi. Kan dingin…
            “Kakak pacarnya Kak Lionel?” ujarnya ramah. “Aku Lidya, kakak siapa?”
            Cewek itu berdiri. Lalu ia menjulurkan tangannya dan tersenyum manis. Ia berkata, “Hai Lidya, namaku Chika. Salam kenal, ya…”
            “Kakak satu kampus sama kakakku?” Tanya Lidya.
            “Nggak, dek. Aku masih semester tiga. Hehe…”
            Aaaah… Senyum Kak Chika manis banget. Bentuk bibirnya yang tipis, sama seperti bibir Daren. Lidya seperti melihat replika Daren.
            Tak lama setelah perkenalan itu, Kak Lionel keluar dari dalam rumah. Lidya lalu pamit pada Kak Chika untuk masuk ke dalam rumah.
            Sambil menonton tv, Kak Lintang ternyata sedang menelepon pacarnya. Lidya jadi iri melihat kedua kakaknya. Kembali teringat Daren di otaknya. Akhirnya dia pun masuk ke kamarnya. Diambilnya ponsel miliknya.
            “Halooooo?” Suara di seberang sana begitu keras, terdengar begitu semangat.
            “Pelan-pelan bisa kali, Git.” Lidya menjauhkan ponsel dari telinganya.
            “Hahaha… Maaf, deh maaf. Gue lagi di jalan, nih. Berisik. Kenapa?” Gita malah cengengesan.
            “Nggak apa-apa.”
            “Kangen lo, ya, sama gue? Haha…” Gita terdengar begitu senang di telepon. “Eh, teleponnya nanti lagi, ya? Gue mau jalan-jalan dulu, nih. Oke? Daaaah…”
            Telepon pun diputus. Sialan si Gita! Rutuk Lidya.
            Lalu Lidya bersandar di tempat tidurnya. Ia membayangkan semua yang ia lakukan sejak SMP bersama Daren. Semua kenangan itu begitu indah. Sesak di hatinya masih terasa begitu menyala. Semoga waktu tak membuat serpihan kenangan ini perlahan menghilang. Sebelum Lidya tidur, Lidya menyalakan mp3 dari ponselnya. Ada satu lagu yang sangat ia suka bahkan sebelum Daren meninggal. Dan kini, Lidya merasakan apa yang Andi rasakan setelah Keke meninggalkannya. Lidya selalu menangis ketika mendengar lagu ini diputar.

Kuungkap perasaanku
Semua isi hatiku
Aku telah jatuh cinta
Sungguh jatuh cinta

Mengapa sekejab saja
Setelah menunggu lama
Terlalu cepat tuk berlalu
Dan meninggalkanku

Tuhan dengarkanlah pintaku
Sampaikan padanya
Walau takkan mungkin bersatu
Dihatiku selalu mencintainya

Andaiku mampu kembali
Mengulang sekali lagi
Namun telah Kau tentukan
Harus kuterima

(Surat Kecil Untuk Tuhan – Esa Sigit)

***

            Dingin. Kamar Daren terasa begitu besar tanpa ada dirinya. Malam ini Gema secara tiba-tiba merasa merinding. Sedetik kemudian, tercium aroma tubuh Daren. Gema pun terloncat bangun.
            “Ren? Itu lo?” Gema bertanya, memandang ke segala arah di kamar itu. “Ren, kalo lo hadir karena lo kangen gue, gue juga kangen lo, Ren! Tapi dunia kita udah beda. Gue kehilangan lo. Lidya lebih kehilangan lo. Juga orang tua lo. Kita semua sedih karena lo udah nggak ada. Tapi, please, Ren. Bukan disini tempat lo sekarang. Gue juga janji demi lo, gue akan ngejaga Lidya sama kayak lo ngejaga dia.”
            Sebenarnya saat ini Gema menjadi ketakutan. Dia benar-benar merasakan kedatangan Daren. Dia hanya ingin Daren pergi. Bukannya mengusir, tapi sejujurnya memang Gema takut dengan hal-hal yang seperti ini.
            Setelah berbicara sendiri seperti itu, perlahan wangi tubuh Daren menghilang. Gema mengelus dadanya. Lalu ia keluar dari kamar itu. Dan hampir saja dia menabrak Mbok Mar.
            “Maaf, Mbok… Buru-buru… Laper banget.” Gema cepat-cepat meminta maaf pada salah satu pembantu di rumah Daren, tempatnya kini tinggal. Lalu ia pun segera menuju ruang makan.
            Mbok Mar hanya geleng-geleng kepala sambil berdecak. Gema itu sama persis seperti sepupunya, Daren. Mereka berdua memiliki sifat yang sama hampir dalam segala hal. Bedanya, Gema terlihat lebih pendiam dan dingin sama cewek, itulah pendapat Mbok Mar.
            Baru dirasakannya dua suap nasi masuk ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia ingat lagi pada Daren. Seminggu sebelum kematiannya, Daren sempat bikin ulah di ruang makan ini saat kedatangan tamu Papanya. Daren tak sengaja menjatuhkan ayam goreng ke pipi tamu Om Darius, Papa Daren. Lebih tepatnya terbang, sih.
            Tak bisa menahan tawa sambil makan, Gema pun tersedak. Mbok Mar lari tergopoh-gopoh dari dapur.
            “Aden Gema, kenapa? Ini minum dulu.” Mbok Mar langsung menyodorkan Gema segelas air putih. Daren itu adalah anak tunggal keluarga Pak Darius. Maka dari itu, bagi keluarga Daren, Gema sudah seperti keluarga kandung mereka sendiri. Itu juga yang dirasakan Mbok Mar dan Mbak Arni.
            Diteguknya air putih itu. Ia pun berterima kasih pada wanita paruh baya itu, “Makasih, ya, Mbok. Hehe…”
            Setelah makannya selesai, Gema masuk ke dalam kamarnya. Terbayang dalam ingatannya hari-harinya bersama Lidya. Larut dalam memori tentang pacar sepupunya itu, ia jadi merasa tak enak hati pada Daren.
            “Ah… Nggak! Nggak bisa kayak gini!” Gema menggeleng-gelengkan kepalanya. “Daren baru aja pergi, nggak mungkin gue secara tiba-tiba menyatakan perasaan gue ke Lidya. Sumpah gue jahat banget! Bego bego bego!”
           

           
Cerita Selanjutnya  (Klik untuk cerita selanjutnya)