Jumat, 08 Februari 2013

Could I Call It Love? #11





11
I Love You




(Klik disini untuk part sebelumnya)




Seperti apa yang dikatakan Rachel, Rere keesokan harinya langsung menemui Rika. Pagi-pagi buta Rere sudah nangkring didepan rumahnya. Padahal Rika baru diantar pulang sekitar jam sebelas siang.

Begitu Rika turun dari mobil Rachel, Rere berlari ke arahnya. Dia langsung meminta maaf. Dan berjanji tidak akan kasar lagi padanya. Dia juga tidak lupa membawa bunga sebagai tanda permintaan maaf. Awalnya Rika pikir yang dipegang Rere itu bunga mawar. Tapi ternyata Rere memberikannya bunga tulip berwarna putih. Entah berapa banyak biaya dan tenaga yang dia keluarkan untuk mencari bunga ini. Tulip di daerahku sulit dicari dan harga pertangkainya sangatlah mahal. Tapi bagi Rere, dia tidak ingin asal membeli. Sebelum membeli dia bertanya-tanya pada pemilik toko bunga tentang arti dari setiap bunga.

"Aku minta maaf soal tadi malem."

Rere meminta maaf dengan tulus. Meski Rika kaget waktu Rere membentak dan membanting handphonenya, tak ada alasan bagi Rika untuk tidak memaafkannya. Lalu Rika menyuruh Rere untuk masuk ke dalam rumah. Hari Sabtu pasti ada Franz di rumah. Mungkin hari ini juga adalah saatnya bagi Rika memperkenalkan pacar pertamanya pada Franz. Tentunya dia akan merahasiakan identitas asli Rere.

Perkiraan Rika salah. Begitu masuk ke dalam rumah yang ternyata dikunci, semua terlihat gelap. Semuanya tak berubah seperti saat dia terakhir keluar dari rumah ini. Itu artinya, ternyata Franz tidak pulang malam ini. Sekarang Rika langsung mengingat sesuatu. Mungkin kemarin Franz meneleponnya tapi tak bisa dihubungi karena nomornya tidak aktif. Secepat kilat Rika menekan tombol nomor handphone Franz dengan telepon rumah.

Halo.." sapa Franz yang terdengar lemas ditelepon begitu telepon itu diangkat.
"PAPAAAAA! Papa nggak pulang? Papa di mana?" Rika sangat mengkhawatirkan Franz saat ini.

"Kok kamu panik?" Franz terkekeh dengan tingkah puterinya yang kadang membuatnya gemas. "Papa di kantor. Udah dari lama kan Papa Sabtu masuk terus. Kamu lupa?"

"Tapi kenapa nggak pulang?"

"Papa banyak kerjaan di kantor. Jadi Papa nginep di rumah temen Papa yang namanya Om Ari itu, lho, Ri. Kan rumahnya deket kantor."

Rika lega sekarang kalau ayahnya sedang bersama sahabat Papa. "Papa jangan nyusahin Om Ari ya di sana." Ucap Rika sambil tertawa.

"Kamu ngeledek? Eh, gimana kemaren makan-makannya? Sampe nginep segala."

"Biasa aja, Pa. Hehe."

"Anak Papa pasti ngerumpi sampe pagi, ya?" Rika tak sempat menjawab pertanyaan Franz karena meski samar, Franz tengah dipanggil seseorang. Akhirnya Franz menutup pembicaraan. "Ri, Papa ada tamu. Nanti Papa pulang jam 8 malam. Daaah."

"Daaah, Pa."

Rere kini berada di depannya. Sedang membaui Rika yang baru saja meletakkan gagang telepon. Lalu seberkas senyum menyungging di bibirnya. Tak lama dia tertawa. "Kamu belom mandi, ya?!"

Rika langsung menyambar kotak tissue yang ada didekatnya dan melemparkan benda itu tepat mengenai dahi Rere. "Enak aja! Aku udah mandi tahu!"

"Iya. Aku kan cuma becanda. Hehe. Eh jalan-jalan, yuk."

"Hah?" Rika jadi ingat Taman Suropati yang waktu itu mereka kunjungi. "Mau kemana?"

"Rahasia! Ayo cepet siap-siap!"

***

Naik motor bersama dengan Rere memang selalu terasa menyenangkan. Ke manapun Rere membawa Rika, pastilah memberikan kesan yang tak terlupakan. Kali ini Rere mengajak Rika ke daerah Barat kota Jakarta. Ya, meski sebenarnya masih di Jakarta Pusat. Motor Rere berhenti di sebuah gedung Walikota. Mau ngapain dia ngajak kesini? Pikir Rika.

"Hey! Kita ke sini. Bukan yang itu." Rere menunjuk bangunan yang ada di sebelah gedung Walikota. Lalu dia memarkir motornya di dalam.

Rika bertanya-tanya dalam hati. Tempat ini aneh. Sepertinya sudah tua dan tidak terurus. Masuknya saja murah sekali. Tapi begitu ke dalam, entah bagaimana menjelaskan perasaan itu, tempat ini sejuk. Angin berhembus dengan lembut. Nama tempat ini adalah Museum Taman Prasasti. Atau biasa disebut sebagai Kuburan Belanda.

Rika melihat berkeliling sambil memperhatikan para pengunjung yang sedang berfoto-foto di sana. "Rika! Senyum..." Begitu Rika menoleh pada orang yang memanggil, dia baru sadar kalau dirinya sedang difoto oleh Rere. Entah bagaimana ceritanya, Rika sama sekali tak sadar. Dia bahkan tak tahu sejak kapan Rere mengeluarkan kameranya. Yang jelas, Rika mengamuk waktu mengetahui kalau ternyata Rere sudah memotretnya berkali-kali tanpa sepengetahuannya.

Tak terasa kisah percintannya sudah satu bulan lebih. Kalau mengingat mereka bisa seperti ini, rasanya seperti mimpi. Kadang Rika masih tak menyangka dia akan bertemu cinta pertama yang tak pernah dia duga-duga. Dia masih tak menyangka dia akan jatuh cinta pada seorang cewek yang hidup dalam tubuh yang salah. Tapi cinta tetaplah cinta.

"Kok bengong? Kenapa?"

Rere membuyarkan lamunannya. "Nggak apa-apa. Cuma rasanya kepengen pulang aja."

"Takut, ya?" Dia tertawa. "Masa takut, sih. Ini kan udah jadi museum."

"Ih bukang begitu. Ada..." Rika buru-buru mencari alasan yang pas. Kebetulan sekali ada yang sedang shooting ditempat itu. Sepertinya mahasiswa-mahasiswa itu sedang membuat film pendek. "Aku males ada yang lagi shooting. Nanti aku ketangkep kamera lagi."

"Huuuuu! Udah kayak penampakkan gitu, ya? Mereka juga males kali. Hehe."

Rika dan Rere akhirnya beranjak pergi dari tempat itu. Tapi langkah mereka terhenti setelah seorang pemain yang sedang shooting itu berteriak-teriak histeris. Memekakkan telinga. Dialognya sangatlah menyayat hati. Dari yang Rika tangkap, film tersebut mengisahkan tentang pasangan yang saling mencintai, tapi baru diketahui kalau si cowok itu sakit kanker dan selalu menyembunyikan rahasia itu dari si cewek. Tapi pada akhirnya si cowok meninggal di tempat, karena memang penyakit yang dideritanya itu sudah lama dan sangat kritis.

"Udah kita pulang aja, yuk." Ajak Rere ketika Rika masih berdiri menonton bersama pengunjung lain.

"Tapi aku mau tahu gimana akhirnya."

Dengan tatapan penuh arti Rere berkata, "Semua kisah akan berakhir bahagia. Nggak peduli seberapa banyak orang-orang yang tersayang pergi meninggalkan kita. Itu karena, cinta akan selalu mendapatkan tempat di sini. Siapapun orang-orang itu." Rere menunjuk dadanya sendiri.

Mungkin inilah lebihnya berpacaran dengan sesama jenis. Sama-sama lebih mengerti dan lebih memahami dengan penuh perasaan. Rika lalu menggandeng tangan Rere. Merekapun pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum motor dinyalakan, Rere sempat membisikkan sesuatu di telinga Rika.

"I love you." Tiga kata itu lalu membuatnya tersenyum bahagia.



(Klik disini untuk part berikutnya)