13
Brain Cancer
(Klik
disini untuk part sebelumnya)
Sore
ini Rika kebagian tugas rumah untuk menyapu dan mengepel lantai yang bawah.
Sedangkan David yang menyapu serta mengepel di lantai dua. Pekerjaan yang
biasanya dilakukan bertiga kini lebih sering dilakukan berdua. Sejak masuk
bulan Juli, Franz semakin sering bekerja lembur. Pekerjaannya semakin
bertambah. Franz bahkan sudah jarang bertanya tentang usaha yang dikelola Rika.
Franz kini selalu memikirkan tentang pekerjaan. Tapi dia masih memperhatian
anak-anaknya.
Rika
baru sadar kalau ternyata kamar Franz tidak pernah sekalipun berantakkan.
Meskipun David juga begitu. Saat sedang menyapu di kamar Franz, Rika iseng
mengoprek meja kerja Franz. Banyak album foto di sana. Beberapa dari semua itu,
pernah Rika lihat. Saat ini Rika sedang ingin melihat-lihat itu lagi.
Bertepatan dengan itu, David tiba-tiba ikut masuk ke kamar Franz.
"Ri.
Gue udah selesai, dong." ucap David yang kemudian langsung merebahkan diri
di tempat tidur Franz yang bernuansa cokelat. Sedetik kemudian dia
memperhatikan adiknya yang diam saja tak menghiraukan keberadaannya sama
sekali. "Lo seneng banget sih ngeliatin foto-foto SMA Papa?"
"Emangnya
nggak boleh?"
"Boleh,
sih. Eh iya," David bangun dan duduk di ujung tempat tidur, "Tadi
waktu gue beresin kamar lo, gue nemu komik. Komiknya siapa?"
"Punya
Ocha. Kenapa?" Kali ini Rika menolehkan wajahnya ke samping, ke arah David
duduk.
"Lo
udah baca? Gue mau pinjem, ya?"
"Boleh.
Eh tapi itu kan komik cewek."
"Sekali-kali,
Ri. Ya udah, gue naik lagi ah ngambil komik temen lo. Nanti malem gue balikin
kalo udah selesai."
David
lalu meninggalkan Rika sendiri di kamar Franz. Rika masih asyik membuka
lembaran demi lembaran foto-foto Franz, Risa dan... ayah kandungnya. Jujur,
sebenarnya Rika ingin tahu seperti apa ayahnya. Apakah wajahnya yang sekarang
masih sama dengan yang difoto? Apakah Daniel masih hidup? Kalau iya, dimana dia
sekarang?
Percuma
saja. Rika sudah pernah bertanya pada Franz kalau Daniel tak pernah diketahui
lagi keberadaannya. Lalu Rika mendengar suara telepon rumah berdering. Dia
segera lari dan dengan cepat menyambar gagang telepon, dan mengangkatnya. Itu
telepon dari Franz.
Franz
mengatakan kalau dia akan pulang larut malam dan ada kabar tak mengenakkan
tentang pemberian tugas kantor ke Singapura. Rika kecewa sekali mendengarnya.
Tapi begitu Franz bilang setiap weekend akan pulang, Rika menyetujui.
"Jadi,
hari ini Papa kira-kira pulang jam berapa?" tanya Rika akhirnya.
"Jam
10 mungkin sampai rumah. David udah masak? Papa nanti makan di luar. Jadi
kalian bikin untuk berdua aja, ya."
"Belom,
Pa. Sedikit lagi kayaknya. Oke, deh."
"Ya
udah Papa kerja lagi, ya?"
"Nanti
hati-hati, ya, Pa di jalan."
Menu
makan malam ini penuh dengan sayuran. Sayang sekali karena Franz tidak bisa
menikmati masakan David yang lebih enak daripada Rika. David sering membaca
resep masakan dan sering bereksperimen dengan bumbu-bumbunya sendiri. Itulah
yang membuat masakannya selalu enak.
Selesai
makan, Rika langsung menyelonong meninggalkan piring yang masih bersisa dan
gelas begitu saja di meja makan. Dia berjalan menuju ruang tengah dan
menyalakan televisi. Saat itu David baru selesai menerima telepon dari teman
sekolahnya. Ketika melihat meja makan belum dibereskan, David mendatangi ruang
tengah dan akan menyuruh Rika untuk segera mencuci semuanya. Tapi David
mengurungkan niatnya. David melihat kalau ada yang salah dengan Rika.
"Lo
kenapa?"
"Nggak
apa-apa." jawab Rika tanpa semangat yang tetap tidak melepaskan
pandangannya dari layar televisi.
"Lo
sakit?"
Rika
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak, kok. Cuma bete aja."
"Ah
bohong." David kemudian memegang dahi Rika. Ternyata panas sekali. Baru
kali ini Rika sakit disaat mereka sedang di rumah berdua. "Tuh, kan! Ayo
ke dokter!"
"Nggak
mau. Lagian kan kakak calon dokter, pasti tahu obat warung yang bisa diminum.
Beliin aja aku obat warung."
David
langsung berlari ke kamar Franz untuk mencari kunci mobil almarhum Risa.
Seingat David, terakhir kali memakainya, itu sudah lama, sudah dari dua minggu
yang lalu, saat mengantar barang-barang bekas ke SMAnya dalam acara Bakti
Sosial. Semoga mesinnya tidak mati-matian mendadak. Saat membuka laci meja kerja
Franz, David menemukan banyak map cokelat dan amplop putih yang mencurigakan.
Tapi dia sedang buru-buru saat ini, jadi dia tak jadi menyentuh surat-surat itu
dan langsung menutup laci meja kerja Franz.
Tidak
hanya bisa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, David juga bisa
melakukannya dengan mobil keluaran lama istri papanya. David hanya ingin
cepat-cepat sampai di rumah sakit. Dia khawatir Rika typhus lagi. Rika jarang
sakit. Tapi sekalinya sakit, pasti akan dirawat untuk beberapa hari di rumah
sakit.
Dan
di sinilah mereka sekarang. Mereka sudah sampai di rumah sakit terkemuka di
Jakarta, yang nantinya juga mungkin akan menjadi tempat kerja David.
Pemeriksaan pun berlangsung. Dokter mengatakan kalau Rika hanya demam. Rika
memang sering keluar main akhir-akhir ini. Rika diminta untuk istirahat yang
cukup seminggu ini. Syukurlah kalau begitu.
Kalau
begini, perasaan David kan jadi lega. Dia jadi tak perlu khawatir adiknya akan
sakit seperti dulu. Kasihan melihatnya kalau sudah terbaring lemas. Saat sedang
berjalan menuju parkiran, David tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang
yang langsung dia kenali. David dan Rika langsung menghampirinya.
"Papa
ngapain di sini?"
Franz
masih terlihat terkejut dengan pertemuan tak terduga itu di rumah sakit.
"Papa sama Om Ari nengok temen yang lagi sakit. Kamu ngapain sama
Rika?" Memang benar. Om Ari sedang ada di sebelah Franz.
"Eh,
David. Apa kabar?" tanya Om Ari.
"David
baik, Om. Om gimana?"
"Om
baik." Lalu laki-laki berjas hitam itu juga tak lupa menyapa Rika.
"Wah, Rika makin cantik, ya. Kalian lagi ngapain di sini?"
David
tak memperdulikan pertanyaan Om Ari. Matanya tertuju pada amplop cokelat besar
yang sedang dipegang Franz. Amplop itu sama persis yang dia temukan di laci
besar meja kerja Franz. Detik itu juga David langsung mempertanyakannya.
"Papa,
apa yang Papa pegang?"
Dan
pertanyaan David sepertinya sangat telak. Langsung pada sasaran. Tapi Franz
juga tak menunjukkan gelagat aneh. Sikapnya masih seperti biasa. Tapi David tak
bisa dibohongin. "Ini..."
David
langsung memotongnya. "Papa, aku mohon Papa jawab dengan jujur. Aku tahu
benda apa yang ada di sana, meski aku nggak tahu tampilannya. Aku mau liat
amplop-amplop itu."
Franz
tak bisa berbohong lagi. Sungguh. Dia hanya tak ingin membuat anak-anaknya
khawatir. Tanpa berbicara, dia langsung memberikan amplop cokelat itu pada
David. Wajahnya terlihat sedih. Tapi wajah David lebih lagi. Banyak kerutan
bertumpuk. David memang baru menjadi mahasiswa kedokteran, tapi dengan hanya
melihat rontgen itu, semua orang bahkan anak SD juga tahu itu adalah gambar
berbentuk tengkorak. Dan ketika David membuka surat dokternya, barulah dia
tersadar.
"Papa..."
David hampir tak bersuara saking pelannya dan saking shocknya. "Papa sejak
kapan... Papa sejak kapan sakit? Kenapa Papa nggak ngasih tau?"
"Maafin
Papa, David. Papa cuma..."
Rika
langsung panik karena tak mengerti apa-apa. "Papa sakit apa?" Belum
tahu alasannya, Rika sudah menangis sekarang. Dan tangisnya semakin keras
ketika Franz mengatakan kalau dia tervonis kanker ganas.
"Dokter
bilang, kanker otak. Stadium lanjut."
(Klik
disini untuk part berikutnya)