Kamis, 07 Februari 2013

Could I Call It Love? #10



10
Now I Know You’re Possessive




(Klik disini untuk part sebelumnya)





Kejadian tadi malam masih membekas diingatan. Rika baru tahu kalau ternyata sebenarnya Nico adalah orang yang menyenangkan. Setelah curhat, Nico menyempatkan diri untuk melukis wajah Rika di kertas. Entah pamer atau apa, Nico tiba-tiba menunjukkan buku gambar ukuran A3nya pada Rika. Sebelum minta dilukis, Rika melihat semua isinya. Selain sketsa pemandangan, disana juga terdapat banyak goresan-goresan wanita. Kata dia tadi malam, "Itu mantan gue yang ke tujuh sama ke sembilan. Mereka maksa dilukis. Gue sih mau-mau aja." Meski mengaku gay, Nico sama sekali tak terlihat seperti itu.

Rika kemudian bangun dari tempat tidurnya dan mencari-cari handphonenya yang dia letakkan di atas meja belajar. Rika langsung histeris begitu melihat layar handphonenya. 53 SMS dan 15 missed call dari Rere. Sejak perginya Franz, Rika lupa mengabari pacarnya. Dengan segera dia menelepon Rere.

Lama tak diangkat, akhirnya orang diseberang mengangkat telepon Rika. "Kamu kemana aja?" tanyanya meski Rika belum sempat mengatakan 'Halo'. Rika pikir Rere akan langsung memarahinya ditelepon. Nada suara Rere bahkan terlihat biasa.

"Maaf. Aku lupa. Aku ketiduran." jawab Rika dengan intonasi yang menggambarkan penyesalan. "Kamu nggak marah, kan?"

"Aku marah." Ucapnya cepat. Rere mengatakan itu dengan nada datar, rendah dan tetap terdengar dingin. "Aku khawatir."

"Maaf."

Terdengar suara desahan kesal dari orang di seberang. "Nanti jadi nggak?"

"Hah?" Inilah kebodohan Rika. Sering lupa. "Kemana?"

"Duh. Kamu tuh lupa terus, deh. Kan kamu ngajak aku main sama temen-temen kamu. Hari ini."

Rika menepuk jidatnya sampai bunyinya terdengar Rere. "Aku lupa. Nanti sore kan? Jadi kok jadi. Kamu jemput aku?"

"Iya dong. Ya udah, aku ke rumah kamu jam 3 ya. Kamu harus udah rapi."

"Oke. Eh, kamu lagi ngapain?"

"Lagi... mikirin kamu."

Rika tertawa renyah. "Dasar gombal."

"Ya udah. Kamu tidur lagi sana. Suara kamu masih kayak orang ngantuk. Daaah."

"Daaah."

Percakapan terhenti. Seperti yang dikatakan Rere, dia memang masih ngantuk. Ngantuk sekali. Rasanya ingin melanjutkan tidurnya sampai sore. Tapi dia lapar. Ditambah lagi dia sedang sendirian di rumah. Bosan. Rika jadi ingin ber-SMS-an. Tapi dengan siapa? Rere kalau balas SMS lamaaaaa sekali. Rika sampai malas. Lebih enak kalau langsung menelepon. Soalnya Rere bilang dia tak begitu senang mengetik SMS di handphone touch screennya.

Ketika sedang kebingungan, tiba-tiba ada telepon dari Ocha. Kebetulan sekali. Meskipun setelahnya, Ocha bercuap-cuap panjang lebar membuat telinga sakit. Kadang terdengar sedih, kadang marah-marah, kadang teriak-teriakan. Ocha saat ini sedang curhat masalah kekeringan yang melanda kakeknya di kampung halaman. Ocha ini lucu. Lagi kesal tapi curhatannya justru bikin ketawa. Masa dengan polosnya Ocha bilang, "Gue rasa sawah kakek gue kena santet orang sirik, Ri! Atau mungkin sawah kakek gue kena kutukan dukun!"

"Hahaha. Cha, namanya juga udah masuk musim panas. Kebanyakan nonton film horror lo!"

"Gue lagi kesel nih, Ri. Pengen ke kampung buat bantu kakek gue nyangkul. Lagi liburan gini, Papa gue masih sibuk kerja aja. Gue kan pengen ke kampung."

"Emangnya kerjaan di sawah cuma nyangkul?"

Ocha berpikir lagi. Dia kan belum pernah main ke sawah kakeknya. "Gue nggak tahu, sih."

"Yeeeh. Lo gimana."

"Oh iya. Nanti jadi kan?" Tanya Ocha. "Gue sedikit lagi mau ke rumah si Chibi-Chan. Dia mau minjem DVD drama Jepang gue, tapi nggak mau usaha ke rumah gue. Konyol itu anak. Tapi dia ngerengek-rengek ke gue. Karena gue cewek heroik, gue aja lah yang ke rumahnya. Eh, lo dengerin gue nggak, sih?"

Dasar Ocha. Ditanggapi saja belum sudah nyerocos kesana-sini. "Denger, Cha, denger. Lo lagian bawel banget. Ya udah. Sampe ketemu nanti, ya, di resto gue. Bye."

Lho? Lho? Lho? Kok 'bye', sih?"

"Eh?" Rika hampir saja menutup teleponnya. "Belom selesai?"

"Belooooommm!!!" balasnya nyaring.

***

"GILAAAAAAA! GANTENG BANGET!" Seru Kim begitu Rere sedang ke toilet. Sore ini Rika bersama sahabat-sahabatnya jadi 'Kopi Darat' dengan Rere. Berlima. "Kalo modelnya begitu sih gue juga mau. Sumpah!"

Ocha melempar sumpit ke arah Kim. Tidak kena wajah. Hanya menyentuh pundaknya sedikit. "Jangan keras-keras, sih! Banyak orang kan."

Kim dimarahi Ocha tapi malah ketawa-ketawa. Anak kecil satu itu memang sepertinya harus dikembalikan di bangku Sekolah Dasar lalu menyuruhnya kembali memakai seragam putih-merah. "Ya udah, sih. Marah-marah mulu lo, Cha. Pantesan jomblo." Ledek Kim.

"Emangnya lo punya pacar?"

"Nggak, sih..."

Tak lama setelahnya, Rere kembali. Rere kemudian duduk. Dia duduk di antara sisi kiri dan sisi kanan. Mereka berlima memilih duduk di meja yang paling pojok. Kim dan Ocha bergantian menanyai Rere dengan ribut. Rere harus bersabar menghadapi kedua anak itu. Mulai dari pertanyaan penting sampai yang tidak penting sama sekali.

Setelah kira-kira satu jam berlalu, Rika mengajak pacar dan teman-temannya untuk naik ke lantai dua. Rika akan menunjukkan bayi-bayi mungil berkaki empat yang baru saja dilahirkan kemarin. Sebelum memperkenalkan anak-anak anjingnya, Rika terlebih dahulu memperkenalkan induknya pada semuanya.

"Shih Tzu betina namanya Daisy. Yang Jantan namanya Chrysan." terang Rika. Sebenarnya ini membuat telinga orang-orang disekeliling Rika terasa aneh. Tapi dengan lugas Rachel menjelaskan arti kedua nama itu. Sebenarnya Daisy dan Chrysan adalah nama bunga. Kemudian Rika berkata lagi. "Papa sengaja ngasih nama binatang-binatang kesayangannya pake nama bunga. Soalnya Mama suka banget sama bunga."

"Kyaaaaaaaa! Ada kucing jugaaaa!" Kim berteriak kegirangan sambil mendekati kucing yang bertubuh panjang nan besar itu. Padahal teman-temannya sedang terhanyut dalam ucapan Rika yang terakhir tadi. Sedetik kemudian Rika melupakan ucapannya.

"Yang jantan namanya Cattleya, kalo yang betina, yang warnanya lebih banyak putihnya itu dikasih nama Lily."

"Oh, iya. Rika." Rere memanggilnya seraya mengacungkan handphone milik Rika.

"Kamu foto ini darimana?"

Rika tak ingat sejak kapan Rere memegang handphone putihnya. Dan untuk apa dia melihat-lihat handphonenya? Baru sekali ini Rere iseng begitu. "Itu tadi malem kan Nico ke rumah. Dia curhat. Terus aku minta di..."

Rika tak sempat melanjutkan kata-katanya karena Rere sudah lebih dulu membanting handphone miliknya. Handphone Rika hancur tak tersisa. Baterai terpental, chasing terbagi menjadi beberapa bagian, layarnya jangan ditanyakan lagi. Benar-benar telah menjadi barang rongsokkan. Tapi yang lebih mengerikannya lagi, suasana yang tadinya menyenangkan berubah menjadi dingin. Dan semakin dingin ketika Rere berbicara dengan suara yang tinggi.

"Kamu bilang kamu tadi malem ketiduran! Ternyata kamu ketemu sama Nico! Sampe lupa ngehubungin aku. Kenapa kamu bohong? Hah!"

Tatapan dan bentakkan Rere lebih menyeramkan daripada saat David memarahinya dulu. Jangankan Rika. Ocha, Kim dan Rachel yang tidak dibentak ikutan gemetaran. Biasanya Kim hanya melihat yang seperti ini drama-drama kesayangannya, kini dia melihat langsung peristiwa yang membuatnya ketakutan sendiri.

"Aku nggak bohong. Aku... lupa ngasih tahu." Iya. Rika jujur. Dia memang lupa. Tapi Rere tak percaya.

"Lupa? Apa-apa selalu lupa! Ri, denger ya. Nico emang sahabat aku. Tapi aku nggak mau kamu deket sama dia! Aku mau pulang."

Rere dengan langkah-langkah panjangnya berjalan menuruni tangga. Rika menahan kepergian Rere sambil menangis. Dia meminta maaf tapi Rere tetap pergi. Jangankan berkata apa-apa lagi, dia pergi tanpa menoleh sekalipun ke belakang. Kejadian itu menimbulkan kepanikan para pelayan juga para pengunjung yang sedang menikmati makan malamnya.

Malam itu Rika tak inginpulang ke rumah. Akhirnya dia menginap di rumah Rachel. Sedangkan Ocha dan Kim pulang ke rumahnya masing-masing. Sebelum beranjak, Rika meminta para pelayan untuk merahasiakan kejadian hari ini dari Franz. Kalau Franz sampai tahu, dia tak akan berdiam diri.

Sesampainya di rumah Rachel, Rika menangis terus-terusan. Rachel sampai harus membawa kotak tissue ruang tamu ke kamarnya. Orang yang sedang sedih begini, sebaiknya dibiarkan begitu saja dulu. Jadi saat ini Rachel hanya memperhatikan dan mendengarkan ucapan juga keluhan Rika.

Begitu malam semakin larut, Rachel mematikan lampu kamarnya. Dan dia mengucapkan selamat tidur pada sahabatnya. Sebelum terlelap, Rika bertanya pada Rachel. "Ra, gue mesti gimana?"

Dalam gelap Rachel menatap langit-langit kamarnya. Lalu berkata, "Nggak harus gimana-gimana. Menurut gue, yang kayak tadi itu harusnya nggak sampe segitunya. Cuma..."

"Kenapa?"

"Gue suka baca di web. Kebanyakan orang berkepribadian seperti Rere adalah orang yang sedikit bicara dan sangat posesif."

"Beneran?"

"Serius. Rere kayak gitu, kan?"

Ucapan Rachel ada benarnya. Selama ini, Rika dan Rere memang jarang berkomunikasi. Tapi karena mereka memiliki perasaan seorang cewek, keduanya sama-sama saling memahami, sama-sama merasakan perhatian meskipun tak benar-benar berbicara.

"Gue tidur dulu, Ra."

"Iya. Inget, nih, kata-kata gue. Pokoknya kalo Rere marah kayak tadi lagi, lo jangan marah balik. Diemin aja. Besoknya juga Rere baikin lo lagi. Oke?"

"Hmmm..." gumam Rika sambil menyembunyikan wajahnya dibawah selimut hangat Rachel.



(Klik disini untuk part berikutnya)