Kamis, 07 Februari 2013

Could I Call It Love? #9



9
A Different Lover Is Not A Sin




(Klik disini untuk part sebelumnya)

Minggu kedua di bulan Juli, David ke luar kota selama empat hari. Sampai hari Sabtu. David pergi tanpa membawa ponselnya. Entah karena diharuskan panitia penyelenggara kegiatan David atau tidak. Rika dan Franz awalnya sempat khawatir karena diketahui kalau David ternyata tak membawa ponselnya.

Yogyakarta bukan daerah yang dekat dari Jakarta, tapi untungnya Franz masih menyimpan surat izin orang tua dari SMU David. Di kertas itu terdapat beberapa nomor panitia dan penyelenggara kegiatan Studi Banding di Yogyakarta yang bisa dihubungi. Sebenarnya empat hari di sana, hanya dipakai dua hari untuk melaksanakan tugas dari OSIS, sisanya dipakai untuk berekreasi.

Pukul 7 malam saat sedang asyik bergosip dengan Ocha ditelepon, Franz masuk ke kamar Rika. Saat Rika mendengar suara pintu kamarnya terbuka, dia lalu menoleh ke arah suara itu dan melihat ayahnya berdiri mematung dengan tatapan kecewa. Rika buru-buru mematikan teleponnya.

"Kenapa, Pa?" tanyanya bingung.

"Papa lupa ninggalin kerjaan di kantor. Tadi itu niatnya Papa cuma pulang sebentar buat ngambil berkas-berkas yang ketinggalan di kamar. Deadlinenya sedikit lagi."

"Jadi sekarang Papa mau ke kantor lagi?" Rika jadi tidak tega melihat ayahnya yang terlihat lelah itu. Saat makan malam tadi ayahnya sedang senang karena dapat telepon dari restauran Rika kalau anjing Shih Tzu kesayangannya sedang melahirkan. Saat ini yang Rika lihat adalah mata sayu dan mengantuk di wajah Franz.

"Iya, Sayang. Kalo kerjaan Papa selesai sebelum midnight, Papa pulang. Kalo nggak selesai..."

"Udah. Papa nginep aja di kantor." ucap Rika penuh arti.

"Tapi kamu nanti sendirian."

"Nggak apa-apa, Pa. Masa aku ikut Papa ke kantor terus ikutan tidur di sana."

Setelah mengacak-acak rambut Rika, Franz mengemasi barang-barangnya ke dalam tas kantor. Rika juga turut membantu membawakan berkas-berkas Franz ke dalam mobil.  "Inget, ya. Jangan kemana-mana. Kunci pintunya. Jangan tidur malem-malem. Kalo mau ngegosip, besok lagi. Dah, Sayang." begitulah pesan dari Franz sebelum melajukan mobilnya. Dan Rika yang berdiri di depan pagar pun melambaikan tangan pada Franz yang sebenarnya ayahnya itu tak bisa melihatnya.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Rika berniat membuang sampah yang ada di teras ke tempat sampah yang ada di luar. Disaat itulah dia melihat seseorang berdiri membelakangi rumah Rika di depan bak sampah. Karena gelap, Rika tak bisa melihat dengan jelas. Begitu menyadari kehadiran Rika, orang itu menoleh dan dia kaget sendiri.

Harusnya Rika yang sebal, tapi malah dia yang kena semprot. "Eh! Elo! Ngagetin aja." Orang itu mendekat dan ketika dia berdiri di bawah lampu jalan yang tepat di atasnya, barulah Rika tahu kalau dia adalah Nico.

"Dih. Lo lah yang ngagetin. Ngapain di sini?"

Nico tak menjawab. Dia malah bertanya balik. "Lo nggak nyuruh gue masuk ke dalem, nih?"
Dengan gerakan kepala ala aktris pemeran tokoh antagonis, Rika menatap Nico dengan sebal. Tapi pada akhirnya dia tetap mengajak Nico masuk ke dalam rumah.

"Makasih." ucap Nico saat Rika memberikannya teh manis. "Tapi emang nggak ada jus, Ri?"

"Banyak maunya, nih. Eh, lo mau ngapain ke sini?"

"Tadinya sih gue mau nemuin David. Cuma..."

"Nemuin David? Apanya yang nemuin David. Lo pasti udah tahu dia ke luar kota."

Nico yang ketahuan berbohong lalu pura-pura menutupi dengan meneguk teh manisnya. Setelah dia senyum-senyum sendiri karena malu.

"Nah." Rika melanjutkan perkataannya lagi. "Ngapain lo malem-malem ke sini? Ngapain ke rumah gue malem Jum'at Kliwon begini?"

Kalimat tersebut bukan bentakan. Hanya pertanyaan sederhana dengan nada bicara Rika yang seperti biasa. Kemudian Nico menjawabnya. "Sebenernya sih, gue sengaja ke sini buat nanya-nanya." Wajahnya terlihat malu-malu.

Rika jadi curiga. "Nanya-nanya apa?"

"Itu. David masih suka nggak sih sama Rere?"

"Hah?" Setelah 10 detik diam, Rika berkata lagi. "Kenapa emang? Kayaknya udah nggak deh."

"Nggak apa-apa, sih."

"Nic, lo... Normal, kan?" tanya Rika hati-hati.

Dengan tegas Nico menjawab. "Nggak, Ri. Gue gay."

Jujur. Sebenarnya Rika kaget. Karena Nico adalah orang yang terlalu apa adanya. Dan sama sekali tidak terlihat seperti sedang menutupi dirinya itu gay. "Oh, ya?" Akhirnya dua kata itu yang bisa keluar dari mulut Rika.

"Gue dari awal 2 SMP udah begini, Ri. Malah banyak yang tahu tentang ini." Kemudian Nico tertawa miris. "Awalnya sih nggak ada yang tahu. Tapi lama-lama gosip gue gay nyebar ke seluruh sekolah. Dan itu mengakibatkan gue jadi bahan olok-olokan temen-temen gue."

Rika tak tahu mau berkomentar apa.

"Lalu...” Nico memulai cerita lagi. "Disaat temen-temen gue mengucilkan gue, menghina gue serta menganggap gue najis dan menjijikan, ternyata... masih ada tiga orang temen gue yang masih mau bertemen sama gue. Tiga orang itu adalah Rere, Andreas dan David."

Rika tahu itu. "Terus?"

"Eh kok gue malah curhat, ya?"

"Lah. Lo gimana?" Rika sudah keburu penasaran. Karena itu dia masih ingin mendengar lebih banyak lagi. "Lanjutin aja. Nggak apa-apa."

"Yang jelas waktu itu gue sering dibully sama anak-anak kelas gue. Sampe kelas 3! Dua tahun gue kesiksa, Ri. Gue pengen pindah. Tapi David sama Andreas nahan-nahan gue. Rere juga gitu. Ya, meskipun dulu dia masih jadi 'cewek', tapi dulu dia udah tomboy, sih."

"Ngomong-ngomong, sebelum lo cerita lebih lanjut, gue mau nanya. Seperti apa Rere pas SMP?"

"Dia pas SMP cantik banget, Ri. Kalo gue normal, pasti gue udah suka dia. Tapi pas David nembak dia terus ditolak, itu jadi beban tersendiri buat cowok-cowok di sekolah gue selain David. David kan ketua basket. Ganteng dan jadi idola ya... meski waktu itu dia nggak berotak. Hehe."

"Jadi apa yang dia bilang kalo dia itu bodoh tuh beneran?" Rika tak percaya. Dia pikir cerita itu hanya karangan David.

"Beneran lah. Ri, Rere itu dingin sama cowok-cowok yang deketin dia. Dulu sih gue nggak tahu alesannya. Sampe dia pindah ke Semarang tuh si David masih nggak bisa terima. David udah susah payah jadi pinter, eh malah ditinggal pergi."

"Tapi sekarang kita semua tahu kan alesannya." Rika lalu tersenyum. "Oh, iya. Kenapa lo nyeritain ini semua ke gue?"

"Gue mau coba deketin David. Tapi mau nanya pendapat lo dulu."

"Oh." Rika hanya tak tahu apa yang harus ia katakan. Karena memang sejujurnya dia tak tahu apa kakaknya mau atau tidak.

"Dulu tuh gue suka David. Tapi David sukanya sama Rere. Rasanya sakit hati. Tapi mau gimana lagi. Terus gue mau move on ke Andreas. Eh, dia malah jadian sama adeknya Rere."

"Andreas sama Carla dari SMP udah jadian???"

"Iya. Gaya pacaran mereka parah Ri. Nggak heran kalo sekarang mereka nikah. Setelah patah hati dua kali, gue berniat untuk kembali ke jalan yang bener."

"Akhirnya bisa ke jalan yang bener?"

"Haha." Nico tertawa pahit. "Sedikit. Tapi gue malah nyakitin cewek-cewek yang pernah jadi pacar gue. Sampe sekarang. Makanya, gue pengen kayak dulu lagi. Gue udah ditakdirkan di jalan yang seperti ini. Gue ataupun lo, sama sekali nggak salah kan? Gue bener kan?"

"Iya sih. Tapi kalo gue kan 'belok' karena awalnya gue nggak tahu Rere itu cewek. Nah, kalo lo, apa yang jadi alasan lo pertama kali jadi begini?"

Nico menatap Rika lurus. Ada seberkas penyesalan tersimpan di mata cokelat Nico. Setelah terdiam beberapa saat, Nico menjawab.

"Life is too short to be normal."




(Klik disini untuk part berikutnya)