Jumat, 08 Februari 2013

Could I Call It Love #13



13

Brain Cancer




(Klik disini untuk part sebelumnya)




Sore ini Rika kebagian tugas rumah untuk menyapu dan mengepel lantai yang bawah. Sedangkan David yang menyapu serta mengepel di lantai dua. Pekerjaan yang biasanya dilakukan bertiga kini lebih sering dilakukan berdua. Sejak masuk bulan Juli, Franz semakin sering bekerja lembur. Pekerjaannya semakin bertambah. Franz bahkan sudah jarang bertanya tentang usaha yang dikelola Rika. Franz kini selalu memikirkan tentang pekerjaan. Tapi dia masih memperhatian anak-anaknya.

Rika baru sadar kalau ternyata kamar Franz tidak pernah sekalipun berantakkan. Meskipun David juga begitu. Saat sedang menyapu di kamar Franz, Rika iseng mengoprek meja kerja Franz. Banyak album foto di sana. Beberapa dari semua itu, pernah Rika lihat. Saat ini Rika sedang ingin melihat-lihat itu lagi. Bertepatan dengan itu, David tiba-tiba ikut masuk ke kamar Franz.

"Ri. Gue udah selesai, dong." ucap David yang kemudian langsung merebahkan diri di tempat tidur Franz yang bernuansa cokelat. Sedetik kemudian dia memperhatikan adiknya yang diam saja tak menghiraukan keberadaannya sama sekali. "Lo seneng banget sih ngeliatin foto-foto SMA Papa?"

"Emangnya nggak boleh?"

"Boleh, sih. Eh iya," David bangun dan duduk di ujung tempat tidur, "Tadi waktu gue beresin kamar lo, gue nemu komik. Komiknya siapa?"

"Punya Ocha. Kenapa?" Kali ini Rika menolehkan wajahnya ke samping, ke arah David duduk.

"Lo udah baca? Gue mau pinjem, ya?"

"Boleh. Eh tapi itu kan komik cewek."

"Sekali-kali, Ri. Ya udah, gue naik lagi ah ngambil komik temen lo. Nanti malem gue balikin kalo udah selesai."

David lalu meninggalkan Rika sendiri di kamar Franz. Rika masih asyik membuka lembaran demi lembaran foto-foto Franz, Risa dan... ayah kandungnya. Jujur, sebenarnya Rika ingin tahu seperti apa ayahnya. Apakah wajahnya yang sekarang masih sama dengan yang difoto? Apakah Daniel masih hidup? Kalau iya, dimana dia sekarang?

Percuma saja. Rika sudah pernah bertanya pada Franz kalau Daniel tak pernah diketahui lagi keberadaannya. Lalu Rika mendengar suara telepon rumah berdering. Dia segera lari dan dengan cepat menyambar gagang telepon, dan mengangkatnya. Itu telepon dari Franz.

Franz mengatakan kalau dia akan pulang larut malam dan ada kabar tak mengenakkan tentang pemberian tugas kantor ke Singapura. Rika kecewa sekali mendengarnya. Tapi begitu Franz bilang setiap weekend akan pulang, Rika menyetujui.

"Jadi, hari ini Papa kira-kira pulang jam berapa?" tanya Rika akhirnya.

"Jam 10 mungkin sampai rumah. David udah masak? Papa nanti makan di luar. Jadi kalian bikin untuk berdua aja, ya."

"Belom, Pa. Sedikit lagi kayaknya. Oke, deh."

"Ya udah Papa kerja lagi, ya?"

"Nanti hati-hati, ya, Pa di jalan."

Menu makan malam ini penuh dengan sayuran. Sayang sekali karena Franz tidak bisa menikmati masakan David yang lebih enak daripada Rika. David sering membaca resep masakan dan sering bereksperimen dengan bumbu-bumbunya sendiri. Itulah yang membuat masakannya selalu enak.

Selesai makan, Rika langsung menyelonong meninggalkan piring yang masih bersisa dan gelas begitu saja di meja makan. Dia berjalan menuju ruang tengah dan menyalakan televisi. Saat itu David baru selesai menerima telepon dari teman sekolahnya. Ketika melihat meja makan belum dibereskan, David mendatangi ruang tengah dan akan menyuruh Rika untuk segera mencuci semuanya. Tapi David mengurungkan niatnya. David melihat kalau ada yang salah dengan Rika.

"Lo kenapa?"

"Nggak apa-apa." jawab Rika tanpa semangat yang tetap tidak melepaskan pandangannya dari layar televisi.

"Lo sakit?"

Rika menggeleng-gelengkan­ kepalanya. "Nggak, kok. Cuma bete aja."

"Ah bohong." David kemudian memegang dahi Rika. Ternyata panas sekali. Baru kali ini Rika sakit disaat mereka sedang di rumah berdua. "Tuh, kan! Ayo ke dokter!"

"Nggak mau. Lagian kan kakak calon dokter, pasti tahu obat warung yang bisa diminum. Beliin aja aku obat warung."

David langsung berlari ke kamar Franz untuk mencari kunci mobil almarhum Risa. Seingat David, terakhir kali memakainya, itu sudah lama, sudah dari dua minggu yang lalu, saat mengantar barang-barang bekas ke SMAnya dalam acara Bakti Sosial. Semoga mesinnya tidak mati-matian mendadak. Saat membuka laci meja kerja Franz, David menemukan banyak map cokelat dan amplop putih yang mencurigakan. Tapi dia sedang buru-buru saat ini, jadi dia tak jadi menyentuh surat-surat itu dan langsung menutup laci meja kerja Franz.

Tidak hanya bisa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, David juga bisa melakukannya dengan mobil keluaran lama istri papanya. David hanya ingin cepat-cepat sampai di rumah sakit. Dia khawatir Rika typhus lagi. Rika jarang sakit. Tapi sekalinya sakit, pasti akan dirawat untuk beberapa hari di rumah sakit.

Dan di sinilah mereka sekarang. Mereka sudah sampai di rumah sakit terkemuka di Jakarta, yang nantinya juga mungkin akan menjadi tempat kerja David. Pemeriksaan pun berlangsung. Dokter mengatakan kalau Rika hanya demam. Rika memang sering keluar main akhir-akhir ini. Rika diminta untuk istirahat yang cukup seminggu ini. Syukurlah kalau begitu.

Kalau begini, perasaan David kan jadi lega. Dia jadi tak perlu khawatir adiknya akan sakit seperti dulu. Kasihan melihatnya kalau sudah terbaring lemas. Saat sedang berjalan menuju parkiran, David tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang yang langsung dia kenali. David dan Rika langsung menghampirinya.

"Papa ngapain di sini?"

Franz masih terlihat terkejut dengan pertemuan tak terduga itu di rumah sakit. "Papa sama Om Ari nengok temen yang lagi sakit. Kamu ngapain sama Rika?" Memang benar. Om Ari sedang ada di sebelah Franz.

"Eh, David. Apa kabar?" tanya Om Ari.

"David baik, Om. Om gimana?"

"Om baik." Lalu laki-laki berjas hitam itu juga tak lupa menyapa Rika. "Wah, Rika makin cantik, ya. Kalian lagi ngapain di sini?"

David tak memperdulikan pertanyaan Om Ari. Matanya tertuju pada amplop cokelat besar yang sedang dipegang Franz. Amplop itu sama persis yang dia temukan di laci besar meja kerja Franz. Detik itu juga David langsung mempertanyakannya.

"Papa, apa yang Papa pegang?"

Dan pertanyaan David sepertinya sangat telak. Langsung pada sasaran. Tapi Franz juga tak menunjukkan gelagat aneh. Sikapnya masih seperti biasa. Tapi David tak bisa dibohongin. "Ini..."

David langsung memotongnya. "Papa, aku mohon Papa jawab dengan jujur. Aku tahu benda apa yang ada di sana, meski aku nggak tahu tampilannya. Aku mau liat amplop-amplop itu."

Franz tak bisa berbohong lagi. Sungguh. Dia hanya tak ingin membuat anak-anaknya khawatir. Tanpa berbicara, dia langsung memberikan amplop cokelat itu pada David. Wajahnya terlihat sedih. Tapi wajah David lebih lagi. Banyak kerutan bertumpuk. David memang baru menjadi mahasiswa kedokteran, tapi dengan hanya melihat rontgen itu, semua orang bahkan anak SD juga tahu itu adalah gambar berbentuk tengkorak. Dan ketika David membuka surat dokternya, barulah dia tersadar.

"Papa..." David hampir tak bersuara saking pelannya dan saking shocknya. "Papa sejak kapan... Papa sejak kapan sakit? Kenapa Papa nggak ngasih tau?"

"Maafin Papa, David. Papa cuma..."

Rika langsung panik karena tak mengerti apa-apa. "Papa sakit apa?" Belum tahu alasannya, Rika sudah menangis sekarang. Dan tangisnya semakin keras ketika Franz mengatakan kalau dia tervonis kanker ganas.

"Dokter bilang, kanker otak. Stadium lanjut."



(Klik disini untuk part berikutnya)