9
A Different Lover Is
Not A Sin
(Klik
disini untuk part sebelumnya)
Minggu
kedua di bulan Juli, David ke luar kota selama empat hari. Sampai hari Sabtu.
David pergi tanpa membawa ponselnya. Entah karena diharuskan panitia
penyelenggara kegiatan David atau tidak. Rika dan Franz awalnya sempat khawatir
karena diketahui kalau David ternyata tak membawa ponselnya.
Yogyakarta
bukan daerah yang dekat dari Jakarta, tapi untungnya Franz masih menyimpan
surat izin orang tua dari SMU David. Di kertas itu terdapat beberapa nomor
panitia dan penyelenggara kegiatan Studi Banding di Yogyakarta yang bisa
dihubungi. Sebenarnya empat hari di sana, hanya dipakai dua hari untuk
melaksanakan tugas dari OSIS, sisanya dipakai untuk berekreasi.
Pukul
7 malam saat sedang asyik bergosip dengan Ocha ditelepon, Franz masuk ke kamar
Rika. Saat Rika mendengar suara pintu kamarnya terbuka, dia lalu menoleh ke
arah suara itu dan melihat ayahnya berdiri mematung dengan tatapan kecewa. Rika
buru-buru mematikan teleponnya.
"Kenapa,
Pa?" tanyanya bingung.
"Papa
lupa ninggalin kerjaan di kantor. Tadi itu niatnya Papa cuma pulang sebentar
buat ngambil berkas-berkas yang ketinggalan di kamar. Deadlinenya sedikit
lagi."
"Jadi
sekarang Papa mau ke kantor lagi?" Rika jadi tidak tega melihat ayahnya
yang terlihat lelah itu. Saat makan malam tadi ayahnya sedang senang karena
dapat telepon dari restauran Rika kalau anjing Shih Tzu kesayangannya sedang
melahirkan. Saat ini yang Rika lihat adalah mata sayu dan mengantuk di wajah
Franz.
"Iya,
Sayang. Kalo kerjaan Papa selesai sebelum midnight, Papa pulang. Kalo nggak
selesai..."
"Udah.
Papa nginep aja di kantor." ucap Rika penuh arti.
"Tapi
kamu nanti sendirian."
"Nggak
apa-apa, Pa. Masa aku ikut Papa ke kantor terus ikutan tidur di sana."
Setelah
mengacak-acak rambut Rika, Franz mengemasi barang-barangnya ke dalam tas
kantor. Rika juga turut membantu membawakan berkas-berkas Franz ke dalam
mobil. "Inget, ya. Jangan
kemana-mana. Kunci pintunya. Jangan tidur malem-malem. Kalo mau ngegosip, besok
lagi. Dah, Sayang." begitulah pesan dari Franz sebelum melajukan mobilnya.
Dan Rika yang berdiri di depan pagar pun melambaikan tangan pada Franz yang
sebenarnya ayahnya itu tak bisa melihatnya.
Sebelum
masuk ke dalam rumah, Rika berniat membuang sampah yang ada di teras ke tempat sampah
yang ada di luar. Disaat itulah dia melihat seseorang berdiri membelakangi
rumah Rika di depan bak sampah. Karena gelap, Rika tak bisa melihat dengan
jelas. Begitu menyadari kehadiran Rika, orang itu menoleh dan dia kaget
sendiri.
Harusnya
Rika yang sebal, tapi malah dia yang kena semprot. "Eh! Elo! Ngagetin
aja." Orang itu mendekat dan ketika dia berdiri di bawah lampu jalan yang
tepat di atasnya, barulah Rika tahu kalau dia adalah Nico.
"Dih.
Lo lah yang ngagetin. Ngapain di sini?"
Nico
tak menjawab. Dia malah bertanya balik. "Lo nggak nyuruh gue masuk ke
dalem, nih?"
Dengan gerakan kepala ala aktris pemeran tokoh antagonis, Rika menatap Nico dengan sebal. Tapi pada akhirnya dia tetap mengajak Nico masuk ke dalam rumah.
Dengan gerakan kepala ala aktris pemeran tokoh antagonis, Rika menatap Nico dengan sebal. Tapi pada akhirnya dia tetap mengajak Nico masuk ke dalam rumah.
"Makasih."
ucap Nico saat Rika memberikannya teh manis. "Tapi emang nggak ada jus,
Ri?"
"Banyak
maunya, nih. Eh, lo mau ngapain ke sini?"
"Tadinya
sih gue mau nemuin David. Cuma..."
"Nemuin
David? Apanya yang nemuin David. Lo pasti udah tahu dia ke luar kota."
Nico
yang ketahuan berbohong lalu pura-pura menutupi dengan meneguk teh manisnya.
Setelah dia senyum-senyum sendiri karena malu.
"Nah."
Rika melanjutkan perkataannya lagi. "Ngapain lo malem-malem ke sini?
Ngapain ke rumah gue malem Jum'at Kliwon begini?"
Kalimat
tersebut bukan bentakan. Hanya pertanyaan sederhana dengan nada bicara Rika
yang seperti biasa. Kemudian Nico menjawabnya. "Sebenernya sih, gue
sengaja ke sini buat nanya-nanya." Wajahnya terlihat malu-malu.
Rika
jadi curiga. "Nanya-nanya apa?"
"Itu.
David masih suka nggak sih sama Rere?"
"Hah?"
Setelah 10 detik diam, Rika berkata lagi. "Kenapa emang? Kayaknya udah
nggak deh."
"Nggak
apa-apa, sih."
"Nic,
lo... Normal, kan?" tanya Rika hati-hati.
Dengan
tegas Nico menjawab. "Nggak, Ri. Gue gay."
Jujur.
Sebenarnya Rika kaget. Karena Nico adalah orang yang terlalu apa adanya. Dan
sama sekali tidak terlihat seperti sedang menutupi dirinya itu gay. "Oh,
ya?" Akhirnya dua kata itu yang bisa keluar dari mulut Rika.
"Gue
dari awal 2 SMP udah begini, Ri. Malah banyak yang tahu tentang ini."
Kemudian Nico tertawa miris. "Awalnya sih nggak ada yang tahu. Tapi
lama-lama gosip gue gay nyebar ke seluruh sekolah. Dan itu mengakibatkan gue
jadi bahan olok-olokan temen-temen gue."
Rika
tak tahu mau berkomentar apa.
"Lalu...”
Nico memulai cerita lagi. "Disaat temen-temen gue mengucilkan gue,
menghina gue serta menganggap gue najis dan menjijikan, ternyata... masih ada
tiga orang temen gue yang masih mau bertemen sama gue. Tiga orang itu adalah
Rere, Andreas dan David."
Rika
tahu itu. "Terus?"
"Eh
kok gue malah curhat, ya?"
"Lah.
Lo gimana?" Rika sudah keburu penasaran. Karena itu dia masih ingin
mendengar lebih banyak lagi. "Lanjutin aja. Nggak apa-apa."
"Yang
jelas waktu itu gue sering dibully sama anak-anak kelas gue. Sampe kelas 3! Dua
tahun gue kesiksa, Ri. Gue pengen pindah. Tapi David sama Andreas nahan-nahan
gue. Rere juga gitu. Ya, meskipun dulu dia masih jadi 'cewek', tapi dulu dia
udah tomboy, sih."
"Ngomong-ngomong,
sebelum lo cerita lebih lanjut, gue mau nanya. Seperti apa Rere pas SMP?"
"Dia
pas SMP cantik banget, Ri. Kalo gue normal, pasti gue udah suka dia. Tapi pas
David nembak dia terus ditolak, itu jadi beban tersendiri buat cowok-cowok di
sekolah gue selain David. David kan ketua basket. Ganteng dan jadi idola ya...
meski waktu itu dia nggak berotak. Hehe."
"Jadi
apa yang dia bilang kalo dia itu bodoh tuh beneran?" Rika tak percaya. Dia
pikir cerita itu hanya karangan David.
"Beneran
lah. Ri, Rere itu dingin sama cowok-cowok yang deketin dia. Dulu sih gue nggak
tahu alesannya. Sampe dia pindah ke Semarang tuh si David masih nggak bisa
terima. David udah susah payah jadi pinter, eh malah ditinggal pergi."
"Tapi
sekarang kita semua tahu kan alesannya." Rika lalu tersenyum. "Oh,
iya. Kenapa lo nyeritain ini semua ke gue?"
"Gue
mau coba deketin David. Tapi mau nanya pendapat lo dulu."
"Oh."
Rika hanya tak tahu apa yang harus ia katakan. Karena memang sejujurnya dia tak
tahu apa kakaknya mau atau tidak.
"Dulu
tuh gue suka David. Tapi David sukanya sama Rere. Rasanya sakit hati. Tapi mau
gimana lagi. Terus gue mau move on ke Andreas. Eh, dia malah jadian sama
adeknya Rere."
"Andreas
sama Carla dari SMP udah jadian???"
"Iya.
Gaya pacaran mereka parah Ri. Nggak heran kalo sekarang mereka nikah. Setelah
patah hati dua kali, gue berniat untuk kembali ke jalan yang bener."
"Akhirnya
bisa ke jalan yang bener?"
"Haha."
Nico tertawa pahit. "Sedikit. Tapi gue malah nyakitin cewek-cewek yang
pernah jadi pacar gue. Sampe sekarang. Makanya, gue pengen kayak dulu lagi. Gue
udah ditakdirkan di jalan yang seperti ini. Gue ataupun lo, sama sekali nggak
salah kan? Gue bener kan?"
"Iya
sih. Tapi kalo gue kan 'belok' karena awalnya gue nggak tahu Rere itu cewek.
Nah, kalo lo, apa yang jadi alasan lo pertama kali jadi begini?"
Nico
menatap Rika lurus. Ada seberkas penyesalan tersimpan di mata cokelat Nico.
Setelah terdiam beberapa saat, Nico menjawab.
"Life
is too short to be normal."
(Klik
disini untuk part berikutnya)